Jumat, 27 Juni 2014

Perasaan



Semakin bertambahnya usia, saya semakin sadar, betapa rumitnya menjaga perasaan. Baik perasaan sendiri atau pun perasaan orang.  Saya sutuju dengan keputusan Allah, bahwa hati menjadi sesuatu yang sulit terbaca dengan mudah. Sungguh betapa repotnya kita ketika hati dapat tertebak dengan mudah seperti teka teki silang seribuan, betapa repot menjaga perasaan seseorang yang suka kita sedang kita tidak suka mereka, atau susahnya menjaga perasaan sendiri ketika kita suka orang dan orang itu belum terbaca kalau suka kita. Terimakasih untuk mekanisme kerja hati yang seprti ini, Ya Allah J
Namun sisi kanan selalu memunculkan sisi kiri, ketidakmampuan membaca perasaan ini membuat kita kurang peka. Kita tidak tahu, seseorang yang terlihat tidak peduli dan dingin jangan-jangan memiliki sesuatu yang ia simpan. Atau seseorang yang terlalu ramah, memiliki maksud yang mereka sembunyikan. Oh, inilah letak pelajarannya, agar kita tidak mudah jatuh dalam prasangka, agar pintar-pintar menjaga emosi.
Dalam mekanisme kerja hati yang seperti ini, perempuan lah yang sebenarnya banyak kesusahan. Perempuan adalah makhluk yang paling ingin dilihat tapi mati-matian menyembunyikan. Saya yang perempuan turut kasihan. Salah satu dampak dari sifat yang penuh pura-pura ini, perempuan menjadi kena dampaknya, memiliki sifat mudah ke-GeEr-an dan gampang menyimpul-nyimpulkan. Dan ketika apa yang sebenarnya tidak sesuai perkiraan, hanya luka yang akan ada.
Tapi Tuhan kita tak pernah menciptakan sesuatu tanpa tujuan, yang kita tahu selalu vertikal dan horizontal. Dengan demikian semoga kita lebih peka untuk saling menjaga, karena sekali kita menjaga perasaan orang lain, Allah akan juga menjaga perasaan kita dari yang membuat terluka. Semoga ketika ada rasa, tak pernah melampaui rasa padaNya, semoga tak berharap banyak-banyak pada manusia yang tak pasti, hanya Dia Yang Maha Pasti, semoga meski mecintai atau tidak, manusia harusnya bisa saling menjaga, memelihara sesama dari yang membuat terluka.

Surabaya 24 Juni 2014

Kepada Gelombang yang Hilang dan Datang Lagi Kemarin



Gelombang, apa yang kau cari hingga pergi ke tengah samudra. Mengabaikan guratan-guratan wajah senja yang memesona, lambaian-lambaian nyiur dengan irama yang menenangkan, dan anak beranak penyu yang nakal dan lucu. Gelombang, jika sedikit saja kau merasa, ada pasir putih nan lembut yang menantimu di garis-garis pantai. Membantah karang, dan tak merasa takut terseret arusmu ke tengah –tengah.
Gelombang, ada pesona yang dititipkan Tuhan padamu, untuk membuat sang pasir diam dan setia, meski tak ada janji kau akan kembali atau tak pernah ada kata untuk saling menjaga. Gelombang, saat mata-mata orang lain melihatmu sebagai sang jahat yang menghanyutkan. Pasir putih selalu tahu, hadirmu membawa remah-remah makanan penyu, ganggang-ganggang hijau untuk petani kolang kaling, dan membasahi tepian pantai yang kerontak sejak siang. Gelombang, dalam sadar atau tidakmu, pasir putih telah menyukaimu
Gelombang, esok saat semua damai dan tenang, bawa ia ke tengah-tengah bersamamu. Melihat pusaran angin yang menakjubkan, atau tepian pulau seberang. Gelombang,  esok saat semua damai dan tenang, berjanjilah, meski kau pergi saat pagi-pagi, datanglah kembali bersama senja yang indah. Menemani sang pasir duduk menyambut malam, merasakan dingin dan menyenangkannya angin laut selatan.
Gelombang, pasir putih selalu tahu, kau terlalu kuat dan dia begitu lemah untuk denganmu. Tapi, ia selalu yakin. Tuhan menciptakan beda demi tercipta harmoni, seperti kutub magnet yang dalam beda tetap saling tertarik. Pasir putih ingin menjadi petunjuk jalan pulang saat badai mengombang ambingkanmu, ingin menjadi tempatmu melepas lelah dari perjalanan yang tak ada sudah.
Gelombang, kau harus tahu. Pasir putih tak pernah memiliki kuasa menahanmu lama-lama.


Surabaya, 24 Juni 2014

n.b : semoga gelombang dan pasir tetap saling mendoakan, meskipun tidak terlalu kenal, tidak salah kan jika saling mendoakan J

Senin, 16 Juni 2014

PRIA SEJUTA PESONA : AYAH



Aku ingat hari saat kau mengajariku tentang kepercayaan dimana tak ada satu pun pemberi kepastian.
 Aku ingat hari dimana seringkali tak ada yang dapat ku lakukan selain menghapus airmata lalu kau mengajariku menghadapi seorang pembunuh bernama kenyataan
aku ingat hari saat aku sangat ingin berlari menujumu, memelukmu sambil menangis  dan mengatakan “aku ingin menyerah.”
aku ingat hari dimana kau menggenggam erat jemariku dan mengatakan “semua akan baik – baik saja”
aku ingat hari dimana dengan tiba – tiba rasanya ingin belajar bermain sepeda seperti dulu  denganmu,  Ayah
dan hari ini pun aku ingat, aku telah menua…
Kau bilang “kau masih gadis kecilku.”
sungguh Ayah, aku ingin mengatakan, “Andai aku selalu menjadi gadis kecilmu.”
dan Kau menjawab, “Ya, kau bisa.”
Lalu kita terdiam, karena sadar akan satu hal. Seberapa pun usahamu membela perkataanku, waktu akan tetap menculikku untuk menua.


Ini, surat kesekian yang ku tulis untukmu, Ayah. Bagiku berlembar-lembar pun tak pernah cukup mewakilinya. Hari ini aku memutuskan untuk tak menelfonmu, karena aku tahu, aku tak bisa menyembunyikan sifat kekanakanku ketika merindumu : menangis. Ayah, andai ungkapan ini mewakili. Aku ingin mengatakan dengan lugas, bagaimana kau begitu membentuk di hatiku.

Ayah, kau pahlawan yang mengajariku menjadi pahlawan untuk diriku sendiri. Selalu mengatakan “Tidak apa-apa” berkali-kali ketika aku terjatuh. Mengajariku berani terluka untuk menguat, mengajariku menjadi gadis pemberani meskipun berdiri sendiri, karena kau tahu, kau tak selamanya bisa melindungiku dari teman-teman yang membuatku menangis. Aku belajar semua darimu, Ayah. Kau tak memberiku pundak ketika aku dalam kesempitan, karena kau tau, lantai sujud selalu lebih lapang dari pundak siapa pun. Kau selalu mengatakan “Bersujudlah.”

“Kalau rindu jangan minta bertemu, berdoalah. Karena bertemu tidak menyelesaikan rindu.” Kau paling tahu, aku pengeyel yang keras kepala, tapi aku juga tahu, kau selalu bisa membuatku diam dengan caramu, dengan ketegasanmu yang lembut. Ayah, apa pun kau, selalu terlihat memesona di mataku, dengan noda hitam bekas  matahari di muka dan punggung tanganmu, dengan setelan kemeja dan celana kain yang tidak matching dan merusak penglihatan, bagiku kau tetap memesona adanya.

Hingga baris tulisanku yang ini, aku tetap tidak yakin ini mewakili, buncah-buncah bangga dalam hati karena engkau kumiliki. Mungkin aku belum mampu membanggakanmu, seperti orang lain membanggakan Ayah mereka. Tapi ada janji di hatiku, Ayah, yang sejauh ini menjadi pengingatku, yang sajuh ini menuntunku, senyampang aku belum mampu membanggakanmu, aku berjanji tidak akan menjadi sebab atas deritama.

Semoga Allah selalu menyayangimu, Ayah. Mencintai keluarga kecil kita. Membarakahi dengan limpahan bahagia. Sekali lagi, terimakasih untuk inspirasi-inspirasi yang kau beri, terimakasih membiarkanku belajar diam-diam darimu. Dan maaf untuk banyak yang seharusnya, namun belum terjadi.
Salam cinta, titip rindu juga untuk Ibu.

Putrimu.

Surabaya, 15 Juni 2014

Rabu, 11 Juni 2014

Percakapan Pasir dan Gelombang


Aku ingin bertanya pada Ibumu.” Kataku. “Bagaimana cara membesarkan anak hingga sememesona kau.” Tawamu terhenti.
Detik selanjutnya kita saling diam. Menatapi pasir-pasir warna tulang yang diam juga. Entah mengapa debur ombak yang sedari tadi mengusik percakapan kita turut senyap, padahal aku ingin kehadiran mereka meredam degup kencang yang berantakan dalam dadaku. Mukamu memerah, apalagi aku. Entah darimana datangnya keberanian itu, dengan lugas aku berkata demikian. Ya, kau berhasil membuatku terpesona. Dan silahkan kau catat, aku belum pernah memuji laki-laki secara lugas.
Besuk kutanyakan.” Katamu lalu memamerkan deretan gigi putih, bias kecanggungan lenyap. Kau pintar sekali mengendalikan emosi. Aku tetap beku. Perlahan pasir-pasir warna tulang mulai berisik, mengikuti iramamu. Gelombang mengusik lagi.
Bukan hanya pada Ibumu, juga pada Tuhanmu. Betapa tentu Dia menyayangimu. Kau membuatku iri oleh sebab target-targetmu mendekati-Nya. Aku iri, meski tak sebesar milik Umar kepada Abu Bakar. Entah apa maksud Tuhan menjebakku bertemu denganmu. Adakah isyarat lain selain membuatmu terlihat memesona. Suatu pelajaran kiranya? Aku jemu. Jemu untuk mengatakan demikian. Jemu atau cemburu, entah lah. Mungkin Tuhan sayang sekali padamu.
Tetaplah menjadi pasir, biar aku jadi gelombang dan bisa datang lagi suatu hari.” Pesan singkatmu sebelum beranjak. Membiarkanku duduk sendirian dalam ketidak berdayaan untuk bilang jangan. “Hey Pasir, apa yang membuatmu terpesona pada gelombang?” teriakmu selepas tujuh meter melangkah. Aku menoleh, lalu tersenyum. Senyum yang kubuat-buat agar terlihat manis dan hasilnya gagal.
Karena ia tetap setia datang meski berkali-kali pergi.” Kataku setelah kau menghilang di balik jajaran pohon waru yang melengkung. “Jika kau tak datang lagi, berhentilah terlihat memesona.

Surabaya, 12 Juni 2014

Upcoming Ramadhan : Must be much better



Andaikan saja Ramadhan semua
Bulan yang tiba bulan yang ada
Karena besarnya setiap pahala
Yang dijanjikan kepada kita
(Ramadhan tiba, Opick)

Marhaban Ya Ramadhan !
Lupakah kita kawan dalam setiap penghujung Ramadhan, ada rasa sesal yang tiba-tiba muncul, tentang Ramdhan yang waktunya kita sia-sia, tentang amalan kita yang begitu-begitu saja, selanjutnya nothing we can do but praying “Ya Allah, panjangkan usia kami hingga jumpa Ramadhan berikutnya”.
Tidak ada bulan dimana kita berpuasa, sholat, mengaji, berinfaq, dengan sangat bersemangat seperti yang kita lakukan di kala Ramadhan. Tidak ada bulan dimana tilawah sahut manyahut dari surau satu dengan yang lain, dari pagi hingga sore. Tidak ada bulan dimana toko-toko besar, department store, background music mereka yang terbiasa pop atau dangdut menjadi nasyid, menjadi irama rohani. Tidak ada bulan dimana manusia-manusia berubah menjadi sangat  baik dan dermawan, berbagi takjil di sepanjang jalan, atau menyiapkan kolak hangat untuk jamaah tarawih. Masha Allah istimewanya Ramadhan.
Luar biasa sekali barakah yang dilimpahkan Allah pada Ramadhan, setan dibelenggu olehNya, ampunan diberikanNya. Tapi, sayang sungguh sayang. Euforia Ramadhan terkadang salah kaprah di negeri kita tercinta Indonesia. Kita menjadi sibuk menyemaraknya tapi terlupa ibadah kita, kita sibuk membuat manisan tapi terlupa amalan. Padahal keistimewaan terlalu sayang kita lewatkan dengan seperti itu. Seharusnya kita bisa memaksimalkan tilawah yang sering terlupa pada bulan biasa, meningkatkan shalat sunah yang sering terabai pada bulan-bulan sebelumnya. Padahal Ramadhan adalah kesempatan kita menggenapi amalan yang tak kesampaian di bulan-bulan sebelumnya. Lalu akhirnya kita hanya akan berdoa lagi “Sampaikan kami pada Ramadhan berikutnya Ya Allah.
Aah tapi apakah minta memperlama Ramadhan, atau meminta Allah mempertemukan kita pada Ramadhan depan akan menjadi jaminan kita akan memaksimal seluruh kemampuan untuk memanfaatkan Ramadhan berikutnya. Adakah jaminan? sungguh, seharusnya kita malu meminta ini itu sedang Ramadhan kita hanya gini – gini saja. Apa guna berandai – andai ini Ramadhan terakhir tapi sebulan Ramdhan khatam satu kali pun tidak.
Karena itu, jika ini benar – benar Ramadhan mendatang adalah terakhir kita. Tidakkah kita rela membiarkannya berlalu dengan tanpa sebuah kenangan, kenangan sebagai Ramadhan terakhir dan terbaik sepanjang usia, khatam terbanyak, infaq termaksimal, sholat malam terutin, tidakkah ingin mengukir cerita itu, lalu memamerkan pada Munkar dan Nakir, esok saat kita mati.
Mari sama-sama menengadah kawan, “Ya Allah, jadikan Ramadhan ini sebagai jalan pembuka keistiqomahan kami dalam beramal karenaMu. Kami tidak meminta memperpanjang umur atau jumpakan kami pada Ramadhan berikutnya, tapi jadikan Ramadhan kami senantiasa menjadi lebih baik dari Ramadhan-Ramadhan sebelumnya. Dan jika ini yang terakhir, jadikanlah amalan di dalamnya menjadi amalan terbaik dan terindah dalam sejarah hidup kami, aamiin”

Futri Zakiyah Darojat,
(tulisan ini ada dalam bulletin At-Tarbiyah Mushola FIP UNESA edisi 1)