Senin, 30 September 2013

Padd : Tumbuh


Tapi ingat, dia pendendam. Bisa jadi kau sudah lupa pernah menyakitinya. Tapi ia akan menyimpan lama – lama luka itu di hatinya, dan mungkin saja suatu saat ia ungkit kembali.

“Sebegitunya kah?” Tanya Salman kemudian, membenahi posisi duduk, lalu mengulangi kebiasaannya memainkan pensil.
Sore itu kami tertawan lagi – lagi oleh hujan, kali ini bukan di halte Quadranggle, juga perpustakaan fisher, kami menahan dingin udara winter di bawah kanopi di sebuah kedai roti di tepi jalan raya Oxford.
“Kau Melankolis?” Tanyanya kemudian.Aku tidak menjawab. Gengsi mengakui iya, lalu tidak mau juga berbohong. Kemudian ia tertawa.
“Kau mau tahu yang plekmatis?” Tanyaku memotong tawanya. Dia mengangguk.
“Dia adalah orang sok kuat diantara jenis manusia yang lain. Mereka menganggap menceritakan masalah pada orang lain tidak pernah menyelesaikan masalah. Atau ia hanya ketakutan membebani orang lain. Ia dingin, dan gelap. Seperti stalaktit atau stalakmit di gua es. Susah sekali membaca mereka.” Aku melirik Salman, ia diam. Tangannya mengurut tepian meja semen di depannya.
“Lalu..” Lanjutku. “Orang – orang di sekitarnya terlambat menyadari perasaan di hati kaum plekmatis.”
Salman diam, tangannya masih mengurut meja marmer di depannya. Udara semakin menggigit. “Meksipun dahulu aku sering meragukan keilmiahan psikologi, ilmu kalian selalu ada gunanya.” Dia lantas tersenyum, aku juga.
“Pernahkah kau menyukai seseorang Salman?” Aku tidak tahu datang dari mana pertanyaan itu, yang kusadari dia muncul begitu saja ketika aku membuka mulut. Salman menoleh. Guratan jari di meja marmer ia hentikan. Menatapku sejenak.
“Kau tahu, rasa yang paling menakutkan adalah ketika kau menyukai orang lain. Kau benar, orang plekmatis selalu merasa hati mereka terlalu berharga untuk dibagi dengan orang lain, namun nyeri – nyeri muncul ketika kau tak melalukannya, tak membagi hatimu, hingga kemudian kau memutuskan untuk merelakan separuh  hatimu benar – benar dimiliki orang lain.”
“Jawabanmu itu berarti, kau pernah menyukai orang setidaknya. Hahaha….akhirnya aku tahu kalau kau normal.” Tawaku tertahan dengan kalimatku, Salman diam. Merasa tidak ada yang lucu.
“Aku adalah sebagian dari manusia di planet ini yang percaya bahwa cinta adalah sesuatu yang bisa ditumbuhkan, bahkan bila awalnya terpaksa dengan sangat kemunculannya. Suatu saat ia tetaplah cinta. Cinta yang kau raih dengan belajar, lalu mengerti bahwa keistimewaan seseorang itu kadangkala amat tersembunyi.”
Sore itu aku mendapat pemahaman baru tentang cinta dari teman yang kukira tak pernah jatuh cinta karena hatinya beku. Ya, keistimewaan seseorang kadangkala amat tersembunyi tempatnya, kita butuh waktu untuk menyelami.
Surabaya 30 September 2013
Malam yang melelahkan

Rabu, 25 September 2013

Paddington : Lelah


Aku tahu ini berat, tapi kumohon. Bertahanlah.

Kami sepenuhnya diam, tidak membahas apa pun, tidak mengomentari apa pun, diam, membiarkan boat putih ini melaju membawa dengan ringan tubuh – tubuh kurus ini menuju Circular Quay. Di belakang kami, bangunan karya manusia yang dulu selalu membayangi mimpi malamku, bahkan mungkin juga mimpi malam milik Salman, ratusan hari lalu. Kami sudah terlalu penat bahkan untuk berbicara, aku yakin Salman juga.
“Mengapa aku merasa sangat lelah. Bisakah kita melompati beberapa hari lalu memilih beberapa hari saja yang kita sukai” Kata Salman tiba – tiba.  Wajahnya tak lepas dari kerumunan camar di langit biru. “Kadangkala rasanya begitu iri dengan burung – burung camar. Pergi mencari makan, lalu pulang dengan perut kenyang. Besok seperti itu lagi. Seperti itu lagi. Tak ada yang ditakutkan. Mengapa kita manusia tidak seperti itu saja. Bukankah kita juga bisa bahagia dengan seperti itu. Bukankah bahagia itu sederhana?”
“Ada sesuatu yang mengganggumu.” selidikku. Salman masih belum beranjak dari kerumunan camar di langit. Wajah lelahnya tersempurnakan oleh cekung mata menghitam di lingkar bawah mata. Terlihat seperti burung hantu. “Apakah kau ingin ke Neverland?”
Dia tertawa. Lalu mengangguk kencang, Menatapku. “Tapi aku bukan Tinker Bell, apalagi kau, tentu saja Bukan Peter Pan. Ada sesuatu yang teramat mengganggumu?” tanyaku lagi. Dia menggeleng.
“Aku sedang dalam fase lelah, kufur nikmat, entah mengapa, rantai sepedaku berhenti pada titik kejenuhan dan membeku lama – lama di sana. Padahal aku ingin Mengayuhnya kencang – kencang, biar aku segera tiba di rumah, lalu berlarian menuju ibu dengan berteriak “Ibu aku pulang.” getir.
“Kau pernah bilang, Tuhan mencintai kita dengan banyak cara. Terkadang dengan keras, kadangkala kadangkala sangat lembut. Bahkan bisa jadi cara menyayangi menjadi begitu menyakitkan. Tapi selalu ada ujung yang baik dari setiap kisah cintaNya.” HUffff…..Aku menjadi berpikir, mengapa aku sehafal itu dengan kata – kata Salman. Dia menoleh, lalu tersenyum. Circular Quay beberapa meter di depan. Matahari sore nyaris tenggelam.
“Karena itulah mengapa Dia mengajari kita kecemasan, untuk mengukur sejauh mana kepedulianmu, memberi rasa sepi, untuk menunjukkan ruang – ruang yang terlewat dalam kebersamaan. Menghadirkan rasa takut agar kau berpikir, dengan siapa kita pantas berlindung. Selalu. Dan terus seperti itu. Tapi jangan khawatir, Tuhan tidak pernah ingkar akan janjinya. Sesudah kesulitan pasti ada kemudahan.”
Boat putih kami menepi,langit berwarna mustard sangat cantik di atas sana. Andai Salman tahu, bahwa rasanya aku juga ingin menyerah.

Sabtu, 14 September 2013

Beri Sedikit Ruang

Berilah sedikit ruang untuk kerinduan, biarlah ia menunjukkan kebaikan yang luput terlihat kala berdekatan. Selalu ada bagian saat kita bersama yang menyesakkan dada, lalu biarlah kerinduan memupuskannya. Biarkan sejenak kita tercekik perasaan sepi, agar kita sadar berapa harga yang patut kita bayar untuk sebuah kebersamaan.

Minggu – minggu pertama setelah pe-rolling-an selalu seperti ini. Mungkin aku, yang dasarnya melankolis selalu seolah – olah tidak bisa bertemu kalian lagi. Padahal, heloo…kita masih kuliah di kampus yang sama, tinggal di asrama MY club ter cintah ini juga, cuman beda rumah aja, cuman beda beberapa gang aja. Tetapi, kerinduan memang telah menempati celahnya. Ia menjadikan moment mengingat kalian menjadi begitu indah, padahal dulu seringnya berantem, apalagi sama penghuni kamar 3 (Ayu, red), padahal dulu seringnya sebel kalo – kalo kalian mandinya lama, atau kalian nyuci baju terus – terusan sampai nggak dapat tempat buat jemur. ahh….memang kerinduan, membuat yang dulunya menyebalkan menjadi saat paling indah.
Aku tahu, setiap orang cuman satu dan nggak ada yang sama, begitu juga kalian bidadari – bidadari khonsa. Dan ini seperti sebuah pemahaman baru bagiku, bahwa setiap orang itu mempunyai sisi istimewa mereka, yang ketika  berjarak pasti itu yag kita ingat. Kakak Dyah, bu mas’ul yang cantik jelita tapi juga alay-nya nggak ketulungan, yang kemudian membawa kita menjadi asrama paling ceria, yang selalu datang dengan nggak capeknya bercerita panjang kali lebar kali tinggi, seperjuangan buat syuro (rapat, red) kemana – mana, nebengin, ngajak jalan, ngajak nge-mal, tapi juga seperjuangan bangun malam – malam, sholat terus paginya nyiapin tempat buat rapat. Ahh setiap orang cuma satu, begitu juga kakak Dyah-ku.
Lalu Ayu, kenapa pula ya tukang tambal ban depan indomart pake panggil kita mbak kembar gara – gara sama pake jaket merahnya, padahal kan cantikan aku. Makasih Ayu, masih sering nengokin meskipun udah pindah rumah, dulu panggilnya “ciput” sekarang “beb” muahahaha. Ayu yang baik, udah kaya kakak sendiri, yag suka tak suruh-suruh ngambilin handuk yang ketinggalan, yang paling sering dijadiin tempat sampah sama futri, yang selalu dan paling sering ngajak berantem bahkan cuman gara – gara garam dapur. Ayu baik – baik ya, semoga Allah selalu sayang Ayu.
Mina sang surya, alias ukhti mince. Yang meski pun kadang sebel banget saat anti nggak nyambung kalo diajak ngomong, tapi Mina selalu jadi penghibur setia bagi kita, koki yang baik, yang bicaranya khas banget lamongannya. Kangen deh ukh. Lalu dek Wid kecil yang imut, suka banget ingat – ingat waktu kita sering begadang gara – gara browsingin cerita – cerita sejarah, kita sealiran banget suka Disney. Makasih dek Wid, Mbak Futri jadi nambah banyak vocab-nya kalo sama dek Wid. Andai ada yang bisa membawa kita ke Neverland seperti Peter Pan ya.

Banyak sekali kenangan tentang kalian, di rumah kecil kita yang ceria, rukun, aman tentram. Yang pada suka travelling, bagaimana bisa kita memutuskan pergi ke Bromo cuman dalam waktu seminggu. Apalagi ke Kelud cuman tiga hari. Banyak sekali hal indah tentang kalian. Yang juara umum U-cup, yang paling nggak mau telat kalo Kanvas. ahh kalian, Dek Fitri yang jago masak teman seperjuangan di BEM yang semangat sekali, Mbak Futri salut sama semangatnya dek Fitri, Dek Ula sang sleeping beauty yang kalo pulang kampong bawa jajan banyak. Dek Fierda, yang kalo kita ngomong harus pake EyD (Ejaan yang Disempurnakan) yang istiqomah selalu dalam kebaikan, Dek Dahlia yang rame, yang giat bekerja, yang kadang bawain makanan waktu pulang ngelesin. Kalian telah memiliki celah di hatiku untuk menempati sesuatu yang bernama kerinduan. Kalian hanya satu. Dan Istimewa, tapi kita akan menemukan orang – orang istimewa lain di dekat kita, percaya lah itu. Semua selalu sulit di awal. Karena hanya waktu yang mampu menjelaskan tentang keberartian seseorang. Keep Istiqomah semua, tetep jaga sholat malamnya ya, puasa senin – kamis yang udah pada keren, lanjuuuuut :D. Semoga Allah menyatukan lagi kita di surganya aamiin

Berhitung

Berhitung

“Bagaimana.”
“Hmmmmm…?”
“Bagaimana jika orang yang kau suka berjodoh dengan orang lain.”
Fai sempurna menolehku, menyelidik sedikit kea rah mataku, lalu berjalan tanpa memedulikanku. Kami sibuk dalam pikiran masing – masing.
“Kau tidak perlu bersusah payah mencari jawabannya di otakmu, Fai.” Sepuluh menit keterdiamannya mengangguku. “Aku hanya ingin mengucapkan apa yang terlalu sesak di hati, membuangnya sedikit ke tempat sampah. Bukan kah kau selalu bangga menjadi tong sampah ajaib.”
Fai masih diam, berjalan lebih pelan. Ia seperti benar – benar tidak merasakan kehadiranku. Aku bahkan sempat memastikan apakah kakiku masih menyentuh tanah. Fai masih terus berdiam. Sebegitukahnya dia memikirkan kata – kataku.
“Aku tidak bertanya tentang diriku, Fai.” Drama dimulai.
Fai menoleh, “Manusia selalu bodoh dengan matematika. Bahkan jika itu ilmuan sekali pun, ia tidak akan mampu mengkalkulasi misteri Tuhan. Karena itulah, jangan buru – buru terlalu menyukai makhluk. Karena kita tak akan bisa menafsirkan, apakah di langit sana, tertulis namamu dalam bukunya. Bukan kah kita tidak pernah diperintah mencintai orang lain. Lalu, apakah kita akan menyalahkan Tuhan tentang rencanaNya.”
Sekarang aku yang diam. Menjejali otak dengan puluhan pertanyaan.
“Kau tidak sedang ketakutan jika aku berjodoh dengan orang lain, bukan?”
“………..”
“Kau melupakan satu hal, Fai.” Kataku kemudian, aku tidak mau menanggapi gurauannya. Fai selalu begitu, mencairkan suasana dengan memojokkan lawan bicara. Bicara dengan begitu bijak dengan ending yang sangat menjengkelkan pendengarnya. Fai, ia teman baikku. Entah mengapa nama kami hampir sama. Aku Fay. Faya. Dan dia, Fai. Faizal. Aku suka sekali berbicara dengannya. Meskipun aku belum pernah mengaku jika dia bijak. Tapi entah, dia adalah tong sampah yang baik. Dia selalu menampangkan langit cerah di wajahnya. Sayangnya, Fai adalah phlegmatic. Ia pintar sekali menyimpan rapi apa yang terjadi dalam otak dan hatinya.
“Kau pasti akan membela diri jika dalam menyukai orang lain pun ada misteri yang tak bisa kau pecahkan.” Balas Fai cepat – cepat. “Kau selalu lupa, kau seharusnya berterima kasih pada dia.” Fai tersenyum puas.
“Dia?”
“Iya, dia yang kau sukai itu. Setidaknya, dengan dia berjodoh denga orang lain, kau bisa belajar menguatkan hatimu. Hingga suatu saat, ketika kau menemukan separuh hati yang telah lama ditakdirkan bersamamu. Kalian akan menjadi kesatuan yang benar – benar kokoh.”
Aku tersenyum. Okay Fai. Kau banyak benarnya.
“Jangan, Fay.” Katanya kemudian.
“Hah?”
“Jangan memintaku menggantikan orang yang berjodoh dengan orang lain itu.”

Bukuku sempurna menggeplak bahunya.