Rabu, 02 Maret 2016

Being a wife and having a husband



Being a wife and having a husband

Menikah denganmu, menetapkan cinta, melintasi perjalanan usia. ~Kahitna

Miracle. Ajaib. Barangkali, itulah kata yang paling pas pertama yang mewakili hidup setelah ijab qabul. Kata agak pas-nya atau nyaris pas-nya adalah barangkali Daydreaming. Lamunan. Mimpi siang bolong. Kayak enggak nyata. Hihihi. Ini terlihat sedikit sinetron, tapi memang seperti itulah.
Hari ini usia pernikahan kami tepat 4 bulan. Dan masih sering si kakak bangun tidur siang tiba-tiba nyubit pipi sambil bilang “Jujur saja, kamu palsu atau nyata.” Hihihi
Barangkali jika ini memang mimpi atau kami tersesat di dunia mimpi. Rasanya tak ingin kembali ke alam nyata. Kalau ini terdengar dramatis, akan aku coba jelaskan agar terdengar kisah alam nyata:
Pernikahan kami bukan buah dari sebuah perjalanan pacaran seperti kebanyakan orang. Karena itu, kami memiliki tugas yang lebih banyak, lebih berat dan lebih menantang di awal. Banyak sekali hal yang kami masih belum tahu satu sama lain. Dan jujur, itu adalah hal yang menjengkelkan sekaligus sangat indah.
Di tiga bulan pertama, banyak hal terjadi. Perbedaan-perbedaan kecil yang awalnya nggak kelihatan dan nggak kepikiran buat nanya waktu ta’aruf bermunculan hehehe. Sekali lagi, itu menjengkelkan sekaligus sangat indah juga lucu. Seperti cara melipat baju , memilih sandal jepit yang enak dipake, pilih sikat gigi yang pake helm atau enggak, pake sabun cair apa batang, kalo njemur baju tuh mestinya gimana, dan buanyak sekali hal lain.
Yang saya sebutkan di atas sepertinya sepele. Tapi membutuhkan pengertian, kesabaran, kerelaan, kemauan hehehe untuk menerima. Misalnya nih, sekedar contoh merek sebuah sikat gigi lagi promo kalo beli sepaket (isi 3 lebih murah). Udah dibeliin dibawa pulang, suami nggak mau make karena sikat gigi nggak pake helm. Ahahahaha langsung manyun nggak tuh bibir kita kira-kira? Akhirnya suami ngalah mau pake setelah sang istri berargumen yang cukup panjang dengan kalimat yang penuh diplomasi bahwa nggak usah terpengaruh iklan merek tertentu buat sikat gigi harus pake helm :D :D
Bagi saya, menikah adalah tentang merelakan. Merelakan yang milikku dan milikimu menjadi milik kita. Merelakan waktu main bareng teman terpotong dengan waktu keluarga. Merelakan cepat-cepat pulang kerja agar bisa makan bareng suami. Merelakan mencuci baju dua kali lebih banyak dari biasanya. Merelakan diri kalo ada yang bisa bantuin buat setrika baju, jemur baju, lipat baju. Merelakan kalo ada yang ngajak jalan-jalan pas weekend. Merelakan ada yang repot beliin ini itu pas kita sakit pilek. Dan merelakan merelakan yang lain.
Bagi saya. Menikah adalah hal paling ajaib sejauh ini yang pernah terjadi dalam hidup saya. Bagaimana seseorang yang mungkin bagi orang lain biasa saja itu bisa menyedot banyak sekali perhatian saya. Bagaimana saya jadi nggak jadi nafsu makan di tempat kerja kalo suami pas di rumah. Bagaimana saya jadi nggak bisa tidur kalo nggak dipeluk suami hihihi. Menikah adalah menetapkan cinta. Dan cinta bukan hanya berdiri untuk sisi-sisi indah pasangan kita, cinta itu berdiri apa pun pasangan kita. I love you no matter what.

Blitar 14 September 2015

Untuk Siapa? #latepost



Kau tahu, mengapa Tuhan kadang tak mempertimbangkan pendapat kita ketika menjatuhkan hati kita pada hati seseorang?” Salman mengemasi alat gambarnya, seharian ini tadi seumur-umur berteman dengannya, baru kali ini ia tak menghasilkan apa pun. Kanvasnya kosong, mejanya rapi, wajahnya bersih tanpa keringat. Kemeja selengannya juga tak terlipat ke atas. Ada sesuatu pasti yang mengganggu pikirannya.
Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” Tanyaku berani.
Cinta.” Aku tak menyangka ia selugas itu, tak takut ku goda atau tak bermuka merah muda selayaknya orang dirisaukan cinta. Menyebalkan, Ia selalu bisa mengendalikan. “Ketika puluhan kriteria kau tuliskan, berharap kau akan jatuh cinta pada orang yang benar-benar kau impikan. Tapi daftar itu runtuh, karena kau jatuh begitu saja. Cinta selalu begitu kan?”
Kau bicara tentang siapa?” Suaraku kaku. Aku upayakan benar-benar gesturku agar tak kelihatan salah tingkah. Aku benci teman seperti ini, yang pintar memojokkan seperti dia.
“Aku takut menyebut nama, karena aku khawatir keputusan Tuhan tidak sama seperti yang kubayangkan. Karena dalam cinta, tanpa kita sadari, sepenurut apa pun kita, kita berubah menjadi pribadi yang keras hati. Begitu kan?”
Aku hanya mengangguk, bingung menanggapi. Topik ini terlalu asing bagi kami. Menyebalkan.
Kau tak perlu menanggapi, aku hanya ingin meracau.” Akhirnya ia menyadari keterpojokanku, menggeleng menertawai diri sendiri. “Jangan terlalu khawatirkan, cinta itu sesuatu yang bisa kita siasati. Kalau kita adalah pecinta yang tulus, yang terpenting bukanlah apakah cinta kita diterima. Jika tak terima pun, kasihan sekali dia, tidak menyadari ada pecinta setulus kita.”
“Aku tidak khawatir, kau yang khawatir?” Kataku membela diri.
“Tidak perlu se-sensitif itu, aku hanya meracau.”
……..
Ini kali sekesekian ia meninggalkanku dalam keadaan tertimbun tanda tanya besar. Apa maksudnya membicarakan cinta secara tiba-tiba, membuatku menduga-duga. Namun dengan nada santai khas-nya, ia mudah sekali menguasai diri.
Terkadang melihat Salman membuatku berburuk sangka padaNya, Astagfirullah. Karena memang yang terlihat, apa-apa yang dimiliki Salman membuat mata orang lain iri. Prestasinya, kemampuannya dalam bergaul, keseimbangan antara matematika dan estetika, caranya mengendalikan diri. Dan hari ini dia tiba-tiba bicara cinta. Seuatu topic yang paling jarang ia singgung-singgung. Aku harus berkata apa?
Kemudian, pulangnya aku masih dipenuhi rasa tanya. Apakah Salman membicarakannya karena mencintaiku. Baik, ini aku ke-Geer-an sekali. Situasi terkadang memang memojokkan kita untuk berpikir sepeti itu, tapi logikaku mampu menyeimbangkan. Tidak mungkin, aku bukan tipenya. Tapi untuk siapa? kepada siapa ia menaruh cinta?
Hingga besuknya tiba-tiba, aku dikuasai rasa penasaran. Ini yang kubenci dari perempuan, mudah penasaran. Lalu benar-benar kutanyakan padanya. Yah, aku menganggap antara kami sudah dekat dan kalau pun ia jatuh cinta pada orang lain, biar aku turut mendoakan.
“Kau jatuh cinta? hah? pada siapa?” Ia menggeleng, lalu mengalihkan pembicaraan. Dan bodohnya, aku terbawa saja. Hingga tujuan awalku untuk mengorek informasi dari luntur seketika.
***
Ini tulisan dua atau tiga tahun lalu. Saat aku masih tergila-gila dengan Negeri Kanguru dan menulis serial Paddington untuk pelampiasannya. Hari ini, aku menemukan tulisan ini tersleipa diantara file-file yang lama dan folder harta karunku. Aku dibikin takjub sendiri, aku dulu suka sekali merangkai cerita seperti ini. Dan sekarang, aku dibikin malu oleh seseorang, yang sepertinya sengaja membuatku malas menulis lagi, seseorang yang terlena pada zona yang begitu nyaman. Dan begitu menyebalkannya ketika aku tau, bahwa seseorang itu adalah diriku sendiri. Ya Allah, apa aku kufur? apa begitu banyak kemudahanMu ini justru kusepelekan. Ampuni aku ya Ghofur. Jangan biarkan aku terhanyut pada sungai yang menyediakan banyak ikan jinak karena terlalu asik berenang. Pegangi aku ya Allah, agar selalu semangat berkarya, dan menjadi perempuan lebih baik lagi.

Blitar, 21 Februari 2016

Nilai Kami Jelek



Sekali duniaku menampakkan
Akan mengejutkan semua orang
Bukalah mata, lihatlah bagaimana aku berlari,
Bagaimana aku berputar ke sisi yang lain
Aku akan meluncur seperti burung
Aku hanya ingin memiliki, seribu sayap untuk terbang
(Taare Zameen)

Saya mencari-cari, apa beda saya yang sebelum belajar Psikologi, dengan saya sekarang yang dua bulan lalu diwisuda. Tidak banyak beda sebenarnya, saya tetap tidak bisa menghindarkan diri dari berkhayal yang aneh-aneh, saya juga masih emosional dan larut terbawa suzana eh suasana, masih juga sering uring-uringan kalau-kalau merasa terdzolimi, padahal belum tentu. Kalau masalah pendengar yang baik, dari dulu-dulu sebelum belajar Psikologi juga udah gitu. Jadi dapat apa?
Alhamdulillah, saya menemukan sesuatu. Yaitu saya menjadi tidak mudah taking for granted, alias menyamaratakan, alias berpikiran yang gini itu pasti gini. Artinya, saya kalau ketemu yang janggal jadi suka mikir, eh masak sih gini, atau, kok dia bisa gitu kenapa ya? Karena dalam Psikologi, kami diajari untuk tidak mudah mengatakan “PASTI”, karena manusia makhluk yang tidak pasti, makanya banyak yang pemberi harapan palsu alias PHP, alias nggak pasti --___--“ #towewew
Di Indonesia tercinta ini, sayangnya manusianya suka memukul rata. Suka masti-mastikan sesuatu yang belum tentu seperti itu. Contohnya, pinter harus jago matematika, jadi dokter, kuliah di universitas keren. Karena menurut saya, Indonesia sukanya pakai metode kuantitatif. Apa yang jelas-jelas bisa ditakar, nilai matematika 90 misalnya, kan jelas. Bagus sih, tapi di sini tanpa sadar terjadi pendzoliman, penyisihan, peminggiran, kepada kaum-kaum yang nggak jago matematika (curcol xoxo).
Ada yang pernah melihat film Taare Zameen atau ada versi Indonesianya yang saya lupa judulnya apa? Entah, saya begitu sensitive kalo bahas anak-anak special. Bagi saya, dunia ini jahat kepada mereka. Pelabelan, pengucilan, mengatakan  bahwa mereka tidak punya masa depan. TT__TT Padahal mereka tidak pernah meminta dilahirkan demikian.
Ishaan, main character di Taare Zamee adalah penderita Learning Disabilities atau kesulitan belajar jenis Dyslexia. Learning Disabilities (LD) mudah menyebutnya, gangguan-gangguan neurologis yang mengakibatkan seseorang mengalami kesulitan dalam belajar, tapi mereka memiliki intelektual normal, alias mereka tidak retardasi mental, mereka tidak down syndrome, bahkan kadang mereka memiliki IQ di atas rata-rata.
Orangtua, guru, atau bahkan kita sendiri kadang lebih mudah mengatakan ‘malas’ atau ‘bodoh’ daripada kesulitan belajar. Tapi memang apa bedanya? Mereka memang menampakkan cirri-ciri sebagai anak demikian, kan? Sungguh, saya sangat setuju sekali dengan quote Yohanes Surya. “Tidak ada murid yang bodoh, yang adalah mereka yang belum mendapat kesempatan belajar dengan guru yang baik.” Kalau kamu merasa menemukan murid bodoh, periksalah metode mengajarmu, periksalah cara mendidikmu.
Bodoh, adalah label yang kejam. Ketidakmampuan kita mengarahkan atau menemukan metode yang membuat anak mengerti dan memahami menarik kita untuk lebih mudah melabelinya demikian. Sehingga pengajar atau orangtua yang mengatakan muridnya bodoh adalah telah gagal menjadi pendidik yang baik.
Akan lebih mudah menggambarkannya seperti ini. Jika ada segolongan orang di dunia ini menganggap bisa baca dan mengerti tulisan arab itu adalah pintar. Sedang anda tidak mengerti tulisan arab sama sekali apakah anda mau dikatakan bodoh?
Ini hanya membicarakan ukuran yang tak sama. Cara yang tak sama. Dan dunia yang begitu berwarna. Semoga kita selalu bisa meluaskan hati untuk menerima, menjernihkan mata untuk melihat. Banyak hal yang lebih dari sekedar kita pikirkan.
“Setiap orang itu jenius, namun jika anda menilai ikan dari kemampuanny memanjat pohon, dia akan meyakini sepanjang hidupnya bahwa dia itu bodoh”
_Albert Einstein

Agustus, 2014

Senin, 04 Januari 2016

Mengelola Rasa



Hi World! Maaf atas ketidak nongolan hampir setahun ini. Hari ini aku ingin memperkenalkan buku baruku yang diterbitkan oleh Quanta Elekmedia Komputindo. Judul a da lah....

telah tersedia di TB Gramedia @Rp. 47.800



Buku ini ada untuk bersama belajar mengelola rasa. Rasa cinta yang hadirnya sering tanpa sengaja dan bandelnya luar biasa, agar tetap pada batasnya, agar mampu menyikapinya, agar tak turut tersesat dalam kubangan maksiat, tapi terus berjalan dalam koridor taat. Tidak melalui banyak teori, karena kita tahu teori tentang cinta selalu tidak valid, karena kita tau teori cinta adalah tidak ada teori.



SINOPSIS
Kalau sedang jatuh cinta, tidak apa-apa, jatuhlah. Tapi jatuhlah seperti cara hujan, jatuh yang menumbuhkan.

Banyak yang mengatakan, bangunlah cinta, jangan jatuh cinta. Tapi siapa yang dengan mudah bisa membangun di hati yang masih amburadul. Buku ini, adalah untuk kami yang ibadahnya belum selangit, tapi berupaya bangun setelah peristiwa jatuh cinta. Karena bangun ketika pada awalnya kita tidak jatuh itu mudah, yang sulit adalah bangun dari peristiwa jatuh. Kami harus merayu paksa perasaan kami yang diluluh-lantakkan oleh hati kami sendiri, kami harus pontang-panting mengerahkan segenap kekuatan untuk bangun dan bertumbuh, karena meski kadang bermasiat, kami berupaya membentengi diri dari agar tetap berjalan pada koridor taat.
Cinta adalah anugerah, yang datang bukan untuk dilarang. Cinta adalah hak asazi rasa, biarlah kita menemukan cara untuk mengelola. Meski ada rasa dalam dada, walau terselip cinta dalam hati, semoga Dia senantiasa kami taati.
Cinta adalah fitrah. Tapi  kita selalu memiliki kesempatan mengelola rasa agar tetap terarah.


Bila menginginkan buku ini bisa langsung ke toko buku online atau hub. wa 085755101223