Rabu, 30 Oktober 2013

Grazias Allah


melihat bintang alangkah jauhmu
melihat biru alangkah dekatmu
melihat hutan, melihat gunung
siapamenjagamu….
Allah.
(Opick, Taffakur)

Kemudian Allah menitipkan kita pada suatu tempat, lalu kita menyangkakan keburukan di dalamnya. Padahal hanyalah, kita tidak mengetahui. Apakah pesan yang disampaikan Allah lewat segala tanda alam yang ia cipta. Kemudian kita terbentur pada suatu mata pelajaran sabar, lantas sejenak menyadari bahwa segala luka adalah membawa energi penguatan. Membawa yang lemah menuju kuat, membawa yang rapuh menjadi kokoh, memupuk yang layu menjadi bersemi. Hanya saja, manusia selalu terlambat menyadari dan berucap syukur.
Semua hal yang terlalu menyesakkan, andai kita menyisakan ruang pemahaman, disana selalu ada penjelasan. Lalu semua berakar hanya satu tunggak, bernama ketidaktahuan. Ketidaktahuan melahirkan kecurigaan, beranak pinak menjadi kecemburuan, kedengkian, lalu kekufuran. Allah, maafkan, kami terlalu sering berburuk sangka padaMu.
Selalu ada benarnya, kecintaan pada dirinyalah yang membuat manusia buta. Baginya Allah hanya tak adil padanya, baginya Allah memilih dalam berkasih, baginya segalanya menjadi buruk oleh sebab kedengkiannya. Padahal andai kita tahu, Allah menyayangi dengan banyak cara. Baik yang kita sukai atau benci. Terkadang keras, untuk menguatkan, atau lembut untuk membesarkan. Allah, Ia selalu mempunyai cara. Hanya kita tak pernah menduga. Bahasa romantisnya, kejutan dalam berhubungan. Ketidaktahuan apabila terselimuti baik sangka, suatu saat akan terbukalah tabir keindahan. Allah, caraNya selalu mengejutkan. Tapi mempesonakan. Berbaik sangkalah.

#Entah, kelas konstruktivisme hari kemarin menyadarku. Nikmat Allah membawaku kesini, di Kota yang panas namun penghuninya membawa kesejukan di hati. Terimakasih ya Allah mengenalkanku pada mereka (teman 2010, teman Muslim Youth Club,). Kalian menempati tempat terbaik di hatiku.


Minggu, 20 Oktober 2013

jatuh


I am a shooting star, I’ve come so far, I can’t go back to where I used to be
__Jasmine (Aladin)

Kalau kau sudah pernah merasakan sebenarnya jatuh cinta, kau akan tahu apa yang dirasakan komet saat ia memutuskan untuk menjatuhkan diri ke bumi.
Sebagian orang mengatakan, jangan jatuh cinta tapi bangunlah cinta. Namun, ketika yang terjadi adalah suatu ketidaksengajaan yang tak terkendali, apakah bisa kita membangun? yang ada hanya kita terjatuh dan berupaya membangun segalanya dari sana.
Dari saat seperti yang dikatakan Jasmine, Ia seperti bintang jatuh. Bagaimana pun tak bisa kembali kepada tempat ia berasal. Kalau pun akan kembali pada awal, peristiwa jatuh itu telah menjadi sebuah memori dalam kenangan. Lalu, bisakah kita hapus paksa memori seperti menginstal ulang computer seperti yang biasa kita lakukan. Tidak. Mungkin kita hanya berharap, memori yang baru akan semakin menumpuknya, meletakkannya di lipatan bawah sehinngga ia sulit mencul karena terlalu tertindas memori – memori yang lain.
Bagi sebagian orang, menumpukkan memori baru tak semudah menata kardus – kardus kosong se halnya dengan kehidupan nyata. memori baru mereka seringkali roboh begitu mereka tata, tak menempel seperti memori lama. Lalu mereka menyerah, berdamai pada alam untuk membiarkan semua memori lama berkelebat seperti arwah gentayangan. Tak nampak tapi, entah ada entah tidak, namun selalu mengahantui.
Karena itu, aku sedapat mungkin menjaga garis edarku. Aku takut melakukan kesalahan lalu bersilang dan jatuh ke arahmu. Seperti yang terjadi pada bintang – bintang yang jatuh ke bumi.
#balik SBY #masih sakit # 03.00 #presentasi Bu Tining#ohkenapa BABIIIgak kelar2

Sabtu, 19 Oktober 2013

Rapuh


Kamu sedang apa, bisa kah kita bicara sebentar, untuk saling cerita lalu saling mendengarkan. Belakangan, aku terpojok oleh sesuatu yang sulit dijelaskan, entah apa ini namanya. Karena itu, hematku, teman – temanku akan sulit mencerna tentang ini. Tapi kamu, aku percaya kamu. Aku diam pun, kau tahu rahasiaku.
Kau tahu, terkadang, ketika sepi tiba – tiba datang, atau pasangan pak masalah dan nyonya dilemma, beserta anak cucu cicit mereka, galau, gundah,gulana, menyerbu, memojokkan tanpa belas kasihan seperti psikopat. Aku kerepotan memaksa diriku untuk tidak menangis, atau sekedar berperilaku tegar seperti anak dewasa lain, aku kesulitan.
Entah apa alasan Tuhan menjadikanku sedemikian melankolis. Beberapa kali aku memaksa sisi kholeris muncul menggesernya tapi nihil. Dan akhirnya, lagi – lagi aku hanya berusaha membujuk hatiku untuk tidak lagi menangis. Kau tahu, mempunyai jiwa teramat peka sepertiku membuat kita sibuk. Sibuk menjelaskan ini itu ketika setiap kenyataan menyakitkan datang, Sibuk meyakinkan diri bahwa diri dan jiwa kita kuat. Ahh aku lelah pada mereka.
Hari ini, tiba – tiba aku terserang gejala somatic, itu penyakit yang biasa kami diskusikan di kelas. Mendadak untuk berdiri pun tubuhku goyang, teman – teman berdiri di depanku seperti sedang menari balet, dan akhirnya aku merepotkan adik – adik di asrama, okay ini penyakit fisik biasa dan aku mungkin hanya sedang kesurupan jin – jin lebai luar angkasa. Tapi kamu, kamu tahu, mendadak semua nyeri di kepala hilang, aku berjalan mampu berjalan tegak seperti manusia normal, ketika aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Aku tidak meminum obat apa pun sebelumnya. Kamu bingung? aku juga.
Aku hampir gila memaksa diriku menuruti jadwal – jadwal yang kutempel di maddng kamar, menurut beberapa mentor yang ku ikuti aku harus mematuhi jadwal itu. Tapi apa yang kamu lakukan jika jadi aku. Aku harus bagaimana. Bisa kah kau bantu aku menjadi kholeris yang tahan banting.  Tidak, kau tak perlu menjawab, karena itu tak akan mungkin. Mungkin cukup seperti ini, jadilah teman baikku dalam bercerita.

Kamis, 17 Oktober 2013

ja(t)uh

Kamu pasti takut sendiri. Aku juga. Kemarin, waktu kau bilang kau akan pergi jauh, aku makin takut. Ada semacam perih dalam hati yang membuat mataku dipaksa berair. Pipiku becek. Sayang, air mataku, sederas dan sebanyak apapun ia mengalir, tampaknya tak punya daya menahanmu untuk tetap di sini. Maka detik itu aku pura-pura tersenyum. Detik selanjutnya aku menyadari bahwa ters...enyum sama sekali tak melegakan.

Bila kau mengerti. Dalam senyum yang kubuat-buat itu sebenarnya hatiku berdo’a: “Tuhan, tak bisakah Kau lewatkan aku dari cerita tentang keterpisahan ini?”. Belum sempat kudengar jawaban dari-Nya, lantas kususul dengan doa-doa senada: ”Tak bisakah waktu Kau putar lebih cepat sampai ia kembali?”, “Tak bisakah untuk kali ini saja, anugerahi hambamu ini kemampuan untuk memperbudak waktu?”. Entahlah, semoga saja dengan semakin beragam doa yang kuucap, Tuhan semakin ramah sebab punya banyak pilihan untuk dikabulkan.

Menjauh untuk menjaga. Kau tahu, sejujurnya aku benci konsep itu. Terlalu menyedihkan. Seperti perumpamaan klasik tentang matahari yang mencintai bumi dengan jaraknya. Terdengar tegar dan dewasa memang, tapi tetap saja menyedihkan. Aku mulai mengira, barangkali analogi itu cuma pembenaran teoritis atas tragedi ketidakmampuan mencintai—dengan alasan apapun. Atau boleh jadi semacam legitimasi bagi sebuah kerapuhan jiwa.

Apa yang bisa diharapkan, dari sebuah cinta yang bahkan oleh himpitan jarak saja ia jadi tak berdaya?

Apa yang bisa dibanggakan, dari cinta yang dengan segala macam pembenarannya menyerah pada sebuah keterpisahan, pasrah pada ketakberdayaan, sementara seluruh penjuru dunia memuja kedigdayaannya dengan kalimat ‘Amour Vincit Omnia’ ?

Kalau saja matahari, memang mencintai bumi. Dengan abadinya keberjarakan yang ditakdirkan pada mereka, mestinya telah redam bara yang ia punya. Terendam oleh air matanya sendiri. Seperti Qais yang cintanya tak pernah sampai pada Laila, tak ada yang bisa ia lakukan kecuali menangis. Lalu majnun-lah ia, sebelum akhirnya mati dalam sebuah keterpurukan. Apakah selalu begitu, benturan antara rasa dengan realitas yang beda rupa selalu mencipta luka?

Menjauh untuk menjaga.

Sampai pada baris tulisanku yang kesekian ini, aku masih belum bisa menerima konsep itu. Seperti konsep ‘rela menunggu untuk kebahagiaan’. Lagi-lagi, entahlah. Barangkali karena aku terlalu merindukanmu, hingga bahkan aku tak rela menunggu, terlebih lagi membuatmu menunggu.

(karya Azhar Nurun Ala)

Selasa, 15 Oktober 2013

Hai, Kau Suka Senja? Ya, Aku Juga


Hai, Kau Suka Senja? Ya, Aku Juga

Adakah waktu yang kita hargai lebih mahal dari menjelang keterpisahan. Adakah yang kita rindui lebih dalam dari saat – saat singkat kebersamaan. Kita dalam ketakberdayaan, hanya mampu mengatakan ‘tingal lah lebih lama’. Tapi seperti ditakdirkan untuk bersikap congkak, pernah kah waktu mengabulkan semua itu? Semua, entah semua atau sebagian besar. Lalu terhimpun rasa yang mewakili, yaitu senja.
Kau suka senja? Ya, aku juga. Menunggunya, sepanjang hari lalu menikmatinya dengan terburu – buru sebelum pekat malam dengan culas menculiknya. Tapi senja, selalu berbaik hati untuk datang lagi besok. Menemui bola matamu yang penuh penasaran, akan kah hari ini senja bertahan lebih lama.
Mungkin melalui senja, Tuhan mengajarkan bahwa banyak keindahan di dunia fana ini hanya semu dan sementara. Mungkin kau harus bersiap menjumpai malam pekat setelah menemuinya dalam sekejap, atau terlebih dahulu berlelah dengan matahari, melalui senja pula mungkin Tuhan ingin menerangkan, istirahatlah sejenak untuk mengingat-Nya.