Selasa, 30 September 2014

Another story of pejuang yudisium


Around a month ago, saya menemani my bestie classmate named Bekti buat ngejar tandatangan persyaratan yudisium kelulusan. Bekti adalah orang yang banyak jasanya dalam  many frustrating moments of mine menuju yudisium, dialah saksi hidup yang melihat dengan mata kepalanya sendiri gimana buteknya wajah hampir depresi saya selepas mencari dosen dan tetap tidak ada kabar berhari-hari selama tiga minggu, menjadi luahan keluh kesah dalam hari-hari penuh ketidakpastian para PHPers, yang menemani saya ngendon di perpus fakultas sampai diusir kita sama penjaganya, dialah yang selalu mengatakan “Bisa..bisa, masih ada waktu.” padahal itu deadline tinggal lima hari dan saya belum ada gambaran kapan bisa menemui dosen untuk revisi. Mungkin waktu itu bekti juga udah pesimis, tepi demi saya dia bohong begitu, Uuuuu Bekti #pelukBekti.
Semua itu tidak berlebihan. Perjalanan menuju yudisium bagi saya tidak lebih ringan daripada proses skripsinya sendiri. Saya bahkan merasa, jika tidak ada keajaiban Allah mungkin saya tidak bisa wisuda Juni kemarin. Bagaimana tidak, bagaimana saya bisa menyelesaikan segala tetek bengek persyaratan yudisiun dalam waktu tiga hari sedang normalnya dua atau minggu atau sebulan. Allah menyulap dosen penguji saya yang super duper aduhai itu menjadi sangat baik hati, Allah mengirim Eli, Mbak Inun, Mbak Meta untuk sama-sama telatnya kayak saya, biar saya ada temennya telat, biar saya ada yang nebengin kemana-mana, haha. Mengirimkan dosbing yang buaik luar biasa, sampai mau bela-belain telepon dosen penguji biar ngoreksi revisian skripsi saya.
Seminggu sebelum deadline saya telpon Ibuk, “Buk, sepertinya aku nggak bisa wisuda Juni, nggak papa ya, Buk?” mau enggak nangis akhirnya nangis juga sambil bilang. Meskipun ibuk bilang nggak papa, hati saya belum tenang. Yah, harapan Ibuk pengen lihat saya wisuda Juni pupus, batin saya. Selanjutnya, hari-hari itu terisi adalah tawakal saja. Berjalan dengan gontai ke kampus, berkumpul dengan pejuang skripsi yang lain yang masih sama-sama belum ada kepastian apakah kami bisa wisuda bulan depan. Kami benar-benar pasrah ya Allah, terserah Engkau.
Tapi saya tetap sekuat tenaga positif thinking, meski jadi sensitive banget, dikit-dikit nangis, status fb, twitter, bbm, wasap, semua, diliputi oleh satu kata, tawakal. Karena saya yakin, saya sudah mengeluarkan semuanya. Saya sempat tidak tidur semalaman demi mengejar target penyelesaian skripsi, bolak-balik Blitar-Surabaya ngambil data, ngewer-ngewer Sammy (netbook kesangan) kemana pun saya pergi, membagi perhatian antara realisasi dan laporan kemajuan PKM dan draft skripsi. Saya hanya yakin, Allah akan membayar kelelahan saya.
H-3 pengumpulan berkas Yudisium pukul 08.10 di fotokopian, dosbing saya nelpon.
dosbing : Mbak Futri dimana?
saya     : di fotokopi, Bu.
dosbing : Bisa ke kampus sekarang, di tunggu penguji untuk revisi
Saya segera cuss ke kampus, menemui penguji untuk revisi dan tidak lupa dengan muka melas dan pasrah.
penguji : surat pernyataan jilid skripsi mana?
saya     : hah? Saya belum revisi, Buk.
penguji : Tidak usah, langsung saya acc. Cepat buat surat pernyataan jilid skripsi, saya tunggu sampai jam empat, sekalian saya tandatangani pengesahannya.
Saya tertegun, tiba-tiba ruang dosen terdengar instrumennya Abang Yiruma yang judulnya River flows in You, saya seret tangan dosen penguji, lalu kami menari tango #emanggaknyambung.
Ternyata ini keajaiban tawakal, cara Allah mengajari saya apa itu pasrah pada-Nya, apa itu optimis, apa itu menjaga dompet dari potocopi berulangkali  karena tidak ada revisi ngahaha, (fyi, skripsi saya 200 lembar).
Tawakal adalah kepasarahn total, pada rencana dan ketentuan waktu Allah. Sehingga tetap terjaga baik sangka pada-Nya meski kemarin jika saja hasilnya adalah saya tidak jadi wisuda, karena kita tidak tahu, Allah Mahamemeri kejutan, sedang kita hanya maha tidak tahu. So, trust His timing and keep tawakal.

Blitar 30 September 2014

Minggu, 28 September 2014

Surabaya Setahun Terakhir

Apa yang harus kukatakan lagi pada orang melankolis ini, pekerjaannya mendramatisir sesuatu. Hanyut dalam kenangan, tenggelam dalam kerinduan #halah.

Ada sisi sensitive dalam diri saya memang, terutama ketika melibatkan sesuatu yang menyentuh perasaan. Dasarnya mudah terharu, yang menurut orang mungkin biasa saja, tapi saya tidak bisa menganggapnya biasa. Yah, inilah hidup versi saya.
Weekend di pagi hari, aktivitas terakhir saya akhir-akhir ini adalah telpon-telponan berjam-jam dengan sodara-sodara yang masih belum hengkang dari Surabaya. Bahas apa? Tentunya bahas yang enggak penting-penting. Sepertinya, mereka belum mau melepas saya #GeEr.
Surabaya setahun terakhir, puncak perubahan besar dalam diri saya. Masa-masa paling soro (sengsara), paling deket dengan teman-teman juga, masa paling jahat pada diri sendiri, masa berlatih sabar habis-habisan karena jadi mas’ul (penanggung jawab) asrama, masa dimana harus melalui peristiwa hampir depresi satu menuju hampir depresi yang lain, masa harus pintar-pintar membagi waktu antara PKM, skripsi, dan kampanye caleg wkwkwk. Intinya, setahun terakhir ini di Surabaya adalah unforgettable sangat.
Pelan-pelan saya baru sadar rencana-rencana Allah tentang jalan takdir yang harus saya lalui, atas banyak hal yang saya mau banget tapi belum dikabulkan. Mengapa saya tidak wisuda bulan Maret, mengapa saya harus tidak mendapat tempat PKL di Surabaya (meskipun sempat hampir depresi karena ditolak empat kali oleh lembaga terapi, haha), mengapa saya harus ‘diasingkan’ di asrama berbeda dari teman-teman angkatan 2010 dua tahun berturut-turut, mengapa saya yang masih sering manja dan ngga jelas ini dijadikan penanggungjawab asrama, dan mengapa-mengapa yang lain.
Iya, Surabaya telah menjadi monument kenangan bagi saya. Surabaya, kota yang dulu paling saya ogahi karena panas dan takut item (dasarnya padahal juga udah item :P ). Ini kota yang dimau-i Ayah saya, akhirnya bisa membuat saya jatuh hati. Sekarang membicarakan Surabaya bukan hanya sebatas sebuah kota, namun memasuki daerah perasaan, cieeeh.

Blitar, 27 September 2014

Jumat, 26 September 2014

Perubahan memang kejam


Beberapa hari yang lalu, saya mendapat sms dari seseorang yang minta saran. Dia adalah orang yang sama sekali tidak saya kenal yang dapat dapat nomer saya dari temannya yang kebetulan teman saya namun beda jurusan. Teman saya itu mulia sekali hatinya, setelah sebelumnya dia mengajak teman-teman kostnya datang ke kontrakan saya buat curhat sama saya, sekarang dia saranin ke temannya yang lain untuk curhat juga sama saya. Mungkin besuk gentian tetangganya yang curhat sama saya.
Saya bukan apa-apa, saya belum Psikolog yang kompeten. Mungkin kalau asal dengerin dan kasih sarannya asal njeplak saya bisa. Tapi masalah terakhir ini sedikit rumit. Orang asing itu minta saran, bagaimana agar dia bisa berhenti jatuh cinta sama perempuan? sepertinya sepele, menjadi tidak sepele jika ternyata dia adalah perempuan juga TT__TT. Jadi dia minta saran ke saya bagaimana caranya berhenti jadi lesbi.
Awalnya saya kaget, harus saya apakan ini orang? saya selalu teringat kata dosen kelas konseling, jangan memberi solusi pada klien, tapi bantulah dia menemukan solusi. Saya pancing dia bercerita, dia terbuka sekali hingga sedetailnya diceritakan sama saya, tapi tetap saja ujungnya saya bingung harus bilang apa. Karena sungguh tidak mungkin saya balas sms “HENTIKAN PERBUATAN SESUNGGUHNYA LESBI ADALAH HAL YANG DILAKNAT ALLAH.” dia pasti bisa jawab, “MAKANYA KASIH SAYA SARAN, BUKAN MALAH DAKWAH.” daaan saya masih bingung.
Hingga terjadilah percakapan diantara kita,
dy        : Saya trauma disakiti laki-laki. Jadi biar aman, saya pacaran dengan teman cewek saya.
sy         : Jadi perempuan yang pacar kamu ngga pernah nyakitin kamu?
dy        : Pernah, Mbak.
sy         : Nah, buat apa kalau gitu kalau sama-sama pernah?
dy        : Lebih baik saya jadi player aja Mbak, biar tidak disakitin.
sy         : tidak apa-apa, jadilah apa yang kau suka, selama kamu tenang (saya sempat ragu mau kirim ini.)
Tapi aneh, sms saya yang terakhir itu ditanggapi dia luar biasa. Sedih katanya ingat orangtua, mau tobat aja, mau serius kuliah, mau macem-macem yang baik-baik lain, hufft dia sadar. Namun saya salah, besuknya dia sms lagi udah punya pacar lagi dan masih berupa perempuan, alamaaak. Saya biarkan saja. Dua hari setelah itu, dia sms dibikin patah hati karena ternyata pacar barunya udah punya pacar, wih riweuhnya ternyata dalam kalangan lesbi juga ada perselingkuhan. Terus dia bingung minta nasehat saya.
Huuuffffff banget kan? terus saya bilang, “Kalau kamu mau berubah, kamu harus serius, nurut apa kata saya, inshaAllah saya akan bantu kamu, tapi kalau kamu plin-plan seperti ini, saya nggak yakin bisa bantu.” Saya agak nyesel ngirim sms itu, selain karena antara saya bingung, kalau dia nurut pun juga mau saya apakan? dan merasa salah karena tidak memakai jalur kelembutan untuk mengambil hatinya, karena saya kemakan jengkel.
Ternyata dia memilih tidak melanujutkan curhatnya ke saya. Tidak apa-apa, dia minta solusi, saya memang belum pantas belum memberikan solusi, selain itu, terapi dimana pun atau proses modifikasi perilaku, bacalah buku apa pun, yang pertama adalah komitmen. Selama tidak ada komitmen, proses akan sia-sia.
Berubah memang berat, tapi tidak selama kita memiliki kesungguhan. Dalam tempat kerja saya yang peserta terapi-nya adalah anak-anak, Ibu mereka rela membiarkan anak-anak dibuat menangis berulangkali selama proses terapi, karena mereka tahu, ini cara terbaik untuk merubah sesuatu, yaitu dipaksa. Jika cara halus tidak bisa, paksa dengan kasar jika memang mau berubah.
Dua hari ini, saya ketiduran ketika membaca. Dulu ketika di Surabaya, tidur habis Isya adalah hal yang tidak pernah saya lakukan, secapek apa pun.  Akhirnya hari ini ketika saya mengantuk lagi ketika belajar, dengan merem saya berjalan ke kamar mandi, saya guyur muka saya. Saya tahu, kalau nggak dikejami gini bakalan keterusan. Berubah memang harus ada niat, jika memang cara yang harus kita lakukan adalah kejam, lakukanlah demi kebaikan.

Blitar 26 September 2014

Senin, 22 September 2014

Ini tentang kampung kita. Tentang Surga.


Ini tentang kampung kita. Tentang Surga.

Aku bertanya-tanya, mengapa ujian-ujian hidup harus datang silih berganti seperti tak memiliki cara untuk berhenti? Mengapa kita harus bersusah payah belajar, harus sabar melatih diri berbuat baik, berpeluh-peluh berusaha mengentaskan diri dari banyak peristiwa yang membuat frustasi lalu setelah selesai satu peristiwa, peristiwa berikutnya yang lebih menghadirkan depresi datang menyambut? Mengapa kita harus berjuang untuk banyak hal, mengapa harus memaksa diri menahan hawa nafsu? Mengapa kita harus telaten menenangkan diri dengan kata “Sabaaar.”, lalu berupaya mempercayai bahwa sabar memang tanpa batas. Mengapa? Kita harus melakukan semua itu? Atau pertanyaan yang pasti sering muncul di kepala banyak orang, “Mengapa yang enak-enak itu dilarang?”
Jawabnya “Ya memang inilah hidup.” sepertinya kurang memuaskan. Lalu aku sadar, mengapa kau dan aku harus terus berjuang seperti itu? Kawan, ternyata kita masih di dunia. Nanti, ketika kita pulang pada kampung halaman, akan beda lagi aturan mainnya.
Mereka dan pasangan-pasangannya berada dalam tempat yang teduh, bersandar di atas dipan-dipan. Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa saja yang mereka inginkan. (Yaasin :56-57)
Aku teringat suatu cerita, saat seorang murid bertanya kepada Imam Ahmad yang kira-kira seperti ini “Wahai guru, aku lelah. Kapan kita akan beristirahat?” Lalu sang Imam menjawab “Anakku bersabarlah, kita akan beristirahat ketika kaki kita menginjak pintu surga.”
Kau lelah, atau ingin mengenggam segala sesuatu yang kau inginkan, melakukan apa saja yang kau mau. Hanya satu kuncinya, bersabarlah. Kuatkan hati melalui segala proses, karena kita masih di dunia. Tapi sekarang aku ingin bertanya pada dariku dan dirimu. Apa yang sering kita mintakan pada Allah sambil menangis? Mimpi-mimpi dunia, atau kampung kita surga? Kemudahan mengejar kemauan atau keistiqomahan dalam kebaikan?
Sahabat, ingatlah aku. Jika nanti kau sudah di surga sedang tidak ada aku di sana. Mungkin tersandra Malaikat Malik di neraka. Tolong jemput aku, dan bawa aku bersama kalian, aku juga ingin ke surga.
Ya Allah jadikan kami telaten, sabar, dan berdamai dengan segala proses di dunia ini. Aamiin

Dalam kerinduan ukhuwah,
Blitar, 22 September 2014