Sabtu, 22 Februari 2014

Aku ingin menua bersamamu


Entah sudah berapa kali saya memposting tulisan pengalaman-pengalaman di kereta. Saya bahkan lupa. Cukup sering. Karena bagi saya, kereta selalu menyajikan strangers yang menarik untuk kita bahas bersama-sama. Mereka semua menarik, mulai dari mas-mas tuna netra yang luar biasa optimisnya, bapak-bapak perkerja bermuka preman berhati ustadz (hehe), bapak chinese yang mempermalukan saya dengan mengajak saya bicara bahasa jawa dan saya nggak bisa, sampai mas-mas yang tampangnya gaul abis, gaya anak muda Jakardah, udah kayak boyband penampilannya, tapi membuat saya melongo kemudian karena dia ngaji di sebelah saya (Ini cerita menarik sekali, kapan-kapan saya ceritakan). Banyak sekali hal menarik, bisa saya buat buku sepertinya “Alien-alien baik kereta Api” -_-  xoxoxoxo.
Banyak, cukup untuk di sebut banyak. Perjalanan dengan kereta selalu menyeret orang-orang asing yang menarik, ini yang membuat saya berpikir bahwa jangan-jangan semua orang itu menarik bagi saya. Tapi bagaimana tidak, lima sampai enam jam di dalam kereta yang puluhan kali saya naiki, pemandangan itu-itu, penjual yang itu-itu, pengamen itu-itu dengan lagu itu-itu juga, hal yang beda dan menarik tentulah seatmates (teman duduk).
Jadi kemarin kereta saya telat luar biasa, sampai dua jam. Saya selalu membagi tiga sesi perjalanan di kereta, sepertiga untuk membaca, sepertiga untuk tidur, sisanya untuk ngobrol dengan orang asing korban ke-kepo-an saya. Hari kemarin adalah pasangan sepuh yang baik hati. Bagaimana tidak, baru duduk aja saya sudah dibelikan pia pathok, loh. Wajah saya mungkin memang lovable ^,^. Saya awalnya mengira, mereka muslim. Tapi karena setelah saya sempat izin mau sholat di depan mereka (biar nggak diajak ngobrol). Setelah saya selesai mereka bilang bahwa mereka nasrani. Ooh saya baru mangut-mangut.
Tapi disini yang ingin saya ceritakan bukan tentang agama mereka. Tapi kisah perjalanan hidup mereka. Yang menginspirasi saya. Jadi si bapak adalah pensiunan angkatan laut, dan si ibu adalah istrinya pensiunan angkatan laut (Ya Iyalaaaah -_-“). Mereka bercerita memiliki lima anak yang menurut bahasa saya, Alhamdulillah sudah jadi orang semua. Kemarin itu mereka dalam perjalaanan pulang dari mengunjungi salah satu anak mereka.
Bagi orang lain mungkin ini tidak menarik, apa yang menarik dari pasangan berambut putih yang kira-kira enampuluh sekianan tahunan. Tapi ini menarik sekali bagi saya, melihat mereka backsound pikiran saya langsung lagunya weslife yang I Wanna Grow Old with You. Mungkin di sekitar kita banyak pasangan yang tetap suka nge-date berdua gitu, tapi uniknya mereka ini lucu alias romantic. Sulit saya menjelaskan.
Si bapak menawari si Ibu beberapa makanan yang lewat, si Ibu menolak menggeleng. Si bapak tanya “Capek ya duduk terus?” si Ibu menggeleng lagi, si Ibu kedinginan diambilin jaket.  Kok saya ngamatin segitunya. Ya Iya dong orang mereka duduk tepat di depan saya. Melihat mereka bagi saya seperti melihat Carl dan Ellie dalam film Up. Romantic surrounding.
Mereka seperti mengatakan, bahwa cinta adalah memastikan orang yang kita cinta baik-baik saja. Bahwa cinta adalah melindungi, bahwa cinta adalah memberi dan bahwa cinta adalah membuat mereka yang kita cintai merasa dihargai. Terlepas dari bagaimana jalan hidup pasangan sepuh di dalam kereta, saya menyimpulkan bahwa cinta adalah membangun lalu mempersembahkan.
Betapa indahnya masa aging menghabiskan sisa-sisa waktu dengan melakukan perjalanan kemana pun bersama dia, sambil mendekatkan diri kepada Dia.

Surabaya, Futri Zakiyah Darojat
200214

Selasa, 18 Februari 2014

I Won't Give Up


‘cause even the stars they burn
some even fall to the earth
we’ve got a lot to learn
God knows were worth it
No, I won’t give up
(I won’t give up, Jason Mraz)

Ini salah satu alasan saya lebih suka lagu barat daripada popindo. Ada beberapa kalimat yang berisi pelajaran. Tidak melulu soal cinta. Mungkin berbeda sih sudut pandang penyanyinya, tapi mengapa kita tidak menciptakan sudut pandang tersendiri. Bukankah manusia adalah apa yang mereka pikirkan. Menurut pandangan saya pribadi, Mraz ingin menyampaikan,  meski jatuh bangun dan habislah tenaga kita mengejar sesuatu, setidaknya kita telah banyak belajar dari itu. Dan Tuhan Maha Teliti, ada harga untuk setiap hal yang kita usahakan dengan baik. Bukan kah hal terpenting adalah proses?
Benturan keras beberapa tahun terakhir mungkin yang Allah ingin jadikan referensi bagi hidup saya. Suatu hari, saya sama Bekti (my classmate) bercakap-cakap agak serius. Tentang hidup akhir-akhir ini. Saya sama dia sama, sama-sama sedang belajar, sedang berada pada proses yang sulit, yang sedang susah payah menjaga keistiqomahan, karena memang dunia kami saat itu berbanding terbalik dengan apa yang kami jalani saat ini (Inshallah menuju yang lebih baik). Salah satu konklusi dari pembicaraan di belakang kampus sore itu adalah, bahwa jika Allah menginginkan kebaikan pada hambaNya, Dia pasti menuntunnya untuk lebih memahami AgamaNya.
Dan kami tahu, segala proses menuju kebaikan tak pernah mudah. Seperti kata Murabbi saya, perjuangan tak ada yang mudah Dek, dan Allah Maha Tahu, tentang niat dan segala prosesnya. Mungkin kita belum melihat sekarang hasil yang kita inginkan, tapi bukankah segala perhitungan adalah rahasia Allah. Dan adakah yang tahu siapa kita di mata Allah, yakin kah kita sudah baik di mata Allah? baik di mata manusia bisa dikelabuhi, tapi Allah?
Wahai diri, semoga pada setiap benturan yang membekaskan luka, terdapat satu bab tentang kekuatan, karena itu bertahanlah wahai diri. Karena mendapat hidayah itu sulit, tapi menjaga hidayah seribu kali lebih sulit. Jagalah setiap langkah biar hanya tertuju padaNya.

Blitar, Futri Zakiyah Darojat

kelud and us



Beberapa hari lalu sejak status Kelud dinaikan dari siaga menjadi waspada, saya sudah merencanakan pulang ke Blitar. Akhirnya sama-sama Nita, saya memutuskan pulang pada jumat (14/2). Semakin hari, berdasarkan artikel-artikel di twitter dan status teman-teman lewat fb, Kelud semakin mengkhawatirkan saja kondisinya.
Kamis malamnya, sekitar pukul 22.30 saya tiba-tia dapat sms yang mengjutkan dari kakak. “Besok nggak usah pulang ” Demi membaca sepotong sms yang isinya ambigu itu, saya langsung telpon kakak saya. Suara dari seberang ramai, kakak bilang semua warga sudah keluar rumah, ada beberapa yang bahkan sudah mengusi, kilat merah menyambar-nyambar dan gemuruh dari arah kelud tak henti-henti.
Karena kakak beda rumah dengan saya, saya kemudian menelpon ibuk. Dan apa yang terjadi di rumah. Amat tenang. Bagaimana mungkin? sama-sama Blitarnya sama-sama kecamatannya. Ibuk bilang “Ini leyeh-leyeh di depan tipi, Abi keluar sama adek, sama Bintoro dan Ebid (anak-anak angkat Ayah saya)”
Ketidakjelasan berita itu justru membuat saya tidak bisa tidur, mau telpon lagi Eeh pulsa saya habis, beli pulsa dimana tengah malam begitu. Tidak ada setengah jam kemudian, beberapa teman SMA pada sms mengabarkan gunung Kelud meletus.
Baru paginya saya menelpon rumah. Melihat kondisi Surabaya yang turut kebagian hujan abu Kelud, sudah barang tentu Blitar jauh lebih parah.
“Bi, gimana di rumah?” Tanya dengan benar-benar khawatir
“Terjadi situasi yang sangat MENCENGANGKAN, kerikil beterbangan, warga desa berbondonga mengusi” *Gaya Host SILET*
Sumfah demi mendengar Ayah saya berkata begitu saya langsung ketawa tapi nggak sampe guling-guling. Ini situasi yang sebenarnya gimana sih?
“Ngusi Bi?”
“Iya di masjid, sedesa pada ngusi semua ke gunung pegat *nama gunung kecil di desa kami*”
“Kok pean nggak ngusi kesana juga?”
“Lha kenapa ngusi wong nggak ada nyuruh, pemerintah juga nggak, orang-orang desa aja yang lebai. Akhirnya malam-malam berangkat ngusi, paginya udah pada pulang.”
Demi mendengar jawaban itu, saya benar-benar guling akhirnya ketawanya. Ingatan saya jadi melayang-layang ke tujuh tahun lalu, ketika saya masih kelas sepuluh SMA. Jadi ceritanya tahun itu kelahiran anak kelud, situasinya mungkin lebih parah yang dulu, karena dulu status awasnya berhari-hari, tidak seperti erupsi yang ini.
Selama seminggu kami diteror hujan abu vulkanik, langit siang kayak malam, gelap dan berkilat merah. Yang membuat kenangan itu sedikit lucu di benak saya adalah, satu desa saya adalah orang-orang lebai semua. Situasi demikian itu kemudian menjadi sangat dramatis. Bayangkan daerah saya adalah daerah rank 3, sekitar 35 km dari lereng Kelud, yang Inshallah masih aman meski tidak mengusi. Tapi yang terjadi pada warga desa kami adalah lain. Meski tidak ada himbuan mengusi, seluruh warga pada heboh sendiri-sendiri.
Saya masih ingat, hari itu Idul Fitri hari kelima tahun 2007, Bayangkan pukul delapan malam ketongan udah pada bunyi dimana-mana, speaker masjid nyala mengabarkan “DIHIMBAU SELURUH WARGA UNTUK CEPAT-CEPAT MENGUSI, KARENA DUA JAM LAGI GUNUNG KELUD AKAN MELETUS” berita itu berhasil mengacau balaukan tatanan desa, tentangga-tetangga saya yang anak kecil menangis-nangis, yang dewasa sibuk memasukkan pakaian dan surat berharga kedalam koper, yang tua digotong keluar mengusi, hewan ternak turut diajak mengusi. Saya tidak menyangka situasi akan sericuh itu. Saya ikut gugup sekali waktu itu, batin saya, akan terjadi semacam tsunami di desa kami.
Dalam hitungan jam, desa kami akhirnya bersih sudah. Kericuhan menurun. Ternyata hampir semua warga desa berangkat mengusi lengkap dengan koper-koper besar dan hewan ternak mereka. Keluarga saya memilih di rumah karena berniat menyelamatkan diri di loteng salah satu tetangga.
Hal paling kocak terjadi esok paginya, karena malam itu Kelud tidak jadi meletus. Pagi-pagi pukul 05.00 saya sambil menyapu halaman melihat fenomena langka yang dramatis sekaligus konyol. Orang-orang pulang mengusi dengan bawaan mereka yang luar biasa banyaknya. Kasur, kardus bekar tv berisi pakaian dan makanan. Diangkut kembali pulang kerumah, sapi- sapi dituntun pulang, nenek kakek yang sudah tak kuat berjalan di angkut dengan mobil charteran. Saya seperti bisa membaca bagaimana pikiran mereka “GUNUNG KELUD PHP” wakakakakak.
Begitu kisah tentang kelud dan desa kami yang indah dan paling saya cintai diantara seluruh desa di dunia ini. Kecintaan kami luar biasa terhadap kelud, sehingga kelita ada orang luar Blitar bertanya keadaan Kelud, pasti kami menjawab “Alhamdulillah ‘cuman’ hujan kerikil dan gempa kecil” Itu mungkin bagi orang lain bukan ‘cuman’ tapi bagi kami, itu setidaknya lebih kecil dari apa yang kami sangkakan
Tulisan ini hanya diary pribadi saya sekaligus refleksi untuk menyikapi banyak hal tidak dengan tergugup –gugup dan sekedar ikut-ikutan.
“Ya Allah terimakasih Engkau menyelamatkan kami, teman-teman kami, tetangga kami, jadikan ‘bencana’ ini sesuatu yang semakin mendekatkan kami pada-MU”

Blitar, Futri Zakiyah Darojat

Kamis, 13 Februari 2014

Ini alasannya


Ini alasan mengapa aku suka denganmu. Kuharap ini cukup rasional. Aku suka ketika kau mengangguk keras dan mantap saat aku berkata “aku ingin kesana” tanpa merasa perlu menyakan “mengapa?” karena kau yakin, ketika aku mengingini sesuatu, pasti ada hal baik yang memesonakan bagiku. Baik, aku akan membalasmu demikian pula.
Aku suka ketika kau menenangkan tangisanku dengan “kita bisa coba cara lain.” tanpa menanyakan mengapa aku gagal pada cara sebelumnya. Karena kau percaya, aku telah berusaha keras untuk cara yang telah kulakukan. Baik, aku akan membalasmu demikian pula.
Aku suka kau diam disampingku. Tanpa banyak kata “mengapa?” atas kediamanku juga. Karena aku memang sedang berperang dengan hatiku. Dan pada saat itu, biar hatiku yang memutuskan. Bukan orang lain. Dan kau tau itu. Baik, aku akan membalasmu demikian pula.


Aku suka ketika kau menasehati aku yang menangis dengan “bersujudlah” bukan memintaku bersandar di bahumu, karena kita sama-sama percaya jika sajadah lebih lapang dari pundak siapa pun.
Aku suka ketika kau merelakan diri menjadi sekonyol Guy ketika aku menjadi setidakjelas Eap. Karena bagimu, dunia begitu menyeramkan untuk penghuni menara utara sepertiku. Ravenna mengurungku bertahun-tahun, dan kau datang menjelma William sang pemanah handal. Baik, aku akan membalasmu demikian pula.
Aku suka ketika kau menasehatiku dengan cerita-cerita kuno daripada memarahiku ketika imanku sedang futur, karena kau tahu aku tak pernah mengerti maksud yang disampaikan orang yang sedang marah. Baik, aku akan membalasmu demikian pula.
Aku suka karena kau tahu, segala kemarahanku sebesar apa pun, selalu luruh dengan kata “maaf”. Dan kau melakukannya meski kau tahu, terkadang bahkan sering kali bukan kau yang salah. Baik, aku akan membalasmu demikian pula.
Dalam setiap diri, ada hal memesona yang tidak disampaikan seseorang. Namun ada mata yang cukup jelas melihatnya. Mereka sebut itu aura. Mungkin ini hal maya lain yang segera terempiriskan dengan beberapa cara.

#fiction
Surabaya, Futri Zakiyah Darojat