Senin, 20 Januari 2014

Aku pasrah ya Allah, terserah Engkau


Aku pasrah ya Allah, terserah Engkau
__Oleh sebab itu, setiap Hamba Allah harus selalu memperhatikan gerak dan tetapnya, diam dan bicaranya, berdiri dan duduknya. Hendaknya pula ia memandang dengan bashirah (mata hati). Maka ia akan sadar, siapa yang selama ini ia sembah? __Keajaiban Hati, Imam Al-Ghazali

Hari itu ada yang lain dari pembicaraan kita. Kau begitu serius, baru kali ini aku mendapatimu seserius ini. Yah, setidaknya kau selalu menyelipkan sedikit kelakar dalam soal-soal aritmatika yang kerap kita bahas hingga larus sore di perpustakaan. Tapi hari itu, kau bukan lagi serius, kau bahkan memarahiku. Aneh saja rasanya, kau yang selalu bilang “Jika kau tak bisa, itu wajar, memangnya siapa kau mau bisa segalanya, tapi Tuhan bisa melakukannya untukmu. Mintalah padaNya untuk membantumu.” Lalu selanjutnya kita biasanya akan saling memamerkan target. Termasuk target mendekatiNya.
Tapi hari itu, sore yang canggung. “Aku tertekan.” Kataku sebelumnya, “Target-target itu mencekikku, ya aku salah terlalu melebihkannya, kau benar, siapalah aku berani bermimpi setinggi itu, dan Tuhan mungkin belum berkenan membantuku.” Lanjutku, sebenarnya seperti biasanya juga, aku hanya mengeluh, tidak terlalu berlebihan.
“Dengan kau bilang ‘tertekan’ saja, sama artinya kau mengucap satu kata peremehan untuk Tuhan, seharusnya bila kau percaya Tuhan, dimana-mana akan terasa lapang, kau meletakkan mimpi di sini.” Katamu kemudian sembari menunjuk kepalamu, “Bukan di sini,” Selanjutnya jarimu mengarah pada dadamu. Aku diam, tersinggung dengan kata-katamu yang ada benarnya.
Aku harap selanjutnya kau akan menertawakan keseriusanmu, lalu berkata “Santailah jangan dibawa berat, orang sekurus kau terlalu sulit membawa yang berat-berat.” Tapi mimik mukamu tak berubah. Aku mulai menyimpulkan, kau mulai bosan dengan keluhan-keluhanku akhir-akhir ini. Sepertinya.
“Kau berkata begitu seolah aku orang musrik yang percaya kekuatan lain selainNya.” Jawabku tak kalah serius.
“Lalu?” Kilahmu singkat.
“Kalau kau tak mau mendengar keluhanku ya sudah, aku tak akan cerita lagi. aku akan cerita pada yang lain” melankolisku benar-benar keluar, aku semakin emosi menanggapimu, mukaku mulai memanas, ya Tuhan, waktu itu aku sungguh bersusah payah memaksa mataku untuk men-delay datangnya pasokan air mata. Aku tidak mau terlihat lemah dengan menangis di hadapanmu.
“Bagus.”
“Hah?”
“Ceritakan kepada selainku, ceritakan padaNya. Aku tak bisa memberi solusi. Atas cekikan-cekikan target, atas pertanyaan impian yang tak kunjung terjawab. Tanyakan pada Yang Maha Menjawab. Lalu carilah aku setelah kau menemukan jawabannya, hanya saja aku ingin bilang. Kau akan lelah jika berlari mengejar dunia, sejauh apa pun kau melempar jangkar, sekuat apa pun kau mengayuh, rakit kecil kita sesungguhnya tak pernah sampai. Tapi jika kau bertuju pada apa yang di langit, sekokoh apa pun tembok, seterkungkung apa pun kita, tanpa jalan keluar pun, kita masih bisa menengadah ke atas, Dia selalu disana.”
Lalu kau pergi, selepas itu airmataku benar-benar tak terbendung, delay yang kumohonkan gagal total, mataku seperti ketumpahan air entah darimana. Karena kau kejam sekaligus benar. Saat itu juga aku ingin berlari ke arahmu dan bilang, aku telah menemukan jawabannya. “Serahkan rencana kita pada Yang Maha Perencana,”

Surabaya 20 Januari 2014
Futri Z. Darojat

Tidak ada komentar: