Jumat, 08 Agustus 2014

Kisah Cinta Alien dan Bidadari Salju


Cerpen ini termuat dalam majalah Annida edisi Maret 2014. Ini tulisan saya yang mendapat lumayan banyak testimoni dari pembaca diantara tulisan saya yang lain. Semoga bermanfaat :)

Dalam duniaku, hidup adalah sehangat kecupan pagi Mama, sesegar gelak tawa Ayah karena leluconku, dan secarik stiky note warna-warni yang tertempel di seluruh tempat, kulkas, pintu kamar mandi, dinding pantry, dekat rak sepatu atau manapun yang memungkinkan. Karena seluruh keluarga kecil kami percaya, cinta harus diungkapkan, meski dengan stiky note ukuran 10x10 cm. “Happy exercise Darl :*” tulisan Papa di rak sepatu. “Nasi goreng di microwave sayang, hope you enjoy it” tempel Mama di pintu kulkas. “Hey Gigi kelinci, jangan lupa ransel Abang balikin.” Tempel Kak Hasbi di pintu kamar. Karena Mama dan Ayah adalah pekerja kantor yang luar biasa sibuk, seperti itulah cara kami mengekspresikan cinta.
Aku rasa, tidak ada yang aneh dengan keluarga kami. Ya, tidak. Tidak sebelum aku menemukan orang seperti Akhyar, ups maksudku Bang Akhyar, suamiku. Laki-laki setinggi tiang bendera yang  tiga bulan lebih tua dariku.
Aku (dipaksa) menikah dengannya dua minggu yang lalu, kami adalah korban polos pencomblangan orang tua seperti yang sering muncul di sinetron. Klasik bukan? tapi serius, aku mengalaminya. Tante Laksmi, Mama Akhyar, teman baik Mama. Sejak kapan? aku tak tahu, mungkin sejak di Lauh Mahfud, aku pikir ini tidak berlebihan karena mereka terlampau dekat. Aku dan Akhyar, ups maksudku Bang Akhyar, suamiku, adalah anak-anak manis yang patuh pada orangtua kami. Bagitulah awal kisah ini.

***

Aku membuntutinya dari belakang, menatap punggung bidang Bang Akhyar. Aku baru menemukan satu ini di dunia. Seorang suami berjalan tak menjajari istrinya. Ia beberapa langkah di depanku, tak menggubris aku yang menyeret koper hijau lumut itu sendirian, berjalan kelelahan dengan rok panjang dan udara Kota Surabaya yang terlampau menyengat. Papa Bang Akhyar menghadiahi kami sebuah rumah demi pernikahan kami,  rumah baru di pusat Kota Surabaya. Dan mau tak mau demi menghargai si pemberi, rumah itu harus kami tempati.
Tentu. Aku tidak akan meminta Bang Akhyar menyejajariku, selain karena gengsi, aku pikir seharusnya dia sendiri yang peka. Dimana-mana meskipun kita punya barang sendiri-sendiri, tidak seperti ini ceritanya kalau sudah suami istri, koper elu koper elu, koper gue koper gue. Apa perlu aku sekolahkan kepribadian suamiku itu. Aku hampir sesak nafas karena menggerutu. Hampir limaratus meter berjalan, aku tak kuat. Lututku sudah seperti rantai karatan. Dia? jangan tanyakan. Menoleh pun tidak. Mamaaaa….
Tiba-tiba tercetus ide, biarlah biar dia berjalan sendiri. Kalau pun tidak peduli, biar. Biar aku kembali kepada Ayah, biar aku kembali ke Medan saja. Biar kedua orangtuaku tahu ulah menantu pilihan mereka. Kemudian aku benar-benar menghentikan langkah, melemparkan diri, duduk di tepian trotoar, aku lelah. Aku pikir, dia tak akan berbalik karena terlampau tak peduli, namun beberapa langkah menyadari ketiadaanku di belakangnya, ia memutar arah, Berdiri di sebelahku, lalu membungkuk membenahi tali sepatu.
“Kau lelah?” Katanya datar, aku tak menoleh, hanya menggeleng. “Baik, kita istirahat sebentar.” Lanjutnya lalu duduk di sebelahku, satu meter di sebelahku. Tepat seperti dua orang asing. Ya Tuhaaan…
“Aku tidak lelah.” Kataku, kulihat dia menoleh, seperti ingin mengatakan, lalu?. “Aku hanya merasa kau tak menyukaiku, atau aku hanya menjadi beban bagimu, duluan saja. Aku bisa menemukan sendiri rumah kita.” Kataku menahan kesal.
“Kalau begitu, Ayo! kita belum shalat ashar.” Katanya sembari berdiri lalu merebut pegangan koper dari tanganku, mengambil alih menyeretnya. Sama sekali tak menanggapi perkataanku. Oh Gooood…makhluk apa yang kau kirim ini. Tak ada yang bisa kulakukan selain membuntutinya.
***
Aku pikir segala kekakuan itu akan berakhir ketika semakin bertambah hari usia pernikahan kami. Nyatanya tidak. Bang Akhyar tidak ada perubahan. Kami makan, tidur, bersih-bersih rumah dalam keadaan kaku, tidak jauh seperti yang kugambarkan di atas.
Sebulan melalui itu, aku benar-benar tak tahan. Akhirnya pecah sudah tangisanku dalam telepon kepada Mama. “Mungkin dia masih canggung, kamu sudah coba kirimi dia puisi, Sayang? Atau membuatkannya nasi goreng cetak hati? Atau puding coklat?”. Mendengar perkataan Mama aku sedikit mendapat pencerahan. Baik, aku mengalah. Aku yang akan bersusah payah membuatnya mencintaiku.
Aksi pertama yang kulakukan adalah menyelipkan puisi di kertas gambarnya. Ohya, Bang Akhyar adalah arsitek. Pekerjaan itulah salah satu alasan yang menuntun kami berpindah kota.
Kau itu sebenarnya apa?
Aku bertemu beribu jenis manusia, namun tidak ada yang seaneh kau, seunik, dan seajaib kau
Aku sempat berpikir, jangan-jangan kau alien tersesat dari Mars
Tapi wujudmu sama dengan yang lain, kulit, hidung, rambut, seperti orang pada umumnya.
Tidak atau belum pernah kujumpai manusia mampu menimbulkan rasa semacam itu pada diriku, dan kau mampu..
sejengkel itu sebahagia itu, dalam rentang yang panjang dan waktu yang singkat
akhir-akhir ini, saat kau sering tak di rumah,  aku memulai kesimpulan aneh
bahwa jumpa tak pernah menyelesaikan rindu
rasa apa ini ya Tuhan…
aku mulai curiga, jangan-jangan
kamu alien berbentuk manusia…

Aku kehabisan ide untuk menbuat puisi. Sifat dan dan sikapnya tak ada yang indah untuk di puisikan, dan akhirnya beberapa coretan di ataslah yang kuselipkan diam-diam dalam kertas kerjanya. Yah meskipun tak begitu romantis, paling tidak menyiratkan bahwa aku mulai mencintainya. Meskipun nyatanya belum.
Dua hari setelah penempelan itu berlalu, tak ada perubahan. Aku curiga, jangan-jangan ia tak membacanya. Akhirnya kuberanikan diri mengecek ulang. Sudah tidak ada disana. Kemana? Apakah jatuh? Atau menurut dia biasa saja? Tapi sejelek apa pun, demi menghargai usahaku, harusnya ia mengatakan “Terimakasih puisinya.” atau apalah yang lain. Aku justru semakin diliputi prasangka. Dan perjalanan kehidupanku tetap : kaku.
***
Baik. Usaha pertama gagal. Tak apa, wajar. Aku harus mengalah lagi membuat ide lain untuk mencairkan kebekuan kami. Tidak masalah, aku belum bekerja dan memiliki banyak waktu di rumah. Misi kedua : Membuatkan puding. Setelah seharian bersusah payah men-search resep puding, berbelanja bahan, lalu membuatnya seorang diri. Ketika menunjukkan jam Bang Akhyar pulang kerja aku menjadi cemen. Aku takut memberikan padanya. Aku takut harga diriku turun seketika ketika ia tak berespon. Huff…Okay dengan bantuan stiky note kutulis “Dear alien, di kulkas ada sepiring puding cokelat untukmu, sincerely, Bidadari Salju.” menempelkan di dekat tempatnya menggantung dasi, lalu aku pergi belanja. Tepatnya, mencari-cari alasan untuk pergi kemana pun. Entah kenapa, aku jadi grogi sendiri.
“Terimakasih pudingnya. Enak.” Katanya menyambutku. Aku kikuk. Yes, berhasil. Aku tersenyum. Aku pikir dia akan berjalan lalu mencium pipiku atau paling tidak suasana berikutnya akan menghangat. Tapi ternyata sudah. Cukup sampai disitu. Tak ada percakapan lanjutan dan ia mulai bergelut dengan kertas gambarnya kembali. Rasanya, aku ingin lari dan loncat ke sumur tetangga.
Misi demi misi kulakukan, aku mengalah. Aku mengupayakan segala cara, memutar otak, jungkir balik mencari ide, menghabiskan biaya. Mengirimkan kartu pos ke kantornya. Membelikan baju olahraga couple.  Menyiapkan nasi goreng cetak hati seperti saran Mama. Dan hasilnya nihil. Dua bulan terakhir ini, aku benar- benar hidup dengan alien.
Dan pada titik beku kebosanan. Kerinduan akan keceriaan rumah Ayah dan Mama. Kelelahan. Kehabisan ide. Keadaan terkucil tak memiliki teman di perumahan baru yang asing, ibu rumah tangga baru yang menganggur seharian. Munculah duga prasangka setan. Apakah sebenarnya dia tidak menginginkan pernikahan ini? Apakah ada wanita lain di kota ini yang menarik baginya? Apa aku sejelek itu dan pantas untuk diacuhkan? Tangisku pecah.  Mama yang mendengar ceritaku hampir setiap hari ikut khawatir.
“Hania nggak kuat Ma. Sepertinya Bang Akhyar tidak menyukaiku. Ia diam sepanjang hari dan membalas usaha-usahaku dengan sangat dingin. Hania ingin pulang,Ma.”
“Maafkan Mama sayang. Tidak seharusnya Mama memaksakan perjodohan itu. Maafkan Mama.”
Dan terjadilah tangis menangis antara ibu dan anak. Kabar kekakuan Bang Akhyar akhirnya terdengar Ayah.  Ayah naik pitam mendengar berita dari Mama, yang barangkali sudah berbumbu secara berlebihan.
“Bagaimana kabar kamu, Sayang?” Suara Ayah lembut. Ayah sibuk luar biasa, karena itu beliau jarang menelponku. Aku merindukan dipanggil demikian. Melankolisku lagi-lagi keluar : menangis. Tak mampu menjawab dengan kata apa-pun. Aku justru sibuk menahan agar tangisku tak terdenger hingga seberang telepon. “Hania dengar Ayah? Han…? Han…?” Kugigit bibirku. Mendengar suara Ayah yang lembut penuh kasih justru semakin menyesakkan. Demi tak ingin Ayah mendengar tangisanku, kututup teleponnya.
***
“Abang ingin bicara.” Suara Bang Akhyar lebih dingin dari biasa, aku berbalik menutup laptop lalu duduk menghadapnya. “Apa salah Abang hingga Kau tega mengadu pada Ayahmu jika Abang tak becus mengurusmu?” Aku menggeleng. Tidak. Aku melihat muka cokelatnya yang bersih memerah. Ya Allah…Apa yang dilakukan Ayah. Seharusnya aku sudah mengira dari awal. Ayah sudah pasti membela putri kesayangannya ini. Aku menggeleng nyaris menangis.
“Aku tidak cerita apa-apa pada Ayah. Aku hanya menangis di telepon kemarin.” Jawabku nyaris menangis.
“Apa aku pernah memperlakukanmu dengan buruk?”
Aku menggeleng. Aku tak pernah dihadapkan situasi dimarahi seperti ini. Kugigit bibir bawahku semakin keras menahan tangis.
“Aku ingin pulang ke Medan.” Pecah sudah tangisanku.
“Tidak boleh.” Suaranya mengeras.
“Kau tidak mencintaiku, buat apa aku disini?”
Entah mengapa, demi mendengar kalimat terakhirku Bang Akhyar menoleh kaget. Menatapku tajam sekian detik. Aku semakin takut. Semakin deras air mataku.
“Kau memperlakukanku dengan dingin. Aku ragu kau memiliki wanita lain.”
“HANIA!!!” Bang akhyar berteriak keras sekali, kupingku sakit. Aku mencengkeram tangan. Airmataku membanjir.
“Lalu Apa?? Kau tak pernah membalas puisiku, surat kecil di kertas kerja juga tak pernah terjawab, kau tak antusias menyantap puding yang aku buatkan susah payah, bahkan kau tak mengatakan kalau kau juga mencintaiku. Dan memperlakukanku dengan sangat dingin. LALU APA??” Wajahku sudah becek, airmataku bahkan seperti tanggul jebol. Aku mempersiapkan telinga jika Bang Akhyar akan berteriak lebih kencang.
“Maaf.” Aku tersentak.Tiba-tiba dia menarikku ke pelukannya, lalu berkata lagi. “Maaf, Maaf, aku tak tahu kalau itu yang kau harapkan.” Aku masih terisak.
“Aku tidak pernah seumur hidup diperlakukan dengan dingin seperti kau memperlakukanku. Aku terbiasa dipanggil sayang dengan lembut, aku tak biasa keluar belanja atau ke toko buku sendirian, dan itu menyiksaku.” Aku terus berkata di sela isakan.
Bang Akhyar melepas pelukannya. “Maaf, aku tak bisa membahagiakanmu dengan cara seperti itu. Aku malu berucap ‘Sayang’. Tak terbiasa. Aku tak bisa menulis puisi. Aku pikir kau berani dan tak ingin diganggu jika ke toko buku. Maaf. Sekarang keputusan di tanganmu. Jika kau tak bahagia di sini. Silahkan pulang ke Medan untuk menenangkan diri.”
Aku berkemas-kemas. Memasukkan sedikit baju ke dalam koper kecil. Masih sambil terisak. Setidaknya aku sudah mendapat izin suamiku untuk pulang ke Medan. Aku merindukan Mama. Bang Akhyar duduk di tepi ranjang. Diam. Diam? Lambat kusadari bibirnya bergetar seperti menahan tangis. Perasaan bersalah tiba-tiba menelusupi hatiku. Tapi tekatku sudah bulat. Kuseret koper kecilku berjalan ke arah pintu. Bang Akhyar mengikutiku.
“Kau tidak berubah pikiran?”
Langkahku terhenti, tepat di depan pintu. Lalu kuputuskan berbalik mengahadap suamiku. Matanya merah.
Aku menggeleng. Maaf.
“Kau harus tahu, seumur hidup aku tak pernah diajari berkata cinta secara lugas. Keluarga kami pemalu. Tapi bukan berarti kami tak saling mencintai. Setiap mereka, memiliki cara dalam mencinta, dan aku lupa sekaligus bingung memikirkan cara bagaimana mencintaimu. Tapi kau harus tahu, ketika orang lain tak menunjukkan cintanya seperti cara yang kau ingini, bukan berarti dia tak mencintaimu dengan seluruh yang ia punya. Aku mencintaimu Hania.”
Tiba-tiba saja ada yang membuatku lari ke arahnya dan memelukknya erat-erat. Air mata yang ia tahan dari tadi meleleh sudah. Selanjutnya, rasa bersalah datang berbondong memenuhi hatiku, pegangan koper terlepas dari tangan. Aku memeluknya erat. Berkelebatan banyak hal. Ia yang tak pernah absen membangunkanku di sepertiga malam terakhir. Tak menyantap nasi goreng bentuk hati karena berpuasa. Menjemurkan cucian meski ia sudah hampir terlambat. Mengantar ke supermarket meski menunggu dengan wajah dingin. Dingin? apakah mungkin aku kurang teliti. Ia mungkin hanya bingung. Ya Tuhan…jahat sekali aku memaksanya. Menghakiminya.
“Kau tahu Bidadari Salju, aku mengambil dan menempel kembali puisi atau kata-katamu di buku agendaku. Karena aku ingin belajar, suatu saat aku ingin bisa membalasnya. Suatu saat akan mampu menulis puisi semahir kau. Aku juga ingin membalas smsmu, aku mengetik I Love You More, even Most. Tapi aku selalu malu, aku takut kau tertawakan. Aku bodoh ya? Seharusnya  ku kirim saja. Dan meski kau tertawakan, itulah resiko yang harus kuterima.” Mendengarnya berbisik demikian aku justru semakin menangis. Menangisi segala prasangka buruk selama ini.
“Bidadari Salju, mau kah kau tetap tinggal di sini bersamaku? Bersama alien yang aneh ini?” Tawaku muncul tiba-tiba lalu kutahan cepat-cepat demi melihatnya berlutut di depanku.
Aku mengangguk.

Surabaya, 7 Februari 2014
Untuk setiap pemilik cinta yang mengungkapnya dengan cara berbeda

Futri Zakiyah Darojat
Mahasiswa Psikologi dan Anggota Muslim Youth Club Universitas Negeri Surabaya

Tidak ada komentar: