Rabu, 26 Juni 2013

confession

Ini sebenarnya pengakuan yang konyol, tapi aku tak bisa mencegah tanganku untuk tak menulisnya.

Biasanya kalau sudah terpojok seperti ini, alih – alih yang biasa kulakukan adalah bernegosiasi dengan hati. Namun, hatiku begitu bebal, bahkan saat ini hatiku berada dalam posisi terbebal sepanjang sejarah kepemilikanku. Sehingga yang tersisa hanya satu pilihan, membiarkannya bermain – main dengan perasaan.
Aku sudah curiga di awal – awal, urusan hati selalu lebih rumit, lebih rumit dari mengatasi nenek – nenek pikun dan pengeyel, pun lebih rumit dari sin cos tangent matematika yang sering kuhindari. Sebelumnya, semenjak aku berhasil memplaster retak – retak di tepi hatiku, aku mengikatnya benar – benar. Dan hasilnya, aku tidak jatuh cinta pada siapa pun. Namun, kemudian sulit sekali rasanya mengerti rencana Tuhan, Dia mempertemukanku denganmu. Baik, mungkin ini klise dan terdengar bodoh, tapi hey mana ada orang dirindung cinta terlihat pintar. Upss ! Dirundung cinta?? ini tidak sebegitunya, ini hanya cerita yang ku karang dan kubesar – besarkan. Aku bukan dirundung cinta seperti itu, ini hanya salah satu dari sekian cara Tuhan mengujiku. Untuk mengasah mata dalam ketajaman, untuk member keterampilan hati dalam kepekaan.
Haii? apa kabar kau? aku tahu, ujian ini pati sama – sama diberikanNya untukmu. Dan ku akui atau tidak, ujianmu sepertinya lebih berat. Hari ini, aku ingin sekali bilang padamu, ayolah kita saling menjaga. Untuk tidak melebih – lebihkan prasangka, untuk tidak terjebak dalam persepsi. Ayolah kita percaya saja pada rencana Allah, cepat atau lambat kita pasti bersati :).


n.b : btw namamu siapa? *plaakkkk

Minggu, 09 Juni 2013

Paddington : Farewell


Aku hanya hanyut pada lamunan ketika kau berkata “Aku pulang dulu ya.” Itu kah kalimat permohonan izin, atau berpamit? bagaimana jika aku berkata “Jangan, tunggu aku.” Ahh konyol. Sore itu kami –lagi – lagi di dalam perpustakaan fisher—hanya memandangi deretan pohon ek dari balik jendela kaca. Tanpa membaca, tanpa menulis, atau Salman tanpa menggambar sesuatu. Salman bilangnya, “aku hanya ingin berbicara.” Dan lebih konyol, kenapa aku jadi mellow dramatis seperti menonton serial korea.
“Kau datang lebih dulu, maka kau pantas pulang lebih cepat.” Aku tidak menyangka, kalimat sebijak itu yang keluar dari mulutku. Kemudian Salman tersenyum, tidak kaku seperti biasa.
“Ini bukan tentang cepat atau tidak cepat. Ini tentang, siapa membutuhkan siapa. Aku hanya mau jujur tetang sesuatu.” Katanya dengan mantap. Mantap sekali. “Kau hebat.”
“Hah?” Aku hampir tak mempercayai pendengaranku. Pasalnya ini sepanjang sejarah pertemanan aneh kami, ia mau memujiku.
“Kau hebat bisa sejauh ini.” Lanjutnya kemudian.
“Bukan kah kau jauh lebih hebat.” Jawabku. Tidak ada balasan darinya. Kami kembali menikmati keterdiaman.  “Incongruity, kau pasti hafal di luar kepala tentang itu.” Lanjutku kemudian memancingnya berbicara yang lain.
“Kau baca dari mana istilah itu.” Pendeknya.
“Jangan salah, dalam psikologi juga ada itu. ketidaksenadaan. seberapa jauh ketidakcocokan itu menimbulkan estetika, begitu kan?” Kataku bangga.
“Sejak kapan kau cerdas.” jawabnya sedikit tertawa. “Begitu lah, match tidak selalu senada, dan yang senada tak selalu seirama. hanya seberapa jauh kau mendetailkan ketidak senadaan itu dengan pemfokusan yang lain. huff…” ia tutup kalimat itu dengan desahan panjang, seperti bosan. “Namun bukan berarti yang senada itu tak memiliki estetika, jauh lebih seharusnya. hanya memperhatikan detail. Bahkan lebih mudah pendetailannya.”
Aku heran, kenapa Salman tak menanyakan mengapa aku membahas incongruity. Ia justru menerangkan prinsip – prinsip ilmu arsitektur kebanggaannya. Aku hanya diam mendengarkan, sesekali ber-oh panjang lalu mangut – mangut.
“Tapi, congruity apa yang kau maksud?” Huff…akhirnya pertanyaan itu keluar.
“Sama.” Sebenarnya bukan itu jawaban yang kusiapkan. Aku hanya bingung menata kalimat. “Hanya saja, hidup seringkali tak senada dengan rencana, tak sesuai sketsa, begitu mungkin itu bahasamu.”
“Justru out of line itu yang membuat sesuatu menjadi hidup. Jangan khawatir. Congruity atau tidak, kau akan mendapatkan yang seirama.” Entah kenapa ia tertawa, aku bingung.
“Apa maksudmu?” Aku mulai curiga dengan penebakan pikirannya. –dengan maksud aku takut tertebak maksudku sebenarnya.
“Kita berbeda, tapi kenapa kita bisa berteman. Begitu kan maksudmu.” Jleb, aku terpojok telak. “Aku pendiam, kau banyak berbicara, aku suka menggambar, kau suka menulis, aku bekerja dalam matematika yang terpercaya, kau teori maya yang kau bela mati – matian, hahaha.” Aku masih diam, tak menanggapi –tepatnya bingung untuk menanggapi—“Ajari aku membuat puisi.” Katanya selanjutnya menyadariku keterpojokanku. Ia memang seharusnya tahu muka Maluku yang terlanjur tampak nyata.
“Kau mengekspresikan dengan gambar, kenapa harus repot- repot belajar membuat puisi.” Entah kenapa, untuk menutupi malu, suaraku justru terlihat ketus.
Salman tertawa, kali ini tertawa paling kencang sepanjang hidupnya, aku bertaruh untuk itu. “Kita masih bisa bertemu dan bersahabat, jangan khawatir.” Tawanya memelan.
Kau mengenal teman yang tak kau kehendaki, selalu muncul dengan sangat menyebalkan, yang selalu membuat iri, yang pintar sekali memojokkan, yang mencintai matematika, menjunjung tinggi estetika, dan membela mati – matian nilai sejarah. Itulah Salman. Kau bisa menanyakan bagaimana hitungan hingga atap – atap Gedung Opera itu tidak runtuh, hingga bagaimana cerritanya Korea Utara dan Selatan berpisah, ia hafal di luar kepala. Yah, begitu lah Salman membentuk tidak rata di hatiku. Kemudian dengan seenaknya ia berpamitan pulang. Inilah bagian aneh itu,  ketika kau takut kehilangan orang asing.
“Jangan berhenti menulis. Tulisanmu masih sangat jelek. Kau butuh lima atau tujuh tahun lagi untuk mendapat pujian dunia, itu pun jika kau berlatih 2 jam sehari. Segera pulang juga, ayo membangun Indonesia sama – sama.”
Kalimat itu lah mengakhiri semuanya, Kisah tentang kota kami, Paddington, Perpustakaan Fisher, dan semua tentang pertemanan janggal kami. Ini dia bagian dari menulis yang aku takutkan, pada akhirnya, segala kisah akan kehabisan kata, tidak ada yang dibahas, lalu berhenti sampai di sini. Lalu kita akan dengan susah payah membangun kisah yang lain, yang kita selalu tuntut akan serupa bahkan lebih.
*di penghujung semester 6, aku benci mengapa waktu begitu cepat berlalu. Kau membaik, sedang aku masih seperti - seperti ini saja :(.
 @ruang tengah asrama Khansa, dengan setumpuk tugas proyeksi dan inventori, dan besuk uas psikologi tata kota, dan ini pukul 01.50.