Rabu, 30 April 2014

Selalu Begitu Kah Manusia?


Hey. Selalu begitu kah manusia? Merasa sudah berusaha, nyatanya tidak melakukan apa-apa. Ia lupa, bangun itu bukan dari keadaan menutup mata lantas membukanya begitu saja, bukan. Bangun itu dari keadaan tertidur lalu duduk, berdiri dan bergerak.
Hey. Selalu begitu kah manusia? Mereka lupa, berapa kali Allah memudahkan mereka, lalu sekali saja Allah menguji kesabarannya, ia berani mengatakan Tuhan tidak adil. Belajarlah sayang.
Hey. Selalu begitu kah manusia? Sibuk berbenah diri, takut sekali tak terlihat baik di mata manusia. Tapi di mata Tuhannya. Berapa kali ia takut tak terlihat baik?
Hey. Selalu begitu kah manusia? Terlalu mencinta tetapi juga begitu mudah membenci. Mereka lupa, bukan kah yang sederhana saja bisa membuat bahagia.
Hey. Selalu begitu kah manusia? Asuransi jiwa berjuta-juta, takut kalau di dunia kenapa-napa. Tapi untuk sedeqah kepada sesame, mereka lupa. Tidak takut kalau di akhirat kelak kenapa-kenapa.
Hey. Selalu begitu kah manusia? Kerja lembur mengejar kesempurnaan karya. Tapi Shalatnya satu menit empat rekaat, mereka lupa manusia tak kan bisa sempurna, karena kesempurnaan hanya milik-Nya.
Hey. Selalu begitu kah manusia? Dengan bos-nya takut luar biasa. Perintahnya dikerjakan dengan seksama. Tapi perintah Tuhan yang menciptakannya, mereka menjawab, ahh nanti-nanti juga bisa.
Hey. Selalu begitu kah manusia? Selalu begitu? Entah begitu entah tidak. Entahlah. Anggap saja aku hanya sok. Karena aku juga manusia, bagian dari mereka.

Surabaya, 30 April 2014
Futri Zakiyah Darojat

April Moments


Entah mengapa. Malam hari H diantara hari-hari yang kuupayakan aku justru tak kuat mengangkat kepala. Aku rindu menulis blog. Tapi sayang, modem tak ada isinya, hehe. Yah mungkin bisa di posting kapan-kapan.
Ya Allah terimakasih memberiku April seindah ini. Dari dulu-dulu, April selalu menjadi bulan paling sibuk. Entah dalam alasan apa, mungkin termasuk 22 tahun yang lalu, yang kehadiranku menyibukkan seluruh isi rumah. Ya, aku dua puluh dua sekarang. Tapi masih puteri kecil abi yang banyak mau. Ini proses ini proses.
April, sekali lagi. Allah membuatku sibuk belajar banyak hal. Mulai dari mengenalkanku tentang Lekok dan segala keunikan budayanya. Memberiku pengalaman mengajar Ibu-ibu lanjut usia. Mengenalkan sebuah kerja sistem politik. Hingga begadang semalaman demi rekap data saksi. Kampanye, sampe dibela-belain lari di GOR Delta. Tabulasi berlembar-lembar form C1,D1,D-A1 hingga mata kliyengan. April ini benar-benar moment. Moment Pemilu. Moment pergantian pengurus di Muslims Youth Club, Moment realisasi PKM, Moment kebut skripsi sempe ngepot-ngepot. Ya Allah terimakasih memberiku April seindah ini.
Dan besuk. Bagaimana rasanya jadi aku di hari besuk ya? Mataku sudah pusing melihat monitor, minusku sepertinya menambah. Tapi, biarlah. Aku ingin menulis ini. Selesai ini, aku ingin mematikan Sammy (Samsung netbook), lalu tidur. Entah sejak kapan aku tidak tidur sebelum pukul 22.00. Aku ingin merasakannya malam ini.
Ya Allah, telah aku upayakan apa yang aku bisa. Sekarang aku bertawaqal. Aku percaya Kau pasti memberi jalan terbaik, melancarkan apa yang sulit, dan memberi petunjuk-petunjuk dalam setiap keputusan, aamiin.

Surabaya, 27 April 2014
Futri Zakiyah Darojat

Senin, 14 April 2014

Menjejak lekok #3 (Farewell)



-Tidak ada murid yang bodoh, yang ada hanyalah mereka yang belum mendapat kesempatan mendapat guru yang baik – Yohanes Surya

Membicarakan masalah keterbelakangan, dalam konteks apapun (khususnya pendidikan) seringkali akarnya hanya satu, masalah kesempatan. Bukan mereka yang belum mengerti lantas bodoh, bukan berarti mereka yang tidak atau terlambat memiliki kemampuan mengoperasikan internet lantas keterbelakang, semua hanya masalah kesempatan.
Ini yang seharusnya sebagai bahan bakar syukur terbesar kita. Apabila kita hobi membandingkan sekolah kita dengan almamater yang lebih ngejreng, lulusan yang lebih terlihat berkualitas, fasilitas yang oh wow. Itu karena kita melihat ke atas. Coba sedikit menoleh ke bawah, ribuan orang ternyata kurang seberuntung  kita dalam hal kesempatan. Belum tentu jika mereka lahir di tempat lain mereka juga tidak mengerti seperti itu.
Ada yang harus kita renungkan, kiranya apakah perbedaan antara mahasiswa yang sering tidur di kelas, pulangnya nongkrong, ketika ujian menyontek, dan skripsi hasil jiplakan. Dengan Ibu-Ibu buta aksara yang dengan gigih menghafal huruf A, B, C sama seperti yang dipelajari cucu mereka, dengan mata rabun, dengan sisa tenaga seharian menjemur ikan, duduk di balai desa sambil menyusui anak mereka. Apa bedanya? Apa jadinya ketika mereka bertukar posisi sebentar?
Terkadang ada rasa tak terima di hati saya. Tidak, bukan bermaksud menyalahkan Tuhan. Tapi betapa mereka yang mendapat kesempatan itu kurangnya bersyukur. Kurang memaksimalkan apa yang bisa peroleh. Seharusnya semakin banyak mahasiswa berpendidikan tinggi semakin banyak pula masyarakat intelektual Indonesia. Karena orang yang pintar itu sudah seharusnya memintarkan orang lain, bukan memintari.
Catatan sedikit emosional ini saya tulis pasca menyelesaikan program keaksaraan fungsional di Kecamatan Lekok (Pasuruan bagian Timur), dimana limabelas ribu warganya tidak mengenal huruf sama sekali. Sebulan lebih seminggu bersama mereka membuat saya banyak berpikir. Mereka akan tentu lebih meningkat kehidupannya jika memperoleh pendidikan sejak awal. Tidak harus menjadi buruh potong ikan yang sekilo hanya dibayar seribu. Mereka tentu lebih mampu mendampingi putra-putri mereka belajar ketika mereka mengenal huruf sejak lama. Ohh sayangnya. Ohh sayangnya.
Lekok, Pesisir Pasuruan

Kemudian saya kembali trenyuh ketika mendengar penuturan anak-anak mereka yang rata-rata tidak lulus SMP. Lalu sampai kapan rantai keterbelakangan pendidikan ini berakhir? Sampai kapan bapak Bupati? Sampai kapan bapak Presiden?
Tak nak, tak sekolah..tak bisa baca tulis. Tak pernah kemana-mana, kemana-mana ikut rombongan.”—Bu Juwariyah
Buk, jangan lek balek ke Surabaya Buk, Kalau Ibu ke Surabaya bagaimana Ibu-Ibu di sini Buk.” –Bu Halimah
Maaf ya Bu ya, tanya terus ya Bu ya, saya bodoh.” –Bu Mainah

Kami sedang belajar



Entah mengapa selepas acara kemarin, saya justru semakin merasa bodoh. Hanya sedikit yang bisa kita berikan kepada mereka, tapi mereka memanfaatkan benar-benar, awalnya dipostingan Menjejak Lekok #1 saya menulis bahwa mereka tidak butuh membaca dan menulis, Saya salah besar. Mereka justru bersemangat sekali. Bahkan seringkali mereka yang datang dulu daripada kami.
Tubuh tua bu Masinah menggotong papan tulis, tak pernah sekali pun izin. Bu Juwariyah yang sekali pun belum bisa dan selalu mengelak ketika di tunjuk, selalu duduk dibangku terdepan, dan yang paling menangis ketika kita bilang akan kembali ke Surabaya. Bu Mainah, Bu Rubayyah yang menulis sambil menyusui anak. Bu Zubaidah dengan tangan kasar selepas memotong puluhan kilo ikan. Mereka se-niat itu untuk belajar. Betapa malunya seharusnya kita.
Perpisahan kemarin (12/04). Membuat saya harus merubah pandangan saya. Bahwa Ilmu tak semata kita peroleh kapan dan darimana, tapi apa manfaat yang di dapat orang lain dari ilmu kita.
Terimakasih penduduk Lekok, sesungguhnya bukan kita yang mengajari kalian, tapi kalian yang mengajari kita. Kita mungkin mengajari tentar mengeja huruf, mengenal alphabet, tapi  kalian mengajari kami indahnya berbagi, mengerti arti mensyukuri, bersama untuk saling memberi manfaat.
Kami, Ibu-Ibu mahasiswa, tidak meminta apa-apa dari kalian, hanya lanjutkan semangat belajar kalian. Di sela apa pun, sesibuk apa pun, belajar dan belajar, di samping mendekat ke arahNya. Terimakasih sekali lagi tak terhingga, terutama untuk oleh-oleh yang luar biasa banyaknya, hehe. Terimakasih tawaran naik perahu ke tengah laut (meskipun nggak jadi). Kami pasti merindukan kalian suatu saat.

terimakasih utk kania dan mipta, atas kerelaan membawa itu semua ke Surabaya
 
kania, saya, mipta, bu aminah, bu zubaidah, bu halimah
farewell


Blitar, 14 April 2014
Futri Z. Darojat

Minggu, 06 April 2014

Menjejak Lekok #2


Dear Futri,
Ini tiket wisata, pergi lah ke tempat yang belum pernah kau kunjungi, lihat dan belajarlah dari sana,
With Love,
Allah

Meminjam istilahnya Bekti. Ini memang undian wisata gratis dari Allah. Saya berhasil pergi ke suatu tempat yang benar-benar berbeda, bertemu dengan orang-orang berbeda, menggunakan bahasa berbeda, dan melakukan banyak hal berbeda. Baik, seorang Futri biasanya suka protes begini, “Mengapa nggak luar negeri ya Allah?” atau “Ya Allah, asyikan kesana deh ya Allah.” tapi Allah diam, nggak menjawab. Kan supaya saya berpikir. Kira-kira kenapa ya?
Ini kali ke-enam saya menjejak Lekok, sebuah kecamatan kecil di timur Kota Pasuruan yang kita jangkau dengan menggunakan Taxi. Taxi? Gaya amat. Ini bukan Taxi Blue Bird, Orenz, Cip Ganti, Silver atau yang sering berkeliaran memenuhi Kota Surabaya yang sekali buka pintu saja sudah berapa itu. Bukan sodara-sodara. Taxi? gimana ya menggambarkannya. Taxi yang ini tidak kita temui lagi di Surabaya. Semacam mobil Carry (tapi terlalu bagus), yang badannya ringsek kanan kiri, catnya memudar, yang muatannya tanpa batas, berapa aja masuk, siapa aja termasuk hewan ternak juga masuk *dramatis. Ini yang sempat diketawain si Kania sampe kepingkal-pingkal. Taxi? *gelenggeleng
Sungguh Allah berniat menyeret dagu saya, dan memaksa saya melihat, “Tuh Lihat Fut..Tuh tuh, kurang enak apa hidup kamu? Heh!” Ketika melihat Ibu-Ibu seumuran Ibuk, Mbah Tri, dan Budhe-Budhe saya, bilang begini “Bu…jangan balik-balik ke Surabaya Bu, nanti bagaimana Ibu-Ibu di sini kalau Ibu balik Ke Surabaya?” saya, kania, nova dan mifta pasti langsung diam *speechless, bingung bagaimana menanggapi itu. Kami pikir mereka tidak ingin belajar, kami pikir mereka tidak butuh membaca, nyatanya mereka semangat sekali. Sedang kita, apa yang bisa kita beri tidak banyak membantu mereka.
Warga Lekok adalah sisi lain yang disembunyikan Indonesia. Negeri Yang katanya menuju negeri maju ini, menyembunyikan belasan ribu warganya yang tidak mengenal huruf “A” pun. Tapi sungguh, ada perasaan yang sulit dijelaskan berada di antara mereka. Bau ikan asin mereka, curhatan mereka “Dikerjakan Bu, sampai jam sebelas.”, usaha mereka berbahasa demi membuat kita mengerti apa yang mereka katakan atau wajah mereka yang pura-pura bisa dan semangat sekali. Andai kita tahu kesulitan orang lain, demi sekedar bisa membaca. Andai yang muda-muda memiliki semangat yang sama. Pasti bangku kuliah di kelas akan selalu penuh. Pasti perpustakaan lebih diminati daripada cangkrukan di kantin berjam-jam. Andai.
Lepas dari semua itu, banyak hal yang lucu yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Sore itu, saya dan kania pergi ke pasar untuk membeli makanan kecil. Ada pemandangan yang asing di mata saya. Dimana semua orang laki-laki memakai sarung tanpa terkecuali. Terkecuali! mulai anak-anak, remaja, preman-preman, tukang soto, bapak narik becak, semua bersarung. Mungkin ini biasa menurut suatu daerah, tapi ini asing di mata saya. Oke, saya mungkin tinggal di desa ya, tapi mungkin warga desa saya sudah metropolis ya, yang ada sore-sore remajanya pakai celana pencil yang ketat itu. Sungguh, heran saya, bagaiamana penduduk Lekok tidak terkontaminasi. Sayang, saya tidak berani ambil gambar bapak dan mas-mas disana.
Sisi lain yang saya temukan di Lekok adalah pantai, dari kecil saya punya cita-cita memiliki rumah kaca di tepi pantai. Tapi sayang sungguh sayang, pantai di Lekok mengurangi citra baik pantai di mata saya. Tapi seberapa pun, yang namanya pantai, terbuat dari air, tetap indah di mata saya.
Banyak sekali hal indah yang Kau tunjukkan Ya Allah, terimakasih perjalanan ini.
itu penampakan kita di pantai Lekok


Pasar Lekok

penampilan pasar Lekok yang sesuatu bgt bagi kaoskaki kita :D
Hoaaammm...cemungud Bu Atim ! hehe
daripada ganggu mamak belajar, sini adek-adek, salam 3 jari sama kakak xoxoxo