Minggu, 06 April 2014

Menjejak Lekok #2


Dear Futri,
Ini tiket wisata, pergi lah ke tempat yang belum pernah kau kunjungi, lihat dan belajarlah dari sana,
With Love,
Allah

Meminjam istilahnya Bekti. Ini memang undian wisata gratis dari Allah. Saya berhasil pergi ke suatu tempat yang benar-benar berbeda, bertemu dengan orang-orang berbeda, menggunakan bahasa berbeda, dan melakukan banyak hal berbeda. Baik, seorang Futri biasanya suka protes begini, “Mengapa nggak luar negeri ya Allah?” atau “Ya Allah, asyikan kesana deh ya Allah.” tapi Allah diam, nggak menjawab. Kan supaya saya berpikir. Kira-kira kenapa ya?
Ini kali ke-enam saya menjejak Lekok, sebuah kecamatan kecil di timur Kota Pasuruan yang kita jangkau dengan menggunakan Taxi. Taxi? Gaya amat. Ini bukan Taxi Blue Bird, Orenz, Cip Ganti, Silver atau yang sering berkeliaran memenuhi Kota Surabaya yang sekali buka pintu saja sudah berapa itu. Bukan sodara-sodara. Taxi? gimana ya menggambarkannya. Taxi yang ini tidak kita temui lagi di Surabaya. Semacam mobil Carry (tapi terlalu bagus), yang badannya ringsek kanan kiri, catnya memudar, yang muatannya tanpa batas, berapa aja masuk, siapa aja termasuk hewan ternak juga masuk *dramatis. Ini yang sempat diketawain si Kania sampe kepingkal-pingkal. Taxi? *gelenggeleng
Sungguh Allah berniat menyeret dagu saya, dan memaksa saya melihat, “Tuh Lihat Fut..Tuh tuh, kurang enak apa hidup kamu? Heh!” Ketika melihat Ibu-Ibu seumuran Ibuk, Mbah Tri, dan Budhe-Budhe saya, bilang begini “Bu…jangan balik-balik ke Surabaya Bu, nanti bagaimana Ibu-Ibu di sini kalau Ibu balik Ke Surabaya?” saya, kania, nova dan mifta pasti langsung diam *speechless, bingung bagaimana menanggapi itu. Kami pikir mereka tidak ingin belajar, kami pikir mereka tidak butuh membaca, nyatanya mereka semangat sekali. Sedang kita, apa yang bisa kita beri tidak banyak membantu mereka.
Warga Lekok adalah sisi lain yang disembunyikan Indonesia. Negeri Yang katanya menuju negeri maju ini, menyembunyikan belasan ribu warganya yang tidak mengenal huruf “A” pun. Tapi sungguh, ada perasaan yang sulit dijelaskan berada di antara mereka. Bau ikan asin mereka, curhatan mereka “Dikerjakan Bu, sampai jam sebelas.”, usaha mereka berbahasa demi membuat kita mengerti apa yang mereka katakan atau wajah mereka yang pura-pura bisa dan semangat sekali. Andai kita tahu kesulitan orang lain, demi sekedar bisa membaca. Andai yang muda-muda memiliki semangat yang sama. Pasti bangku kuliah di kelas akan selalu penuh. Pasti perpustakaan lebih diminati daripada cangkrukan di kantin berjam-jam. Andai.
Lepas dari semua itu, banyak hal yang lucu yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Sore itu, saya dan kania pergi ke pasar untuk membeli makanan kecil. Ada pemandangan yang asing di mata saya. Dimana semua orang laki-laki memakai sarung tanpa terkecuali. Terkecuali! mulai anak-anak, remaja, preman-preman, tukang soto, bapak narik becak, semua bersarung. Mungkin ini biasa menurut suatu daerah, tapi ini asing di mata saya. Oke, saya mungkin tinggal di desa ya, tapi mungkin warga desa saya sudah metropolis ya, yang ada sore-sore remajanya pakai celana pencil yang ketat itu. Sungguh, heran saya, bagaiamana penduduk Lekok tidak terkontaminasi. Sayang, saya tidak berani ambil gambar bapak dan mas-mas disana.
Sisi lain yang saya temukan di Lekok adalah pantai, dari kecil saya punya cita-cita memiliki rumah kaca di tepi pantai. Tapi sayang sungguh sayang, pantai di Lekok mengurangi citra baik pantai di mata saya. Tapi seberapa pun, yang namanya pantai, terbuat dari air, tetap indah di mata saya.
Banyak sekali hal indah yang Kau tunjukkan Ya Allah, terimakasih perjalanan ini.
itu penampakan kita di pantai Lekok


Pasar Lekok

penampilan pasar Lekok yang sesuatu bgt bagi kaoskaki kita :D
Hoaaammm...cemungud Bu Atim ! hehe
daripada ganggu mamak belajar, sini adek-adek, salam 3 jari sama kakak xoxoxo

Tidak ada komentar: