Senin, 14 April 2014

Menjejak lekok #3 (Farewell)



-Tidak ada murid yang bodoh, yang ada hanyalah mereka yang belum mendapat kesempatan mendapat guru yang baik – Yohanes Surya

Membicarakan masalah keterbelakangan, dalam konteks apapun (khususnya pendidikan) seringkali akarnya hanya satu, masalah kesempatan. Bukan mereka yang belum mengerti lantas bodoh, bukan berarti mereka yang tidak atau terlambat memiliki kemampuan mengoperasikan internet lantas keterbelakang, semua hanya masalah kesempatan.
Ini yang seharusnya sebagai bahan bakar syukur terbesar kita. Apabila kita hobi membandingkan sekolah kita dengan almamater yang lebih ngejreng, lulusan yang lebih terlihat berkualitas, fasilitas yang oh wow. Itu karena kita melihat ke atas. Coba sedikit menoleh ke bawah, ribuan orang ternyata kurang seberuntung  kita dalam hal kesempatan. Belum tentu jika mereka lahir di tempat lain mereka juga tidak mengerti seperti itu.
Ada yang harus kita renungkan, kiranya apakah perbedaan antara mahasiswa yang sering tidur di kelas, pulangnya nongkrong, ketika ujian menyontek, dan skripsi hasil jiplakan. Dengan Ibu-Ibu buta aksara yang dengan gigih menghafal huruf A, B, C sama seperti yang dipelajari cucu mereka, dengan mata rabun, dengan sisa tenaga seharian menjemur ikan, duduk di balai desa sambil menyusui anak mereka. Apa bedanya? Apa jadinya ketika mereka bertukar posisi sebentar?
Terkadang ada rasa tak terima di hati saya. Tidak, bukan bermaksud menyalahkan Tuhan. Tapi betapa mereka yang mendapat kesempatan itu kurangnya bersyukur. Kurang memaksimalkan apa yang bisa peroleh. Seharusnya semakin banyak mahasiswa berpendidikan tinggi semakin banyak pula masyarakat intelektual Indonesia. Karena orang yang pintar itu sudah seharusnya memintarkan orang lain, bukan memintari.
Catatan sedikit emosional ini saya tulis pasca menyelesaikan program keaksaraan fungsional di Kecamatan Lekok (Pasuruan bagian Timur), dimana limabelas ribu warganya tidak mengenal huruf sama sekali. Sebulan lebih seminggu bersama mereka membuat saya banyak berpikir. Mereka akan tentu lebih meningkat kehidupannya jika memperoleh pendidikan sejak awal. Tidak harus menjadi buruh potong ikan yang sekilo hanya dibayar seribu. Mereka tentu lebih mampu mendampingi putra-putri mereka belajar ketika mereka mengenal huruf sejak lama. Ohh sayangnya. Ohh sayangnya.
Lekok, Pesisir Pasuruan

Kemudian saya kembali trenyuh ketika mendengar penuturan anak-anak mereka yang rata-rata tidak lulus SMP. Lalu sampai kapan rantai keterbelakangan pendidikan ini berakhir? Sampai kapan bapak Bupati? Sampai kapan bapak Presiden?
Tak nak, tak sekolah..tak bisa baca tulis. Tak pernah kemana-mana, kemana-mana ikut rombongan.”—Bu Juwariyah
Buk, jangan lek balek ke Surabaya Buk, Kalau Ibu ke Surabaya bagaimana Ibu-Ibu di sini Buk.” –Bu Halimah
Maaf ya Bu ya, tanya terus ya Bu ya, saya bodoh.” –Bu Mainah

Kami sedang belajar



Entah mengapa selepas acara kemarin, saya justru semakin merasa bodoh. Hanya sedikit yang bisa kita berikan kepada mereka, tapi mereka memanfaatkan benar-benar, awalnya dipostingan Menjejak Lekok #1 saya menulis bahwa mereka tidak butuh membaca dan menulis, Saya salah besar. Mereka justru bersemangat sekali. Bahkan seringkali mereka yang datang dulu daripada kami.
Tubuh tua bu Masinah menggotong papan tulis, tak pernah sekali pun izin. Bu Juwariyah yang sekali pun belum bisa dan selalu mengelak ketika di tunjuk, selalu duduk dibangku terdepan, dan yang paling menangis ketika kita bilang akan kembali ke Surabaya. Bu Mainah, Bu Rubayyah yang menulis sambil menyusui anak. Bu Zubaidah dengan tangan kasar selepas memotong puluhan kilo ikan. Mereka se-niat itu untuk belajar. Betapa malunya seharusnya kita.
Perpisahan kemarin (12/04). Membuat saya harus merubah pandangan saya. Bahwa Ilmu tak semata kita peroleh kapan dan darimana, tapi apa manfaat yang di dapat orang lain dari ilmu kita.
Terimakasih penduduk Lekok, sesungguhnya bukan kita yang mengajari kalian, tapi kalian yang mengajari kita. Kita mungkin mengajari tentar mengeja huruf, mengenal alphabet, tapi  kalian mengajari kami indahnya berbagi, mengerti arti mensyukuri, bersama untuk saling memberi manfaat.
Kami, Ibu-Ibu mahasiswa, tidak meminta apa-apa dari kalian, hanya lanjutkan semangat belajar kalian. Di sela apa pun, sesibuk apa pun, belajar dan belajar, di samping mendekat ke arahNya. Terimakasih sekali lagi tak terhingga, terutama untuk oleh-oleh yang luar biasa banyaknya, hehe. Terimakasih tawaran naik perahu ke tengah laut (meskipun nggak jadi). Kami pasti merindukan kalian suatu saat.

terimakasih utk kania dan mipta, atas kerelaan membawa itu semua ke Surabaya
 
kania, saya, mipta, bu aminah, bu zubaidah, bu halimah
farewell


Blitar, 14 April 2014
Futri Z. Darojat

Tidak ada komentar: