Kamis, 23 Januari 2014

Ya Allaaaah :(


Biasanya kalau lagi sendiri terus sudah capek walking-in blog orang-orang, sudah panas telinga dengerin suara bule di youtube, sudah panas kedua mata buat baca tembar buku berikutnya. Biasanya saya cumin diam, mandangin layar monitor laptop yang biasanya lembar Ms Word kosong karena kalau suntuk begitu selalu tidak berminat ngapa-ngapain.
Laptop saya sudah saya set setiap menit muncul screensaver. Setiap kali muncul, saya gerak-gerakkan kursor hingga gambar screen yang baru muncul itu segera terbirit-birit sembunyi, begitu berulang-ulang hingga tangan saya capek dan saya biarkan saja gambarnya bergantian show di depan saya.
Gambar apa mereka? beberapa mimpi. Yang seringkali kujunjung tinggi dan kubanggakan. Lalu entah ada apa dengan diri saya. Saya jadi diliputi bersalah dengan gambar-gambar itu. Saya diserbu puluhan pertanyaan. Ya Allah, Apa yang salah dengan segala mimpi ini? Ya Allah, apakah mimpi saya engkau ridhoi. Dan Ya Allah, Ya Allah yang lain. Dan sisi melankolis menguasai diri saya : menangis.
Ada sesuatu yang ingin saya ceritakan, bukan untuk apa-apa. Semoga teman-teman pembaca bisa belajar dari pengalaman saya begitu saja. Saya yakin, diantara pengunjung blog saya (yang Alhamdulillah semakin ramai) ada kiranya satu atau dua yang terdampat pada tulisan ini. Dan semoga ada hikmah.
Ini bermula saat saya akhir semester dua (hampir tiga tahun lalu). Saat saya pada posisi paling terpuruk karena sebuah keputusan yang harus saya ambil. Saat saya jatuh bangun membangun IPK, saat saya mulai bekerja di sebuah bimbingan belajar anak-anak China yang super ketat peraturannya. Intinya, hidup saya sedang saya mulai. Dari penghasilan ngajar itu saya sisihkan uang untuk membeli modem. Sejak itu saya mengenal dunia blogger.
Blog menjadi pelampiasan saya. Saya memiliki akun unknown people yang aktif saya kunjungi. Dan bermula dari sinilah, rasa iri itu muncul. Beberapa akun blog yang saya ikuti (selalu) adalah beberapa milik seseorang yang dalam posisi yang sangat membuat saya iri. Tulisan-tulisan bagus (dan disukai banyak orang), sekolah-sekolah mentereng, pengalaman luar biasa, tempat yang mereka kunjungi keren, foto mereka apalagi. Dan itu menyulap hidup saya sudah : saya kemudian ingin hidup seperti mereka.
Saya memiliki alasana kuat. Jika saya menjadi seperti mereka, saya akan bermanfaat bagi banyak orang, saya juga sudah tentu bisa membahagiakan kedua orangtua saya. Akhirnya saya membuat seratus daftar mimpi. Dan mengikat diri saya untuk menurutinya. Pandangan saya, saya akan terlihat keren dengan semua yang saya impikan itu.
Silih bergantinya tahun, banyak yang akhirnya terwujud memang. Tapi lebih banyak yang belum. Saya selalu berpositif thinking kepada Allah. Pasti nanti kan Ya Allah? Segera kan? Saya hidup seperti dikejar-kejar. Saya bahkan pernah down berat karena satu hal yang saya perjuangkan tak terwujud. Hingga Ibu saya telepon memberi motivasi pun saya tak mampu berkata-kata (sama sekali). Pasalnya, saya memang mau serba instan kemenangan itu, dalam dua tahun terakhir ini harus terwujud seratus mimpi saya. Apakah adil?
Saya masih menyimpan dan mempercayai daftar mimpi saya hingga beberapa minggu yang lalu ketika mencari sebuah file penting di balik tumpukan buku saya menemukan sebuah buku hadiah Ayah yang belum sempat saya baca (forgive me, Dad :( ). Buku (dan beberapa novel lain) itu dibelikan beliau saat jalan-jalan keluarga Ke Yogyakarta. Novelnya sudah lama rampung, bukunya? (Buku itu berjudul Keajaiban Hati, Imam Al-Ghazali)
 Saya benar-benar ditonjok, dianiaya oleh buku itu. Kenapa begitu? Kembali lagi kepada mimpi saya, saya mimpi banyak hal yang terlihat keren di mata manusia (bagaimana di mata Allah?) meskipun dengan dalih ingin bermanfaat bagi orang lain, Ya Allah adakah saya sudah bisa memeri manfaat orang-orang sekitar saya? :( Saya ingin memberi manfaat atau mendapat pujian. Saya ingin membahagiakan orangtua atau ingin memposting foto-foto di tempat keren di blog? :(
Akhirnya saya mengobrak – abrik daftar mimpi saya. Saya benahi beberapa dan saya tata hati saya.  Jangan pautkan pada mimpi tapi tautkan pada yang Maha Mewujudkan Mimpi. Saya ingat-ingat selalu kata-kata Imam Al-Ghazali dalam buku itu, intinya dari semua hidup kita dari cita-cita kita, sebenarnya siapa yang kita tuju, puja puji manusia atau kemuliaan di mata Allah. Tanyakan kepada hati kecil kita untuk apa semua cita-cita itu? jika semata untuk terlihat keren di mata manusia, tentu kita akan sadar. Selama ini kita mati-matian berjuang memuja apa?
Semoga kita bersama-sama saling meluruskan niat. Mari saling berbenah.

Surabaya, 24 Januari 2014

Selasa, 21 Januari 2014

Selamat Ulang Tahun Khal (:


Selamat Ulang Tahun Khal (:

Diamlah, aku bahkan tidak memintamu untuk sekedar berucap terima kasih. Jangan salahkan keadaan, waktu sudah berbaik hati memperkenalkanmu padaku, itu lebih dari cukup.
Ini, seikat seruni putih. Kau tahu, kisah roman pada umumnya selalu menceritakan seorang laki – laki datang dengan lily yang indah untuk kekasihnya, tapi kenapa hari ini harus aku yang datang padamu.
Hari ini aku tidak akan menangis Khal. Seperti yang selalu kulakukan sejak kau tak pernah menjawab kata – kataku lagi. Tidak Khal, kau akan mengejekku jika aku menangis.
Di luar hujan Khal, gerimis. Biasanya pelangi akan muncul setelah ini. Bangunlah, untuk berdebat sebentar denganku. Kau pasti akan bilang pelangi itu seperti mangkuk jepara, dan bagiku itu lebih seperti kue pukis yang hangat dan menggoda selera. Bangunlah Khal, sebentar saja. Atau jawablah kau sedang malas bangun seperti yang selalu kau tulis pada pesan singkat pagi – pagi.
Khal, apakah kau disana menemukan orang sepertiku hingga kau tak kunjung – kunjung kembali. Adakah yang mengingatkanmu untuk tidak terlalu banyak makan cabe. Adakah yang memelototimu saat matahari sudah sepenggalah tapi kau baru membuka mata. Adakah Khal? Sekedar kau jawab ‘ada’ pun aku sudah tenang.
Tuhan punya banyak cara untuk menyayangi kita Khal. Entah cara itu kita sukai atau benci. Dia memiliki agen rahasia yang tak akan menceritakan missi langit pada kita. Tapi Khal, aku tahu para agen rahasia itu akan selalu memperlakukan Khal-ku dengan baik. Mereka hanya menculikmu, untuk mengembalikanmu suatu saat padaku. Ini hanya masalah waktu Khal.Bertahanlah, aku selalu merindukanmu.

Berlari, sunyi.
Entah Ini hari keberapa sejak seluruh perawat dan dokter rumah sakit itu memasang peralatan elektronik di tubuh pemuda itu. Gadis itu selalu datang ke ruangan itu, meletaskan setangkai bunga pada vas, berbicara sendiri, lalu meninggalkan ruangan itu dengan berlari menahan tangis. Aku mendengar, pemuda itu tunangannya yang kehilangan kesadaran hingga kini. Tanpa tahu penyebabnya. Pun dokter.

*menemukan ini dan cerita-cerita sejenis di tumpukan file2 harta karun, jadi merasa lucu ((:

Surabaya 21 Januari 2014 
Futri Z. Darojat

Senin, 20 Januari 2014

Aku pasrah ya Allah, terserah Engkau


Aku pasrah ya Allah, terserah Engkau
__Oleh sebab itu, setiap Hamba Allah harus selalu memperhatikan gerak dan tetapnya, diam dan bicaranya, berdiri dan duduknya. Hendaknya pula ia memandang dengan bashirah (mata hati). Maka ia akan sadar, siapa yang selama ini ia sembah? __Keajaiban Hati, Imam Al-Ghazali

Hari itu ada yang lain dari pembicaraan kita. Kau begitu serius, baru kali ini aku mendapatimu seserius ini. Yah, setidaknya kau selalu menyelipkan sedikit kelakar dalam soal-soal aritmatika yang kerap kita bahas hingga larus sore di perpustakaan. Tapi hari itu, kau bukan lagi serius, kau bahkan memarahiku. Aneh saja rasanya, kau yang selalu bilang “Jika kau tak bisa, itu wajar, memangnya siapa kau mau bisa segalanya, tapi Tuhan bisa melakukannya untukmu. Mintalah padaNya untuk membantumu.” Lalu selanjutnya kita biasanya akan saling memamerkan target. Termasuk target mendekatiNya.
Tapi hari itu, sore yang canggung. “Aku tertekan.” Kataku sebelumnya, “Target-target itu mencekikku, ya aku salah terlalu melebihkannya, kau benar, siapalah aku berani bermimpi setinggi itu, dan Tuhan mungkin belum berkenan membantuku.” Lanjutku, sebenarnya seperti biasanya juga, aku hanya mengeluh, tidak terlalu berlebihan.
“Dengan kau bilang ‘tertekan’ saja, sama artinya kau mengucap satu kata peremehan untuk Tuhan, seharusnya bila kau percaya Tuhan, dimana-mana akan terasa lapang, kau meletakkan mimpi di sini.” Katamu kemudian sembari menunjuk kepalamu, “Bukan di sini,” Selanjutnya jarimu mengarah pada dadamu. Aku diam, tersinggung dengan kata-katamu yang ada benarnya.
Aku harap selanjutnya kau akan menertawakan keseriusanmu, lalu berkata “Santailah jangan dibawa berat, orang sekurus kau terlalu sulit membawa yang berat-berat.” Tapi mimik mukamu tak berubah. Aku mulai menyimpulkan, kau mulai bosan dengan keluhan-keluhanku akhir-akhir ini. Sepertinya.
“Kau berkata begitu seolah aku orang musrik yang percaya kekuatan lain selainNya.” Jawabku tak kalah serius.
“Lalu?” Kilahmu singkat.
“Kalau kau tak mau mendengar keluhanku ya sudah, aku tak akan cerita lagi. aku akan cerita pada yang lain” melankolisku benar-benar keluar, aku semakin emosi menanggapimu, mukaku mulai memanas, ya Tuhan, waktu itu aku sungguh bersusah payah memaksa mataku untuk men-delay datangnya pasokan air mata. Aku tidak mau terlihat lemah dengan menangis di hadapanmu.
“Bagus.”
“Hah?”
“Ceritakan kepada selainku, ceritakan padaNya. Aku tak bisa memberi solusi. Atas cekikan-cekikan target, atas pertanyaan impian yang tak kunjung terjawab. Tanyakan pada Yang Maha Menjawab. Lalu carilah aku setelah kau menemukan jawabannya, hanya saja aku ingin bilang. Kau akan lelah jika berlari mengejar dunia, sejauh apa pun kau melempar jangkar, sekuat apa pun kau mengayuh, rakit kecil kita sesungguhnya tak pernah sampai. Tapi jika kau bertuju pada apa yang di langit, sekokoh apa pun tembok, seterkungkung apa pun kita, tanpa jalan keluar pun, kita masih bisa menengadah ke atas, Dia selalu disana.”
Lalu kau pergi, selepas itu airmataku benar-benar tak terbendung, delay yang kumohonkan gagal total, mataku seperti ketumpahan air entah darimana. Karena kau kejam sekaligus benar. Saat itu juga aku ingin berlari ke arahmu dan bilang, aku telah menemukan jawabannya. “Serahkan rencana kita pada Yang Maha Perencana,”

Surabaya 20 Januari 2014
Futri Z. Darojat

Minggu, 19 Januari 2014

Hati untuk Dia


Jangan letakkan hati pada dia, tapi pada Dia
Kita tidak bisa meramal takdir, itu sudah cukup menjadi alasan menariknya menjadi manusia. Benar kata Azhar, Tuhan Maha Romantis. Entah berapa banyak bingkisan yang Ia siapkan untuk mengejutkan kita besok. Unpredictable, that’s why life so fabulous.
Bayangkan saja bila besok kau tahu akan kena tilang polisi, mungkin kau akan menghabiskan harimu seharian di atas kasur, dan kehidupan akan berjalan sangat membosankan. Atau sejak kita kecil kemarin, Mikail datang malam-malam memberi tahu kita siapa jodoh kita ketika dewasa nanti. Ini lebih tidak seru dari sinetron ratusan episode.
Tapi ketidakberdayaan meramal masa depan ini, membuat kita mungkin terjatuh, terjungkal, atau terkena serangan jantung karena terkejut. Pasalnya, kita memang tidak bisa menebak medan seperti apa di hadapan kita nanti. Itulah salah satu alasan mengapa Allah menciptakan kita, biar kita hanya berpegang padaNya. Agar kita tak terlalu bergantung pada makhluk. Agar kita lebih meletakkan hati pada Dia, bukan pada dia.

Surabaya 19 Januari 2014

Futri Z. Darojat