Selasa, 18 Februari 2014

kelud and us



Beberapa hari lalu sejak status Kelud dinaikan dari siaga menjadi waspada, saya sudah merencanakan pulang ke Blitar. Akhirnya sama-sama Nita, saya memutuskan pulang pada jumat (14/2). Semakin hari, berdasarkan artikel-artikel di twitter dan status teman-teman lewat fb, Kelud semakin mengkhawatirkan saja kondisinya.
Kamis malamnya, sekitar pukul 22.30 saya tiba-tia dapat sms yang mengjutkan dari kakak. “Besok nggak usah pulang ” Demi membaca sepotong sms yang isinya ambigu itu, saya langsung telpon kakak saya. Suara dari seberang ramai, kakak bilang semua warga sudah keluar rumah, ada beberapa yang bahkan sudah mengusi, kilat merah menyambar-nyambar dan gemuruh dari arah kelud tak henti-henti.
Karena kakak beda rumah dengan saya, saya kemudian menelpon ibuk. Dan apa yang terjadi di rumah. Amat tenang. Bagaimana mungkin? sama-sama Blitarnya sama-sama kecamatannya. Ibuk bilang “Ini leyeh-leyeh di depan tipi, Abi keluar sama adek, sama Bintoro dan Ebid (anak-anak angkat Ayah saya)”
Ketidakjelasan berita itu justru membuat saya tidak bisa tidur, mau telpon lagi Eeh pulsa saya habis, beli pulsa dimana tengah malam begitu. Tidak ada setengah jam kemudian, beberapa teman SMA pada sms mengabarkan gunung Kelud meletus.
Baru paginya saya menelpon rumah. Melihat kondisi Surabaya yang turut kebagian hujan abu Kelud, sudah barang tentu Blitar jauh lebih parah.
“Bi, gimana di rumah?” Tanya dengan benar-benar khawatir
“Terjadi situasi yang sangat MENCENGANGKAN, kerikil beterbangan, warga desa berbondonga mengusi” *Gaya Host SILET*
Sumfah demi mendengar Ayah saya berkata begitu saya langsung ketawa tapi nggak sampe guling-guling. Ini situasi yang sebenarnya gimana sih?
“Ngusi Bi?”
“Iya di masjid, sedesa pada ngusi semua ke gunung pegat *nama gunung kecil di desa kami*”
“Kok pean nggak ngusi kesana juga?”
“Lha kenapa ngusi wong nggak ada nyuruh, pemerintah juga nggak, orang-orang desa aja yang lebai. Akhirnya malam-malam berangkat ngusi, paginya udah pada pulang.”
Demi mendengar jawaban itu, saya benar-benar guling akhirnya ketawanya. Ingatan saya jadi melayang-layang ke tujuh tahun lalu, ketika saya masih kelas sepuluh SMA. Jadi ceritanya tahun itu kelahiran anak kelud, situasinya mungkin lebih parah yang dulu, karena dulu status awasnya berhari-hari, tidak seperti erupsi yang ini.
Selama seminggu kami diteror hujan abu vulkanik, langit siang kayak malam, gelap dan berkilat merah. Yang membuat kenangan itu sedikit lucu di benak saya adalah, satu desa saya adalah orang-orang lebai semua. Situasi demikian itu kemudian menjadi sangat dramatis. Bayangkan daerah saya adalah daerah rank 3, sekitar 35 km dari lereng Kelud, yang Inshallah masih aman meski tidak mengusi. Tapi yang terjadi pada warga desa kami adalah lain. Meski tidak ada himbuan mengusi, seluruh warga pada heboh sendiri-sendiri.
Saya masih ingat, hari itu Idul Fitri hari kelima tahun 2007, Bayangkan pukul delapan malam ketongan udah pada bunyi dimana-mana, speaker masjid nyala mengabarkan “DIHIMBAU SELURUH WARGA UNTUK CEPAT-CEPAT MENGUSI, KARENA DUA JAM LAGI GUNUNG KELUD AKAN MELETUS” berita itu berhasil mengacau balaukan tatanan desa, tentangga-tetangga saya yang anak kecil menangis-nangis, yang dewasa sibuk memasukkan pakaian dan surat berharga kedalam koper, yang tua digotong keluar mengusi, hewan ternak turut diajak mengusi. Saya tidak menyangka situasi akan sericuh itu. Saya ikut gugup sekali waktu itu, batin saya, akan terjadi semacam tsunami di desa kami.
Dalam hitungan jam, desa kami akhirnya bersih sudah. Kericuhan menurun. Ternyata hampir semua warga desa berangkat mengusi lengkap dengan koper-koper besar dan hewan ternak mereka. Keluarga saya memilih di rumah karena berniat menyelamatkan diri di loteng salah satu tetangga.
Hal paling kocak terjadi esok paginya, karena malam itu Kelud tidak jadi meletus. Pagi-pagi pukul 05.00 saya sambil menyapu halaman melihat fenomena langka yang dramatis sekaligus konyol. Orang-orang pulang mengusi dengan bawaan mereka yang luar biasa banyaknya. Kasur, kardus bekar tv berisi pakaian dan makanan. Diangkut kembali pulang kerumah, sapi- sapi dituntun pulang, nenek kakek yang sudah tak kuat berjalan di angkut dengan mobil charteran. Saya seperti bisa membaca bagaimana pikiran mereka “GUNUNG KELUD PHP” wakakakakak.
Begitu kisah tentang kelud dan desa kami yang indah dan paling saya cintai diantara seluruh desa di dunia ini. Kecintaan kami luar biasa terhadap kelud, sehingga kelita ada orang luar Blitar bertanya keadaan Kelud, pasti kami menjawab “Alhamdulillah ‘cuman’ hujan kerikil dan gempa kecil” Itu mungkin bagi orang lain bukan ‘cuman’ tapi bagi kami, itu setidaknya lebih kecil dari apa yang kami sangkakan
Tulisan ini hanya diary pribadi saya sekaligus refleksi untuk menyikapi banyak hal tidak dengan tergugup –gugup dan sekedar ikut-ikutan.
“Ya Allah terimakasih Engkau menyelamatkan kami, teman-teman kami, tetangga kami, jadikan ‘bencana’ ini sesuatu yang semakin mendekatkan kami pada-MU”

Blitar, Futri Zakiyah Darojat

Tidak ada komentar: