Rabu, 25 September 2013

Paddington : Lelah


Aku tahu ini berat, tapi kumohon. Bertahanlah.

Kami sepenuhnya diam, tidak membahas apa pun, tidak mengomentari apa pun, diam, membiarkan boat putih ini melaju membawa dengan ringan tubuh – tubuh kurus ini menuju Circular Quay. Di belakang kami, bangunan karya manusia yang dulu selalu membayangi mimpi malamku, bahkan mungkin juga mimpi malam milik Salman, ratusan hari lalu. Kami sudah terlalu penat bahkan untuk berbicara, aku yakin Salman juga.
“Mengapa aku merasa sangat lelah. Bisakah kita melompati beberapa hari lalu memilih beberapa hari saja yang kita sukai” Kata Salman tiba – tiba.  Wajahnya tak lepas dari kerumunan camar di langit biru. “Kadangkala rasanya begitu iri dengan burung – burung camar. Pergi mencari makan, lalu pulang dengan perut kenyang. Besok seperti itu lagi. Seperti itu lagi. Tak ada yang ditakutkan. Mengapa kita manusia tidak seperti itu saja. Bukankah kita juga bisa bahagia dengan seperti itu. Bukankah bahagia itu sederhana?”
“Ada sesuatu yang mengganggumu.” selidikku. Salman masih belum beranjak dari kerumunan camar di langit. Wajah lelahnya tersempurnakan oleh cekung mata menghitam di lingkar bawah mata. Terlihat seperti burung hantu. “Apakah kau ingin ke Neverland?”
Dia tertawa. Lalu mengangguk kencang, Menatapku. “Tapi aku bukan Tinker Bell, apalagi kau, tentu saja Bukan Peter Pan. Ada sesuatu yang teramat mengganggumu?” tanyaku lagi. Dia menggeleng.
“Aku sedang dalam fase lelah, kufur nikmat, entah mengapa, rantai sepedaku berhenti pada titik kejenuhan dan membeku lama – lama di sana. Padahal aku ingin Mengayuhnya kencang – kencang, biar aku segera tiba di rumah, lalu berlarian menuju ibu dengan berteriak “Ibu aku pulang.” getir.
“Kau pernah bilang, Tuhan mencintai kita dengan banyak cara. Terkadang dengan keras, kadangkala kadangkala sangat lembut. Bahkan bisa jadi cara menyayangi menjadi begitu menyakitkan. Tapi selalu ada ujung yang baik dari setiap kisah cintaNya.” HUffff…..Aku menjadi berpikir, mengapa aku sehafal itu dengan kata – kata Salman. Dia menoleh, lalu tersenyum. Circular Quay beberapa meter di depan. Matahari sore nyaris tenggelam.
“Karena itulah mengapa Dia mengajari kita kecemasan, untuk mengukur sejauh mana kepedulianmu, memberi rasa sepi, untuk menunjukkan ruang – ruang yang terlewat dalam kebersamaan. Menghadirkan rasa takut agar kau berpikir, dengan siapa kita pantas berlindung. Selalu. Dan terus seperti itu. Tapi jangan khawatir, Tuhan tidak pernah ingkar akan janjinya. Sesudah kesulitan pasti ada kemudahan.”
Boat putih kami menepi,langit berwarna mustard sangat cantik di atas sana. Andai Salman tahu, bahwa rasanya aku juga ingin menyerah.

Tidak ada komentar: