Senin, 16 Juni 2014

PRIA SEJUTA PESONA : AYAH



Aku ingat hari saat kau mengajariku tentang kepercayaan dimana tak ada satu pun pemberi kepastian.
 Aku ingat hari dimana seringkali tak ada yang dapat ku lakukan selain menghapus airmata lalu kau mengajariku menghadapi seorang pembunuh bernama kenyataan
aku ingat hari saat aku sangat ingin berlari menujumu, memelukmu sambil menangis  dan mengatakan “aku ingin menyerah.”
aku ingat hari dimana kau menggenggam erat jemariku dan mengatakan “semua akan baik – baik saja”
aku ingat hari dimana dengan tiba – tiba rasanya ingin belajar bermain sepeda seperti dulu  denganmu,  Ayah
dan hari ini pun aku ingat, aku telah menua…
Kau bilang “kau masih gadis kecilku.”
sungguh Ayah, aku ingin mengatakan, “Andai aku selalu menjadi gadis kecilmu.”
dan Kau menjawab, “Ya, kau bisa.”
Lalu kita terdiam, karena sadar akan satu hal. Seberapa pun usahamu membela perkataanku, waktu akan tetap menculikku untuk menua.


Ini, surat kesekian yang ku tulis untukmu, Ayah. Bagiku berlembar-lembar pun tak pernah cukup mewakilinya. Hari ini aku memutuskan untuk tak menelfonmu, karena aku tahu, aku tak bisa menyembunyikan sifat kekanakanku ketika merindumu : menangis. Ayah, andai ungkapan ini mewakili. Aku ingin mengatakan dengan lugas, bagaimana kau begitu membentuk di hatiku.

Ayah, kau pahlawan yang mengajariku menjadi pahlawan untuk diriku sendiri. Selalu mengatakan “Tidak apa-apa” berkali-kali ketika aku terjatuh. Mengajariku berani terluka untuk menguat, mengajariku menjadi gadis pemberani meskipun berdiri sendiri, karena kau tahu, kau tak selamanya bisa melindungiku dari teman-teman yang membuatku menangis. Aku belajar semua darimu, Ayah. Kau tak memberiku pundak ketika aku dalam kesempitan, karena kau tau, lantai sujud selalu lebih lapang dari pundak siapa pun. Kau selalu mengatakan “Bersujudlah.”

“Kalau rindu jangan minta bertemu, berdoalah. Karena bertemu tidak menyelesaikan rindu.” Kau paling tahu, aku pengeyel yang keras kepala, tapi aku juga tahu, kau selalu bisa membuatku diam dengan caramu, dengan ketegasanmu yang lembut. Ayah, apa pun kau, selalu terlihat memesona di mataku, dengan noda hitam bekas  matahari di muka dan punggung tanganmu, dengan setelan kemeja dan celana kain yang tidak matching dan merusak penglihatan, bagiku kau tetap memesona adanya.

Hingga baris tulisanku yang ini, aku tetap tidak yakin ini mewakili, buncah-buncah bangga dalam hati karena engkau kumiliki. Mungkin aku belum mampu membanggakanmu, seperti orang lain membanggakan Ayah mereka. Tapi ada janji di hatiku, Ayah, yang sejauh ini menjadi pengingatku, yang sajuh ini menuntunku, senyampang aku belum mampu membanggakanmu, aku berjanji tidak akan menjadi sebab atas deritama.

Semoga Allah selalu menyayangimu, Ayah. Mencintai keluarga kecil kita. Membarakahi dengan limpahan bahagia. Sekali lagi, terimakasih untuk inspirasi-inspirasi yang kau beri, terimakasih membiarkanku belajar diam-diam darimu. Dan maaf untuk banyak yang seharusnya, namun belum terjadi.
Salam cinta, titip rindu juga untuk Ibu.

Putrimu.

Surabaya, 15 Juni 2014

Tidak ada komentar: