Rabu, 11 Juni 2014

Percakapan Pasir dan Gelombang


Aku ingin bertanya pada Ibumu.” Kataku. “Bagaimana cara membesarkan anak hingga sememesona kau.” Tawamu terhenti.
Detik selanjutnya kita saling diam. Menatapi pasir-pasir warna tulang yang diam juga. Entah mengapa debur ombak yang sedari tadi mengusik percakapan kita turut senyap, padahal aku ingin kehadiran mereka meredam degup kencang yang berantakan dalam dadaku. Mukamu memerah, apalagi aku. Entah darimana datangnya keberanian itu, dengan lugas aku berkata demikian. Ya, kau berhasil membuatku terpesona. Dan silahkan kau catat, aku belum pernah memuji laki-laki secara lugas.
Besuk kutanyakan.” Katamu lalu memamerkan deretan gigi putih, bias kecanggungan lenyap. Kau pintar sekali mengendalikan emosi. Aku tetap beku. Perlahan pasir-pasir warna tulang mulai berisik, mengikuti iramamu. Gelombang mengusik lagi.
Bukan hanya pada Ibumu, juga pada Tuhanmu. Betapa tentu Dia menyayangimu. Kau membuatku iri oleh sebab target-targetmu mendekati-Nya. Aku iri, meski tak sebesar milik Umar kepada Abu Bakar. Entah apa maksud Tuhan menjebakku bertemu denganmu. Adakah isyarat lain selain membuatmu terlihat memesona. Suatu pelajaran kiranya? Aku jemu. Jemu untuk mengatakan demikian. Jemu atau cemburu, entah lah. Mungkin Tuhan sayang sekali padamu.
Tetaplah menjadi pasir, biar aku jadi gelombang dan bisa datang lagi suatu hari.” Pesan singkatmu sebelum beranjak. Membiarkanku duduk sendirian dalam ketidak berdayaan untuk bilang jangan. “Hey Pasir, apa yang membuatmu terpesona pada gelombang?” teriakmu selepas tujuh meter melangkah. Aku menoleh, lalu tersenyum. Senyum yang kubuat-buat agar terlihat manis dan hasilnya gagal.
Karena ia tetap setia datang meski berkali-kali pergi.” Kataku setelah kau menghilang di balik jajaran pohon waru yang melengkung. “Jika kau tak datang lagi, berhentilah terlihat memesona.

Surabaya, 12 Juni 2014

Tidak ada komentar: