Jumat, 15 Februari 2013

Suatu Senja : Paddington (1)


Ini sesaat setelah kebekuan itu mulai mencair atas jasa sebuah kalimat yang (akhirnya) dia ucapkan “Kita akan turun.” Kemudian aku mengikutinya masih dalam diam. Mungkin ini bukan seperti suasana mencair yang pernah digambarkan dalam cerita bersambung yang kalian baca dalam sebuah tabloid. Jadi, begini keadaanku. Dua hari lalu, aku berhasil menjejakkan kedua kakiku sendiri di tanah negeri kanguru. Aku senang, ya.  Aku sudah melakukan sujud syukur lusa itu. Tapi hal lain yang mencoba mengganjal rasa bersyukurku adalah kebersamaanku dengan teman baru yang aneh. Kami sama – sama dari Indonesia, itulah satu – satunya alasan aku mau menjadikannya teman. Ia dingin bahkan lebih dingin dari lelehan gletser dan atau apa pun yang menurut kalian paling dingin. Ia bahkan tidak pernah benar – benar menatapku, ya aku tahu alasannya. Setauku itu adalah salah satu adat jentelmen dalam memperlakukan wanita. Aku tidak ada alasan  lain untuk pergi darinya ketika Kak Prima, Sekjen pengelola beasiswa berkata. “Dia salman, ku harap kalian akan berteman dengan baik. Untuk saat ini hanya dia yang bisa membantumu menghadapi masa - masa awal. Apa pun yang terjadi, jangan melarikan diri darinya. Dia pendiam, tapi sebenarnya hangat.” Aku sudah cukup mual mendengar kata – kata itu, dan sekarang kemualan itu telah meradang di dinding lambungku hingga terasa gatal.
Kamudian kami berjalan sepanjang oxford street, dengan aku yang menyeret koper besarku sendiri, menggendong ransel sialan itu sendiri. Tanpa tawaran untuk membawakan atau berjalan secara pelan – pelan demi mengimbangi langkah kecilku. Uuhh, aku  tak mau memintanya berhenti (itu bukan diriku). Sesaat kemudian aku berucap maaf pada Kak prima karena berniat melarikan diri dari makhluk itu. Kubiarkan ia mengikuti langkah jontornya sendiri, dan kuhempaskan tubuhku pada bangku besi bercat putih di bawah pohon quince. Aku pikir ia tak menyadari karena telalu tak peduli, tapi beberapa saat kemudian kudengar langkahnya kembali. Menungguiku lalu berkata, “Butuh waktu berapa lama untuk istirahat.” Kalian boleh membayangkan mimik tidak sabarnya yang membosankan semau kalian.
“Pergilah,aku tak mau merepotkanmu. Aku sudah besar dan aku akan menemukan alamat itu sendiri.” Aku berkata begitu seolah aku benar – benar yakin ia tak akan meninggalkanku. Tapi aku berani bertaruh, jika ia laki – laki sejati. Ia tak akan meninggalkanku sendiri.
Diam tak ada tanggapan, kemudia kulihat ia bergerak. Aku pikir ia akan benar benar pergi. Sesaat kemudia aku baru tersadar, ia duduk di bangku seberang? (Menghina!  memang aku panuan).
“Kamu capek?” Begitu katanya sembari membenahi tali sepatu.
“Tidak, aku hanya merasa aku menjadi beban bagimu. Kau diam sepanjang perjalanan, dan sepertinya kau tidak menyukaiku.”
“hhh…(apakah dia tertawa, itu tidak jelas). Apa alasanmu kesini?”
“Cita – cita.”
“Hanya itu?”
“Ya.”
“Kau akan bahagia ketika cita – citamu tercapai?.” Ia berkata lalu diam, tetap seperti awal. Tanpa memandangku.
Aku ingin mengatakan, lebih baik kamu diam atau pergi daripada memberi pertanyaan aneh seperti itu. “Ya tentu aku akan bahagia.” tapi jawaban itu yang keluar dengan enteng. Bagiku, awalnya dia seperti manusia yang kekurangan bahan pembicaraan. Namun kemudian, aku tersadar dengan jawaban yang kulontarkan atas pertanyaannya.
“Siapa yang menjamin kamu akan bahagia?” Aku tidak tahu, makan apa sehari – hari makhluk seperti itu. Tapi ia begitu pintar memojokkan. Aku hanya terdiam, sesaat kemudian ia berdiri dan menyeret koperku seraya berkata. “Kau akan menghabiskan $3.2 untuk sekedar duduk di sini. Tidak ada acara kekanakan dalam perantauan.”
Dengan mengalahkan ribuan rasa kesal, aku mengikutinya tetap dalam diam, melihat punggung manusia aneh itu dari belakang yang menyeret koper hijau lumutku. Aku tidak benar tahu orang seperti apa manusia itu, tapi perkataannya memberi kesibukkan otakku untuk lebih berpikir “Apakah tercapainya semua cita – cita akan membuat manusia bahagia.” Ahh aku konyol. Bahagia atau tidak, itu urusan Tuhan. Selama aku melakukan yang terbaik.

Tidak ada komentar: