Jumat, 15 Februari 2013

Suatu Senja : Paddington (2)


“Berjuang bukan hanya sekedar berkeringat atau kau menghabiskan banyak waktu tidurmu untuk mengutak  - atik tumpukan file yang katamu brengsek itu. Yah, berjuang…bisa kau baca bertahan terhadap sesuatu yang kau benci lalu kemudian kau bisa merubahnya menjadi teman setiamu, bahkan tanpa kau sadari kau merasakan kenikmatan karenanya. Jika tidak, periksalah hatimu, mungkin ada sistem yang salah di dalamnya.” Salman berkata tanpa sedikit pun menolehku, matanya tetap berkutat di atas kertas gambar yang ia pelototi sejak sejam yang lalu. Beberapa pencil dan penggaris, busur serta alat yang tak ku kenal bertebaran di sekitar sikunya. Dan aku, aku duduk di seberang mejanya juga menyibukkan diri dengan layar laptop menaik turunkan kursor pada file yang kurasa sudah sempurna.
Yah, aku mengenal Salman dua bulan lalu, seperti ceritaku sebelumnya. Walau bagaimana pun, ia adalah orang paling berjasa di sini. Meski dengan tampang lempengnya yang akan memancing orang melempar kacang asin ke arahnya, ia selalu menanyakan apakah aku sudah tahu dimana perpustakaan, apakah aku sudah tahu dimana tempat belanja termurah, apakah aku tahu waktu yang tidak aman jika aku di luar rumah. Singkatnya, bukan ia yang berubah menjadi hangat, tapi aku yang beradaptasi dengan kebekuannya.
Aku memang tidak membayangkan, aku akan bisa berteman dengan patung es itu. Tapi, ia selalu mengatakan sesuatu yang menimbulkan rasa penasaran untuk bertanya lebih lanjut. Ohya, banyak yang telah kuketahui tentang Salman. Ia mahasiswa  Institute Architechture Macquarie yang sama sepertiku mendapat beasiswa dari AusAid. Umurnya tiga tahun di atasku, namun karena ku pikir ia jarang tertawa, ia jadi terlihat tiga tahun lebih tua daripada umurnya. Kak Prima pernah bilang,  Ia berada di negeri ini sejak mengambil program S1. Dan selama itu pula ia tidak pernah mengunjungi tanah air. Mungkin itu yang membuatnya begitu keras.
“Kenikmatan apa yang kau maksud?” Kataku setelah sekian lama mencerna kalimatnya.
“Kenikmatan ketika kau bekerja bukan untuk uang, bukan untuk sanjungan, juga bukan untuk membahagiakan dirimu sendiri.”
“Lalu?”
“Ketika kau melakukan semua itu hanya untuk satu misi.”
“Apa itu?”
“Mencintai Tuhan.”
Aku lagi – lagi terdiam. Kalimatnya kembali memaksa otakku bekerja. Ia selalu mengatakan sesuatu yang coba kurangkai menjadi satu kesatuan, yang kemudia kutemukan maksud yang ia sampaikan selama dua bulan terakhir ini. “Aku mutlak akan bahagia jika aku bekerja untuk Tuhan.” Ya, aku tahu itu maksudnya. Tapi kenapa ia tak berucap kalimat itu secara lugas. Biar aku lekas mengerti.
“Jangan sempit mengartikan itu,” Sanggahnya cepat – cepat. Aku mencoba menekan rasa penasaranku. Ku tunggu kalimatnya kemudian. Tapi ia tak bergeming, ia terlihat seperti menimbang atau menghitung sesuatu di dalam imajinasinya seraya memainkan pensil menggunakan jemarinya. “Tuhan tidak pernah memerintahku secara jelas untuk menjadi seorang arsitek. Ia juga tidak mewajibkan belajar matematika. Tapi untuk membangun runtuhan kebodohan masalalu itu, dunia membutuhkan tangan seorang arsitek. Dan Tuhan menginginkan tanganku melakukannya. Karena itu, aku akan terus belajar karena Tuhan menugaskanku membangun peradaban lebih baik. Jangan bilang kau masih belum mengerti kata – kataku. Kau hanya perlu lebih banyak membaca sejarah, bagaimana kau terlahir seperti itu jika Tuhan tak mempunyai misi untukmu. Dan yang perlu kau garis bawahi, misi Tuhan selalu baik. Jika hasilnya buruk, objek misi itu yang patut dipertanyakan..”
Kesekian kalinya aku mematung, bahkan hingga ia mengucap salam lalu pergi meninggalakanku senja itu di bawah kanopi di tepi jalan raya oxford. Satu sisi yang kutemukan dalam diri Salman yang belum pernah kutemua pada diri orang lain. Ia adalah Kristal es yang bening di tengah gua yang pekat, meskipun dingin ia menyinari. Pernah ia berkata kalimat yang masih kau ingat. “Jika kau sakit hati karena negara tak memberi penghargaan atas usahamu, pergilah ke tempat dimana kau dihargai. Karena sesuangguhnya, pejuang itu tak membutuhkan penghargaan jika ia bekerja untuk Tuhan. Dan penghargaan Tuhan tak selalu Dia tunjukkan secara kasat di mata manusia.”

Surabaya 16 Februari 2013
Awal tahun yang penuh teka - teki,
banyak janji yang telah terbuat,, dan harus terpenuhi

2 komentar:

Zainal Fahrudin mengatakan...

bahasanya keren, nice post :)

Futri Zakiyah Darojat mengatakan...

okay thankie... :)