Senin, 11 Maret 2013

Paddington : Ingin


“Apakah kau pernah menginginkan sesuatu?”
“Maksudmu?”
“Hingga setiap malam kau terbangun dan menangis tersedu – sedu.”
Aku diam.
“Iya, saat itu aku benar – benar ingin pergi kesini” jawabku, kau menoleh tapi tak benar – benar menghadapku. “Salman, pernahkah kau menangis seperti cara perempuan menangis?” lanjutku.
“Tidak.”
“Aku tidak percaya.”
“Itu bukan urusanku.” jawabmu kaku.
Kemudian lagi – lagi kami terdiam, Salman mengayunkan tangannya menjulurkan otot. Kemudian ia tersenyum, senyum yang jelek dan sangat tidak simetris. “Makanya sering – sering tersenyum biar senyummu itu simetris.” kataku dalam hati.
“Aku pernah menangis karena aku tidak suka dengan menggambar bangunan, awalnya aku tidak pernah menyukai arsitek.”
“Ha?”
“Aku ingin menjadi psikolog.”
“Hahahaha.” Tawaku meledak tanpa bisa dikendalikan. Tapi sesaat saja karena kulihat mimik muka Salman jauh dari raut bercanda.
“Aku tahu, ini pengakuan yang hanya akan membuatmu bangga. Tapi setidaknya, kau akan tahu suatu makna keinginan. Bahwa keinginan itu muncul sesaat setelah kau menonton tayangan iklan wafer coklat yang kau dapat kerenyahannya sekali gigit.”
“Jangan menggunakan analogi aneh.”
“Oke, kau menginginkan sesuatu setelah  kau melihat, membaca, mendengar referensi tentang suatu hal. Bahkan tragisnya, kau akan menginginkan sesuatu ketika kau melihat orang lain menurutmu bahagia memilikinya, padahal itu hanya persepsimu.”
“Karena itu, aku harus menerima keputusan Tuhan meski tak sesuai keinginanku. Begitu kan maksudmu?”
“Cerdas.” Katamu setengah tertawa.
“Apakah kau suka bercakap – cakap denganku Salman?” tanyaku dengan konyol yang sesaat kemudian kusesali.
“Aku suka bercakap – cakap dengan siapa pun, namun pada kenyataannya. Jarang ada orang yang mau bercakap – cakap denganku seperti yang kau lakukan.” hemmkk. Aku tertelan oleh kata – kataku sendiri.
“Mungkin karena aku bodoh.” jawabku sekenanya.
“Kau tidak bodoh, kau hanya selalu ingin tahu. Dan kau banyak mencaritahu dariku, ya, kau memanfaatkan aku sebenarnya.” Ia sedikit tersenyum, lagi – lagi tidak simetris.
“Jadi kau merasa terugikan.” sanggahku seolah tersinggung.
“Tidak. aku hanya membuka topic dan tanpa kuminta, kau akan berpendapat semaumu.” Sesaat kemudian Salman melambai ke arah very yang melintas di seberang dermaga. Tampak di sana beberapa perempuan separuh baya melambaikan tangan pula ke arah kami.
“Kau mengenal mereka.?”
“Tidak sedikitpun”jawabmu. “Mereka akan senantiasa melambai untuk menularkan kebahagiaan kepada siapa pun, itulah kepercayaan.”
“lebih ramah daripada Indonesia.”
“Jangan berkata begitu pada negaraku, aku akan tersinggung.” Ia memberikan lambaian keduanya.
“Mengapa kau amat mencintai Indonesia?”
“Karena aku meletakkan cinta disana.”
“hmmm ?”
“Dimana aku akan menyesal  semumur hidup jika tak membuatnya lebih baik.”
“Terlalu rumit.”
“Itu hanya perasaanmu.”
Sore itu di tepi darling harbour lagi – lagi Salman menyentakku dengan kata – katanya yang datar. kalimat terakhirnya yang membuatku semakin terpojok . “Salah satu rasa ingin yang membuatku malam – malam menangis adalah pulang. Pulang ke tempat ibu dan teman – teman kecilku merasakan ketidak adilan hidup. Dan aku malu untuk pulang jika aku tak membawa kebaikan hidup bagi mereka.”

Tidak ada komentar: