Jumat, 11 Januari 2013

Panglima !!!


Ini adalah hari saat matahari hanya berani bersembunyi di balik teman gembulnya cumolo nimbus. Hari saat tubuhku menyusut lebih kecil dari Quert atau Coll kurcaci snow white. Saat Chrishalys malu untuk mengakuiku sebagai teman, atau saat aku benar – benar berharap lumut – lumut akan tumbuh tinggi menjulang menjadikan tempat ini mejadi hutan hujan tropis. Biar, biar aku tersesat di dalamnya saja. Daripada menanggung malu tak berkesudahan.
Semua di mulai ketika aku menjinjing tas vonex pinkku berjalan melalui air mancur pusat kota, berjalan dengan sepatu pink milik Austin, dengan rok panjang bunga seruni yang lebih terkesan berbentuk rumput liar, dengan potongan abu- abu favoritku, juga dengan poly sweet ukuran L yang awalnya akan kuberikan pada Nala. Yah aku lebih suka begini ketimbang berdesak – desakan dalam bemo G untuk sekedar mengunjungi perpustakaan kuning. Ufeb ada janji dengan temannya sehingga aku haru berangkat sendiri. Dan tiba pada lengkung Sembilan puluh derajat bujur barat, aku menangkap beberapa sosok tak biasa dari arah lapangan hoki. Berbaris beberapa banjar lalu terdengar teriakan komando. Oh, panglima…pikirku.
Dan sesaat kemudian aku berani mempertaruhkan harga diriku dengan melupakan rencanaku mengunjungi perpustakaan kuning dan memilih berdiri mengintip paukan kavaleri berlatih pedang.  Kau boleh mengejek, aku dalam bayanganmu mungkin seperti lelaki miskin yang kehabisan tiket orkes. Tapi, aku juga berani bertaruh dengan diriku sendiri bahwa jika hari itu ibarat pertunjukkan musik.  Maka artisnya adalah Selena Gomes.
Aku mencari sosok yang sekira aku kenal. Bodoh. Aku memang tidak mengenal siapa – siapa diantara mereka. Tapi apa yang menarik. Panglima pasukan itu, bernama Khalid. Ia memukau. Aku pernah sesekali mengintip seperti ini dan menemukannya berlatih gerakan merpati menyerang ayang, atau tupai menang arisan *plaakk itu hanya karanganku. Tapi mana sosok itu, tidak mungkin mereka berlatih tanpa panglimanya. Aku berusaha memicingkan mataku berharap tiba – tiba teropong jarak jauh jatuh dari langit, atau aku menjadi kasat mata sehingga taka pa jika aku mendekat, tak aka nada orang yang mengusir atau berpandangan aneh terhadapku. Ahh mana mana? apakah mataku bertambah minusnya hingga tak mengenali sosok panglima.
“Apa yang kau lakukan?” Suara dari arah belakang membuat tubuhku terhuyung kea rah depan. Saat itu posisiku mungkin seperti burung gereja yang salah satu kakinya terkena permen karet. Aku menolehkan kepalaku. Aku tiba – tiba sesak nafas, kakiku kaku, tubuhku bergetar, atau gejala cemas lainnya yang tak ku rasakan. “Maaf Tuan saya hanya ingin melihat anda sekalian berlatih pedang. Saya ingin pandai berpedang seperti Tuan.” Kataku terlalu cepat, entah sosok di hadapanku itu paham atau tidak yang jelas itulah yang keluar. Aku berani bertaruh, dia pasti berpikir aku gadis zaman sekarang yang sedang depresi karena tidak punya dana untuk operasi plastik. “Uhh maksudku..” Kemudian tanpa menunggu kalimatku berlanjut sosok itu berjalan meninggalkanku. Jika sosok itu adalah guru matematika atau penjual pempek atau paling tidak prajurit lain yang biasa saja mungkin aku tak merutuki diriku separah itu. Sosok itu adalah panglima Khalid. Panglima yang membawa negeri kami tidak pernah kalah melawan negeri manapun. Panglima yang membuatku bersemangat melihat berita di tivi. Panglima yang sosoknya jarang muncul tapi sangat diharapka. Aku hampir menangis karena menyesal. Aku harusnya bisa menata bahasa dengan apik hingga mampu meluluhkan hatinya dan membiarkanku berlatih pedang. Mungkin ia merasa aneh dengan rok panjangku, atau aku lebih akan terlihat seperti ballerina ketika memegang gagang pedang. Apa aku bahkan tdak kuat memegang salah satu pun diatara pedang mereka. Aku ingin hebat seperti panglima. Aku ingin menjaga tanah air kita Panglima. Aku ingin menjadi lebih berani menghadang maut dan tidak takut mati. Aku ingin tetap berperang namun tetap mengingat Tuhan. Ajari aku panglima. Aku terlalu bodoh untuk belajar hanya dari melihat. Ajari sehebatmu. Aku menangis, terus menangis hingga pasukan itu menghilang. Aku tidak ingin pergi. Karena aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk memenuhi keinginanku. Panglima, suatu saat aku akan berdiri lagi di sini untuk melihat kalian berlatih. Tak peduli apakah aku terlihat seperti sniper yang akan disoraki “Snyper jangan mencuri, sniper jangan mencuri.” Aku tak peduli. Aku ingin hebat sepertimu.

Tidak ada komentar: