Senin, 05 November 2012

Girang


*terbaik 1 dalam Pekan Islami dan Achievement Motivation Training Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya

 persembahan untuk kakak perempuanku, aku tahu kau akan membuktikan kata - katamu, bahwa dengan menikah, kau akan menjadi kaya.

GIRANG
Andai Malaikat lalai tak menulis dosaku……
Andai perbuatanku kan terhapus, seperti karet melenyapkan goresan pensil…
Dan jika waktu dapat berputar ulang…..
Pasti aku tak kan memilih jalan itu….
Harga diri terlalu mahal tuk diperjual belikan….
Betapa bodohnya aku…
Aku tak kan membiarkan hal itu menimpa GIRANG sedikit pun…
Tak akan kubiarkan….
Maafkan Bunda sayang atas kebohongan ini..

Kucerna hati – hati barisan kata pada kertas usang itu.Apa maksud dari semua ini? Kebohongan? kebohongan apa?. Hatiku menyimpulkan, ini sebuah rahasia yang besar. Ya, aku pikir tulisan ini tentang ayahku. Bunda tidak pernah menceritakan apa – apa perihal ayah. “Ayah Girang itu pahlawan, dia tentara Indonesia, tapi sayang, Allah begitu cepat memanggil Ayah Girang” Hanya kata – kata itu yang berulang kali kudengar ketika berpuluh – pulah kali kutanyakan tentang ayahku. Rasa penasaranku mencapai titik beku. Harus kutanyakan pada siapa tentang hal ini. Apa harus menunggu Kak Fahmi pulang.Hatiku tak tahan menunggu Kak Fahmi hingga setahun lagi.Karena baru dua hari yang lalu Adik Bunda itu berangkat ke Yogyakarta mengurus proyek barunya.      
            Senja itu hatiku tergerak membaca Al-Qur’an Bunda yang mungkin hampir lima tahun tak tersentuh. Sejak Bunda meninggal, benda kesayangan Bunda ini hanya menjadi pajangan dalam almari kaca. Dan hanya akan keluar ketika Mbok Rodi membersihkan almari. Kak Fahmi pun tak pernah membaca Al-Qur’an Bunda, sulit katanya. Mungkin karena warna kertasnya coklat kekuningan.Tapi  seolah digerakkan kekuatan Malaikat, senja itu kuambil dan kubuka halaman perhalaman sebelum memulai membacanya. Tanganku terhenti ketika menemukan selembar kertas warna merah yang membatasi lembaran dalam Al-Qur’an. Setelah kubaca.Aku menjadi bingung.Apa sebenarnya maksud semua ini.
            “Mbak Girang sedang apa kok ngelamun,nanti kesambet lho..”Suara Mbok Rodi mengagetkanku.Seolah terbangun dari tidur panjang segera kuedarkan pandanganku seisi ruangan.Mbok Rodi tampak duduk di depanku.Wanita paruh baya itu tersenyum menatapku.
            “Eh Mbok…enggak kok cuma kangen aja sama bunda.” Kututup Al-Qur’an dan  kuletakakan kertas itu di tempat semula.Semoga saja Mbok Rodi tidak melihat kertas ini.
            “Kalau kangen itu ya didoain Mbak.. biar Bunda bangga punya anak kayak Mbak Girang.”Tangan Mbok Rodi menyentuh kemudian mengelus pundakku.
            “Iya Mbok,lama sekali Girang gak doa buat Bunda,pasti Bunda kangen sama Girang.”
            “Agih..sekarang sudah magrib sholat dulu..”Mbok Rodi mengembangkan pipi keriputnya,tersenyum padaku.

                                    **********************************
            “Girang mau kemana..?” Bunda berkata halus sambil terus mengikutiku ke arah sungai.
            “Mau jalan - jalan Bun…ke tepi sungai melihat matahari…” tariakku sambil berlari kecil.Tapi sesampainya di tepi kakiku terperosok ke dalam lumpur di tepi sungai.Dan semakin terperosok. “Bunda…..Bunda..tolong Girang Bunda…”
            “Girang…..Hati – hati sayang,Bunda akan ke situ.”Bunda berlari ke arahku.
            “Bunda Girang takut..Bunda.” Aku mulai menangis disaat lumpur itu menjerat lututku.
            “Sini sayang pegangan tangan Bunda…”Bunda mengulurkan tangan kanannya, dan tangan kirinya berpegangan pada ranting pohon.
            “Bunda, Girang takut…”Tangisku semakin menjadi dan membuat Bunda semakin panik.
            “Pegangan yang kuat sayang..Bunda akan menarikmu..”Bunda menarik tanganku hingga tubuh terangkat keatas hingga ke tanah.Tapi apa yang terjadi,pohon tempat Bunda berpegangan pada rantingnya tumbang ke arah sungai dan Bunda terhanyut bersama onggokan pohon itu.Perasaanku kacau.Aku bingung tak tahu apa yang harus kulakukan. Dan aku menangis sekeras – kerasnya.
            “Bunda….Bunda…” Tangisku sejadinya membuatku terduduk di tepi sungi itu.
            “Bunda..Bunda..”
            “Mbak Girang..bangun Mbak sudah subuh..ayo sholat….”Suara Mbok Rodi samar di sela tangisku.
            “Bunda..”
            “Mbak…Mbak Girang Cuma mimpi.” Mbok Rodi berkata sedikit berteriak hingga membuatku tersadar.
            “Mbok..Bunda,Mbok…Bunda..Girang takut kehilangan Bunda.”Kupeluk erat Mbok Rodi yang duduk di tepi ranjangku.
            “Sabar..Mbak.Bunda sudah enggak ada.Mbak Girang tenang saja di sini ada Mbok…” Mbok Rodi mencoba melepas pelukanku,tapi aku tak mau aku tetap memeluk erat tubuh Mbok Rodi.
            “Mbok…Girang kangen sama Bunda. Girang pengin ketemu Bunda…Girang pengin nyusul Bunda.”
            “Huss…Mbak enggak boleh bilang begitu..”Mbok Rodi melepas pelukanku dan menghapus air mataku.”Sekarang Mbak Girang sholat ya…ayo Mbok antar ambil air wudlu.
            Mbok Rodi menuntunku menuju kamar mandi,saat ini pikiranku kosong,hati serasa disayat.Aku benar- benar merindukan Bunda.rasanya ingin mati demi bertemu Bunda.
                                                *************************
            Sejak peristiwa itu,Mbok Rodi semakin perhatian padaku. Membangunkanku tepat waktu,menyiapkan sarapan bahkan mencarikan Taksi untuk ke kampus. Sedikit pun Mbok Rodi tak membiarkanku sendirian, Beliau takut jika aku mencoba bunuh diri. Mungkin karena mendengar kata - kata ‘Girang pengin nyusul Bunda’. Ahh...itu hanya keinginanku sesaat, karena masih ada iman yang meyangga batinku. Tapi yang membuatku benar – benar bingung, Kak Fahmi pulang padahal baru beberapa hari di Jogja.
            “Girang….bukan begini caranya kalau Girang kangen sama Bunda. Kasihan Mbok Rodi. Cemas mikirin Girang.” Teryata Mbok Rodi  mengadu pada Kak Fahmi. Aku teringat ucapan Kak Fahmi waktu itu. Dia tak akan memaafkan dirinya sendiri. Aduh..aku jadi merepotkan semua orang.
            “Girang…lha wong ditanya kok malah nglamun.Udah dong Girang…”Tangan Kak Fahmi menari- nari di depan mataku.
            “Maafkan Girang Kak, Girang nggak bermaksud bikin khawatir Kak Fahmi. Perasaan Girang menjadi tak karuan begini sejak membaca selembar kertas yang terselip dalam Al-Qur’an Bunda.Tulisan di kertas itu seolah terus menghantui Girang. Girang sendiri juga gak ngerti kenapa.”
            “Selembar kertas apa?” kak Fahmi terlihat bingung mendengar jawabanku. Ku ambil kertas itu dan kuserahkan kepada Kak Fahmi.
            “Kakak tau apa maksudnya?” Kak Fahmi hanya terdiam setelah membaca surat itu, dan ketika Seperti sibuk dengan pikirannya. “Kak Fahmi jujur dong sama Girang, apa maksud tulisan itu, Girang yakin Kak Fahmi tau semuanya.”
            “ Girang janji nggak akan marah sama Bunda jika Kak Fahmi cerita sama Girang?”
            “Girang sayang sama Bunda, seperti apa pun Bunda, Girang akan tetap sayang sama Bunda.” Aku meyakinkan Kak Fahmi.
            “Girang sebenarnya, Ayah Girang belum meninggal. Ayah Girang masih ada, dan Girang kenal siapa ayah Girang. Tapi Sayang…sudah lah lupakan semua.” Kata – kata Kak Fami benar membuat jantungku berdetak kencang. Siapa yang di maksud Ayah Girang yang masih hidup, dan Girang mengenalinya.Siapa…
            “Siapa Ayah Girang Kak Fahmi?” Suaraku tergetar lemah hampir tak keluar.
            “Bunda Girang pernah bilang kepada Kak Fahmi kalau Girang tidak boleh tau semua ini, maafkan Kakak sayang…” Kak Fahmi masih menunduk, seperti menekan rasa bersalah.
            “Bunda sayang sama Girang, Bunda pasti seneng bila Girang seneng, Demi Girang, ayo lah Kak Fahmi.”
“Girang janji akan melupakan semua ini jika kakak beri tau,?” Kegusaran kak fahmi berkata - kata membuatku semakin penasaran. Ia meletakkan kedua tangannya pada pundakku seolah aku gadis usia TK yang minta dibelikan petasan. “Ayah Girang adalah, Pak Broto.”
“Apa……..!!!!” Seperti ada sebuah batu jatuh tepat di kepalaku, aku benar – benar tak menyangka kak fahmi akan menyebut nama itu. Nama yang begitu kubenci. Nama yang kini tertulis dalam catatan kejahatan sebagai bandit sodomi. Jantungku serasa lemah untuk berdetak.
Subrata adalah rentenir kaya yang mempunyai segudang istri. Sekitar tuju tahun lalu masih terlihat jelas ia menampar pipi bunda hingga bunda tersungkur saat kami telat membayar utang.. dan yang semakin membuatku benci padanya, Ia melakukan hal senonoh pada Abid, sahabat masa kecilku.   Aku benar – benar tak menyangka, Iblis itu adalah ayahku.Tidak!!!
Sore ini aku duduk di tepi sungai, bayang – bayang berkelebatan pada pikiranku, bunda, Abid yang hingga kini mengalami gangguan jiwa, dan si bandit yang tengah merengkuh di penjara. Tuhan begitu tak adil memilihkan Ia untuk ayahku. Seburuk itukah darah yang telah mengalir dalam tubuhku.
******************************
Siang ini, aku berjalan lunglai meninggalkan kampus, hari ini aku akan ke sebuah tempat yang hingga umurku sembilan belas  tahun ini belum pernah menginjakkan kakiku di lantainya. Ya…rumah tahanan. Aku benci sebenarnya datang kesini, tapi hati kecilku memaksakan langkah kakiku. Begitu sampai, aku berbicara sedikit pada polisi tua dan mengatakan ingin mengunjungi Subrata, merinding rasanya mendengar nama itu. Aku masih belum mengakui jika dia adalah ayahku. Polisi itu mengantarkanku menuju ruang kotak – kotak tempat para residivis terkurung dalam sangkar besi. Subrata menatapku tajam, aku yakin ia tak mengenaliku. Aku memantapkan mataku seolah tak gentar meski  jantungku berdetak berantakan. Aku harap Kak Fahmi berbohong jika pria gendut berkumis tebal dan penuh tato diseluruh tubuhnya ini adalah ayahku. Aku sedikit bergidik.
“Anak kecil, ada ursuan apa kau mencariku.” Gayanya masih angkuh, matanya jelalatan memandangiku dari ujung rok panjang hingga jilbab putihku.
“Maaf , mengganggumu tuan Subrata terhormat, aku hanya menanyakan padamu perihal Santi. Gadis yang pernah kau beli dari ayahnya karena tak bisa membayar utang padamu.” Aku menatapnya penuh kebencian.
“Santi....ha,,,,ha,,.haa....ada urusan apa kau dengan santi, tubuhnya sudah lama membusuk digerogoti cacing tanah. Ha….” Ia tertawa menggelegar, ingin rasanya menyobek mulutnya yang bau itu.
“jaga mulutmu bandit sodomi, jangan pernah menghina ibuku.”
“Ibumu?” Ia terkejut mengucapkan itu lalu kembali terbahak – bahak membuat polisi penjaga memerhatikan kami. “Bararti kau anakku, cantik juga kau, meski tubuhmu terbungkus seperti pisang rebus tapi wajahmu terlihat manis.” Ia nyaris menyentuh pipiku dari celah – celah besi. Aku mundur dan menghindar. Ia tertawa melihat ketakutanku dan berteriak memanggilku “Santi kecil kemana kau, di sini dulu aku merindukanmu.” Ia kembali tertawa membahana.
Dalam perjalanan pulang, sampai rumah, mandi, hingga makan siang aku tetap merasakan takut yang sangat. Sup cakar ayam di depanku hanya ku aduk tanpa sekalipun kucicipi. Suasana hatiku belum netral.Entah karena apa aku teringat Abid, sahabat kecilku, sekarang bagaimana kabarnya. Dulu kami selalu bersama, membakar singkong di tepi sungai, bermain layang – layang, bahkan mencuri mangga di rumah Subrata. Namun itu dulu sebelum kejadian pahit itu menimpanya, dan dia pergi meninggalkan kota ini, aku menjadi ikut merasa bersalah.
“Mbak...udah to, dimakan supnya, lha wong udah nggak panas.” Mbok rodi berkata namun pandangannya pada arah TV di ruang tengah.
“Eh iya mbok….Mbok, Girang mau tanya. Mbok tau kabarnya Abid nggak.” Aku berkata hati – hati. Mbok rodi menatapku aneh.
“Mbak Girang nggak tau kalau mas abid sudah pulang, sudah jadi ustad di TPA di ujung gan itu lo, sekarang jadi cakep lo Mbak…makin putih setelah pulang dari pesantren.
“Masa sih…(bukannya dia di RSJ?)” aku sedikit terkejut mendengar itu, mbok Rodi terus bercerita, Abid kembali, tapi mengapa tak mencariku, bukan kah dia sahabatku. Apa karena dia sudah tau aku adalah anak Subrata. Ahh….
****
Sore itu aku duduk menyendiri di atas kayu di tepi sungai. Begitu banyak kenangan yang terukir dari tempat ini. Dalam sunyi hanya riak sungai yang terdengar mengicir. Samar ku dengar suara dari jalan setapak di belakangku. Suara anak - anak kecil berceloteh riang, bersepeda menuju sungai. Salah satunya berkata “Kak ustad bolehkan kita main di tepi sungai.” “Iya tapi hati – hati ya...” Kubalikkan badanku. “Abid?” Aku kikuk melihatnya. “Girang, apa kabar.?” Suaranya lembut bijaksana, memang benar semua yang diceritakan Mbok rodi, ia terlihat tampan. “Baik.” Kuulurkan tanganku untuk berselaman. Ia hanya mengangguk tak membalas tanganku. Aku berbengong. “Kita belum muhrim girang.” Ia berkata mantap tanpa memandangku sedikit pun. “adek – adek yo cepat kembali, Girang duluan ya..” Abid, sosok kecil yang dulu begit akrab, sekarang berbeda. Ia menghilang dalam sekejap, dan kembali menemuiku dalam sekejap pula.
Mentari perlahan bergeser turun, sinar keemasannya mengiringi langkahku menyusuri gang sempit menuju jalan pulang. Tiba di tikungan pertama, aku menjadi was – was, dua rumah lagi akan kulewati rumah mewah milik Subrata, hatiku getir menyebutnya ayahku. Hari ini rumah mewah itu tampak ramai, beberapa mobil bermerek berpararel di halaman. “Heh...anakku, kemarilah kau, ayahmu pulang.” DEG, teriakan Brata menghentikan langkahku, bagaiman bisa dia lolos secepat ini dari penjara. Dia tampak berpesta entah alkohol atau hanya minuman biasa bersama beberapa lelaki yang mungkin anak buahnya. Aku merinding mendengar tawa mereka. Kugerakkan kakiku segera berlari, tapi celaka, aku mendengar gerap kaki mengikuti lariku, anak buah Brata mengejarku, nyaliku semakin ciut, tenagaku kukerahkan habis – habisan. “Kena kau....ha,,ha...” Salah satu dari mereka mencengkram lenganku, aku mencoba memberontak tapi sia – sia. Mereka menyeretku ke rumah Brata, aku berusaha merintih meminta tolong tapi orang – orang disekitarku mengacuhkan. Akhirnya aku hanya menangis.
Mereka melemparkanku hingga tersungkur di bawah kaki Brata. Rasanya ingin kuludahi kaki gajahnya itu. Tawanya menggelak melihatku, tercium aroma alkohol yang memualkan. Brata mengulurkan tangannya menawarkan bantuan dengan senyum mengejek. Kutepis dengan tatapan tajamku. Ia terlihat tersinggung. “Heh anak haram, apakah Santi tak pernah mengajarkanmu sopan santun.” Kalimatnya geram sambil mengangkat kedua pipiku dengan tangan kanannya, Aku meringis menahan sakit. “Bawa dia ke kamarku, gadis ini perlu mendapat pelajaran.”  Teriaknya seraya mendorongku ke arah seorang anak buah hitam. Aku dikunci di sebuah kamar mewah, persis mewahnya dengan kamar pada sinetron yang pernah kulihat. Aku muak, rasanya aku ingin mengobrak – abrik tempat ini. Aku tak bisa membayangkkan apa yang akan terjadi padaku setelah ini. Mbok rodi pasti mencemaskanku. Aku harus mencari cara keluar. Kudekati jendela kaca bertirai. Tak mungkin, dua orang perjaga di bawah sana, satu – satunya caraku adalah bersembunyi di kamar mandi dan menguncinya.
Brakkk....dobrakan pintu itu membangunkanku. Aku tersadar, aku tertidur di lantai kamr mandi. Brata memandangku murka, matanya seolah menyala, gerahamnya gemeletuk. Keringat dingin membasahi kaus dan jilbabku. Tangan kuat Brata menarik ujung jilbabku hingga lepas, hanya jilbab kecil penutup kepala yang kini kukenakan. Rasanya aku ingin menangis, tapi kutahan. Kubalas tatapan sadisnya. “Aku tak takut padamu, sama sekali tidak.” Bibirku berucap tegas meski jantungku porak poranda, kakiku lemas, tapi aku masih bertahan. Brata tertawa lepas mendengungkan telinga. Sesaat ia menyeretku dan melemparkanku ke ranjang, aku bangkit. “Jangan pernah menyentuhku Brata” suaraku gemetar, Brata mendekat hingga beberapa senti saja wajahnya dari wajahku. Aku tetap menatapnya tajam. Brata mendorongku lagi keranjang, sekilas kutangkap bayangan datang. Jeprakk....suara kayu menghantam kepala Brata hingga ia tersungkur. Dan tangan Abid diujung kayu itu, napasnya tersenggal,  memar di pipi dan dahinya, matanya memerah, darah mengalir dari sudut bibirnya. Mungkin dia telah menghabisi anak buah Brata di bawah.
“Girang cepat telepon polisi.” Abid melemparkan handphone, tanganku respek menangkapnya. Sesaat kemudian perhatiannya beralih pada Brata. Aku menelpon polisi. Suaraku terbata. Ada rasa kasihan hinggap ketika Abid melemparkan tendangan di perut Brata yang sudah tak berdaya. Melihat kakinya akan terjun kembali perut brata, aku menjerit. “Hentikan abid, jangan bunuh ayahku.” Isakku menolehkan tatapan tajam Abid, Entah ia terheran atau marah kutak tau. Abid terdiam sejenak kemudian pergi. Aku hanya terisak.
*************************
Peristiwa di rumah brata itu benar - benar menyiksaku. Sejak itu tak sesuap nasi pun melewati kerongkonganku. Tubuhku memanas. Mbok rodi kebingungan, lagi – lagi hal ini mengundang kak Fahmi untuk pulang. Aku dibawa ke rumah sakit. Sepertinya kondisiku tak membaik. Aku pikir inilah yang disebut somaform, hasil diagnostic dokter negative. Aku tak merasakan sakit di tubuhku yang melemah, namun ngilu meradang di ulu hatiku. Malam ini dokter merujukku ke rumah sakit pusat. Kondisiku semakin labil, berkali – kali memuntahkan cairan kuning yang pahit.
Aku terduduk lemas di atas kursi roda yang berjalan pelan menuju ambulan. Tatapanku hampa, mbok rodi berulang kali mengelus jilbabku. Aku tak berdaya. Nyaris kak fahmi dan seorang perawat mengangkatku ke atas ambulan, terdengar suara, nadanya seperti memburu. “Tunggu,” suaranya lantang membuat kepala lunglaiku menoleh. Semua ikut menoleh. Abid di sana, dengan kemeja putih, celana hitam dan tas ranselnya. Ia tersenyum membuatku ikut tersenyum. Kak fahmi dan mbok Rodi terheran melihat ekspresiku. “Kak fahmi izinkan aku bicara padamu sejenak.” Kenapa kak Fahmi. Kenapa Abid tidak mencariku. Kemudian sejenak mereka brbisik lalu tertawa. Aku semakin bingung dengan mereka, di saat yang sama kurasakan lapar yang beberapa hari ini tak pernah muncul meski aku tak makan. Dan radang di ulu hatiku perlahan menghilang. Kak Fahmi mendekatiku, Abid mengikutinya dari belakang. “Girang ada yang menahanmu sebelum ke rumah sakit pusat.” Kak fahmi membuatku tak mengerti, aku bingung kutatap matanya, lalu adik ibuku ini tersenyum, Abid meunduk seperti malu. “maksudnya.”  suaraku masih lemah. “Abid melamarmu.”  TESS, hatiku seperti dihujani bunga – bunga salju. Aku melirik Abid yang semakin menunduk. Lalu kukembangkan senyumku dan semua tertawa.#
                       

                                                                                                By. Futri Zakiyah Darojat
                                                                                               

Tidak ada komentar: