Jumat, 22 Juni 2012

Kita Berbeda, Irene!




“Makasih ya Hil. dadaaah” Seperti biasa, Irene selalu mengucapkan kata yang sama ketika mengantarkanku pulang. Senyum sekilo gula di bibir tipisnya tak lupa ia kembangkan. Allamaak manisnya…Astagfirullah.
          Masih kupandangi Juke putih itu hingga benar – benar menghilang di tikungan pertama. Udara sore itu tak begitu dingin, tapi begitu menyegarkan di sini, di daerah di dalam dadaku, sungguh apa ini namanya.
Si Mbok tampak merengut kurang suka, diletakkannya secangkir kopi di atas meja tanpa melihatku, beliau memang tak mengeluarkan kata – kata omelan. Tapi bisa kurasakan, hal itu berarti ada yang tidak menyenangkan hatinya.

“Kamu harus tau diri Le, jatuh dari bulan itu sakit, jaga jarakmu sama gadis konglomerat itu, kamu sama dia itu sama artinya si cebol merindukan bulan,GAK PANTES.”

            Kata kata itu berkali – kali diucapkan si mbok. benar – benar halus tapi mengiris - iris telinga, lebih tajam dari silet, memang barang sekali pun si mbok gak pernah ridho jika aku, anak lelaki satu – satunya, pemimpin keluarga, dekat dengan Irene.
Irene. Gadis kristiani yang ku tau berhati emas, berlian atau bahkan permata. Kebetulan atau memang takdir Allah, rumah kami sejalur dari kampus, sehingga mau gak mau, malu gak malu, aku gak bias nolak saat dia bilang suruh nyopirin mobilnya, mesti aku tau maksudnya bukan hanya itu.
            Mata lelaki normal mana yang melihat Irene tak cantik, darah Indo-Belanda menyatu di tubuhnya membuat kulitnya sebening kaca, jarak alis dengan matanya menyala sempurna, tingginya lima senti di atasku. Kabarnya dia pernah menjadi pemenang gadis sampul entah edisi kapan, dan aku hanyalah lelaki miskin yang berpenampilan biasa yang setiap hari mendapat kesempatan duduk di kemudi mobilnya, mengantar sang bidadari kemana pun maunya. Bukan sebagai sopir karena juga kadang dia yang menyetir, bukan sebagai sopir karena Irene yang datang ke rumah menjemputku. Kalau pun dianggap sopir tak papa lah…
“Aku nggak maksud jadiin kamu sopir Hil, aku cuma butuh teman. Yang bisa buat candaan bareng, ngerjain tugas bareng. Kamu jangan salah ngertiin ya, karena hanya kamu yang bisa buat aku nyaman.” Sungguh beberapa kata itu berhasil mengobrak – abrik tatanan hatiku, mencerai berainya hingga sulit aku menatanya kembali. Aku tidak ingin terlalu ge-er, tapi memang inilah yang kurasa.
Tapi itu semua dulu, dulu sebelum ia bilang sesuatu yang membuat jantungku seolah benar - benar naik hingga tenggorokan dan ingin meloncat keluar. Masih jelas di pikiranku, saat gerimis waktu itu Irene bilang, “Hil, aku sayang kamu.” Dan sejak itu aku selalu sengaja menjaga jarak, aku takut aku bilang iya, ku harap Irene tak merasa perubahan sikapku, meski itu peluangnya kecil. Sebenarnya yang membuatku ragu bukan perbedaan meteri kami, bukan si mbok, bukan pula fisik kami, tapi keyakinan kami, aku muslim tulen, dan Irene adalah kristiani. Itu lebih dari perbedaan bumi dan bulan seperti yang dimaksudkan si mbok.

*******

Huffft....Udara Kota Blitar sore ini benar – benar tak seperti biasanya, lebih menggigit dan menusuk tulang, dingin sekali. Kulangkahkan kakiku pelan menyusuri koridor kampus menuju ruang Rohis. Melewati parkir mobil  sepintas  kulihat Juke Putih milik Irene. Dia belum pulang, sudah sesore ini, kasihan sekali. Kalau saja hari ini adalah dulu, pasti aku sedang duduk di sampingnya, membantunya menyelesaikan tugas. “Hilman....kamu belum pulang,” suara dari lorong perpustakaan menolehkan pandanganku. Irene melemparkan tatapan seperti biasa, anggun tapi jelas tak dibuat - buat, “Kamu..juga belum pulang.” Perkataanku terasa canggung. Sebenarnya hatiku ingin mengatakan, mau aku antar pulang, tapi kata – kata itu sarat di kerongkongan. “Kamu gak ingin, mengantar aku pulang?” Irene seperti membaca pikiranku. Aku seperti di tusuk pertanyaannya, “Maaf Ren, hari ini aku ada rapat rohis, kamu bisa kan pulang sendiri. Aku duluan ya, sudah ditunggu anak – anak.” Secepat mungkin kubalikkan badan. namun, “ Bukan rapat rohis Hil alasannya, tapi kamu sengaja menghindar karena takut aku bilang ingin jadi pacar kamu kan?” suara Irene lantang dan lepas, matanya berkaca, sungguh Gusti aku gak kuat melihatnya seperti itu. “Maaf Ren, aku benar – benar buru - buru.” Kupacu kakiku berlari meninggalkan Irene, aku takut dia bertindak lebih berani.
                                                        
*******

Malam ini sedetik pun mataku tak bisa terpejam, bayang - bayang Irene semakin nyata, perkataannya tak ada sepuluh jam yang lalu masih terdengar, berkali – kali aku coba sholat, tapi malah tak khusyu, mataku terasa pedas. Entah apa yang kurasakan, jatuh cinta, patah hati atau malah benci. Semuanya yang pernah terjadi antara aku dan irene teringat jelas, makan mie kuah di gank mangga, mencari materi secara sembunyi - sembunyi untuk makalah perbaikan saat hujan deras malam jum’at di perpustakan, bahkan menyapu dan mengecat pagar belakang kampus gara - gara  merusakkan buku perpustakaan tiga kali berturut - turut. Irene, aku tak mau menyakiti hatimu jika aku bilang tidak padamu, tapi semua tampak tergaris lurus, kita tak sepaham, itu yang jelas beda. Bagaimana pun aku tak mungkin pura – pura tak mengerti tentang ini, aku takut jika kita mengawali akan terbunuh diakhirnya. Tapi di sisi lain memang tak bisa ku sangkal, kebaikanmu selama kurun waktu hampir setahun ini berhasil memporak porandakan hatiku. Tentu banyak yang akan menentang jika kita bersama, ayahmu, si Mbok, dan juga apa kata anak – anak Rohis jika ketuanya berpacaran, dengan gadis kristen pula. Ahh....Ini begitu membimbangkan. Irene, seandainya aku bilang tidak pun bukan hanya kau yang tersiksa, tapi lebih besar pada batinku.

*******

Pagi ini mataku sembab, rasanya aku malas bangun, ingin tertidur dan tertidur. Tapi teriakan si mbok membuat telingaku mendengung, Telat berangkat kuliah akan mengurangi setengah ilmu kita, kata si mbok, ya aku nurut saja. Sampai di kampus tak banyak yang bisa kukerjakan, seperti firasatku, materi Filsafat Pancasila kosong. Kugunakan menyendiri di perpustakaan. Perpustakaan cat hijau itu tampak sunyi, hanya petugas yang masih bersih – bersih menyapaku mantap. Kucari bacaan penghibur hati tapi hasilnya nihil, tak ada yang mampu mengalihkan pikiranku.. Akhirnya aku hanya duduk mematung menghadap arah jendela kaca.
Sampai mata kuliah selesai hanya kuhabiskan di perpustakaan, tiba - tiba aku  muak dengan keramaian. Hatiku benar – benar tak berkompas,kalau boleh meminjam istilah ternyata benar cinta memang bukan segalanya, tapi kehilangan cinta seperti kehilangan segalanya. Aku tak boleh larut seperti ini. Semua harus dijelaskan. Aku akan bilang iya atau tidak. Meski semua akan perih. Aku harus mencari Irene. belum sempurna aku berdiri.DEG. Tanpa kucari dia yang datang.
“Hil, aku mencarimu.” Matanya tenang meski bicaranya mantap.
“Aku juga.” Jantungku mulai berantakan.
 “Apa yang ingin kau katakan?” Dia masih berdiri .
”Kau tau apa yang akan ku katakan.” Aku bingung memulainya.
“ Tidak, aku selalu tak bisa menebak hatimu. Apa?” Tantangnya. Aku menunduk semakin dalam.
“Ren, kedekatan kita akhir – akhir ini, kebaikanmu, sudah berhasil...berhasil membeli hatiku, aku ingin bilang, aku juga mencintaimu. Tapi semua tak mungkin, secara materi kita berbeda, tapi lebih dari itu, kita tak sepaham tentang kepercayaan.” Kataku memelan mengakhiri kalimat, aku tak berani menatap Irene, Berdetik detik kita terdiam. Tanpa suara, hanya riuh dari pengunjung lain yang terdengar. “Semua ini gak adil Hil, apa karena itu kamu mengorbankan perasaan kita.” Suaranya parau, nyaris tak terdengar. Aku kuatkan diriku. “Ku mohon mengertilah Ren, kau akan dapatkan terbaik, percayalah.” Aku menyabar – nyabarkan haiku yang memerih mendengar isakannya. Irene menarik nafas panjang. “Aku harap kamu benar. Maafkan aku jika telah mengganggumu.” Irene berkata sepintas lalu berlari meninggalkanku yang terpaku. Tak bisa kubendung airmataku menitik, tak peduli dikata cengeng, tapi perasaanku benar – benar hancur.

************

Kulangkahkan kaki menyusuri jalan batu dari perpustakaan menuju masjid kampus, dinginnya udara ruangan masjid semakin menyesakkan dadaku. Masih berkelebatan bayangan perempuan yang beberapa jam yang lalu menangis di hadapanku. ya Rabbi, ampuni hamba-Mu yang hina ini.
“Kang Hilman kok telat, dari mana?” Yanto, adik angkatanku menjabat tanganku. Semoga tak terbaca kesayuanku olehnya.
“Dari perpus To, sudah lama mulai kajiannya?” Aku segera duduk di sampingnya.
“Barusan Kang, sekitar sepuluh menit yang lalu.”
Ustad Khudaibi seperti berhasil menyihir ruangan ini, hingga semua tampak diam mendengarkan.
“Sungguh telah jelas digariskan, jika kamu tak mampu. Jangan pernah merasa mampu, jangan merasa imanmu sudah benar – benar kuat dan tidak akan bengkok, sungguh dalam sebuah bahtera rumah tangga itu tidak hanya cinta, tapi persamaan – persamaan diantara keduanya. Apa salah satu persamaan itu? yaitu cinta kepada Allah. Sungguh itulah yang kan abadi. Kalau ingin mempunyai cinta yang abadi,cintai lah sesuatu yang abadi.”
Jledekk...Splasss.....Ada semacam tiupan kencang pada hatikuku. Aku seperti telah mengadukan sesuatu dan ustad Khudaibi menjawabnya. Dan aku yakin, ini adalah salah satu bentuk penguatan Allah, Ampuni aku ya Allah. Karena aku merasa kuat padahal aku tau imanku sangat lemah. Ampuni aku telah mencoba bermain dengan sesuatu yang kau larang.
Terima kasih ya Allah karena Engkau telah menjaga hatiku. Kini tak kuragukan lagi keyakinanku. Karena rezeki,umur, dan jodohku adalah urusanmu. Maafkan aku Irene, jika kita jodoh pasti akan ada cara yang lebih indah. Namun saat ini, laa kum dinukum waliyadien.Untukku agamaku dan untukmu agamamu.
“Kini aku tau kemana harus pergi, ke arahMu ya Allah”

                                                                        Blitar, Januari 2010
                                               

Tidak ada komentar: