Senin, 31 Oktober 2011

saat semua masih milik kita


Ada cinta saat kau pergi. (Ketika semua masih milik kita)

Terlibat sebuah perdebatan dalam perkuliahan siang tadi (Oct.17.11) dalam kelas kewrganegaraan, sedikit membuat saya ngeyel terhadap tim penyaji ketika pertanyaan saya menuai tanggapan yang sedikit nyeleweng menurut saya. begini pertanyaan isi perdebatan kami
“Bagaimana menanamkan wawasan nusantara yang kuat tanpa berdampak ethnosentrisme yang berlebih.” Ini pertanyaan saya,
(Penyaji) : “Kami kurang paham dengan perntayaan anda. Wawasan nusantara itu adalah suatu paham tentang cinta tnah air, menjaga keluar dan ke dalam. Sehingga pertanyaan anda terkesan bagaimana agar mencintai nusantara secara setengah – setengah.” (kurang lebih seperti itu)
Berhubung yang saya maksudkan bukan seperti itu saya menyanggah. “Maksud saya, bagaiman kita bisa cinta tapi tidak keterlaluan cintanya.”
(Dengan sedikit ngeyel) “Lha iya, kalau cinta itu harus sepenuhnya, apalagi kalau sampai mengancam kesatuan nusantara, itu harus kita bela dengan penuh.”
_____________--------------------------------------------------------------------------------------------
Masih panjang perdebatan di antara kami yang intinya saling mempertahankan pendapat masing masing.
Berbicara tentang cinta nusantara, benarkah kita cinta? mengapa baru merasa ketika kehilangan atau nyaris kehilangan. Ambil contoh dari kasus Indo Malaysia. Mengapa Indonesia tidak instropeksi diri, dan memperbaiki , mengapa kasus ambalat tidak dijadika tolak ukur cinta, untuk lebih menjaga. Bagaimana bisa, batik dan reok menjadi sasaran empuk berikutnya.  Heeeyyy kemana aja penduduk Indonesia, pemerintahan kita itu ketika semua masih milik kita (Sibuk rapat Mbak….jawab pak anggota dewan dengan terkantuk – kantuk).
Ironisnya kita justru merasa memiliki ketika kita kehilangan, merasa tersinggung, naik pitam, harga diri terinjak – injak atau apalah. Baru menyatakan “Ganyang Malaysia” dan bertindak seolah supporter bonek melawan aremania.  Heyy bbung, kita terebut karena kita lengah. mereka bisa karena ada peluang, salah siapa??? Memang malay salah. Itu milik kita, dan mereka melanggar HAM, tapi untuk selanjutnya, betapa memalukan terebut untuk berulang kali dan marah. Mungkin pemerintah Malaysia kalau jenuh ngurusi negaranya, nyoba jail – jail ke tetangga, biar kita marah lalu mereka ketawa. Dan itu, kita hanya marah, tanpa sikap tanpa usaha, saya memang sering terharu dengan penduduk negara saya tercinta ini, ketika mati – matian memperjuangkan hak milik. Namun, apa selanjutnya?? hanya gertakan marah, Malaysia mana takut.
Mendengar berita terkini, perbatasan kita tergerogot lagi, mungkin Malay itu ngregetan dengan Indo kali ya… bagimana mereka tidak tergiur merebut jika, perbatasan Cuma di lindungi aparat daerah setempat, yang hanya dengan tanda batas rumah gubuk (macam rumah gubuk sawah) warna merah putih yang kalau musim kemarau akan terbakar dan jika musim hujan hanyut. Seperti itu??? (geleng – geleng)
Di sisi lain, bapak besar kita, paduka Susilo Bambang yudhoyono, menganugerahkan cindera mata kepa Malaysia. (Apa maksudnya coba?)
saya : Pak esbeye pak esbeye, itu kenapa ngasih Malaysia hadiah
Esbeye:  Itu…buat persahabatan nak. Kan sama tetangga kudu rukun.
saya: Ooo gitu ya pak, boleh nggak pak saya yang mengarangkan greeting pengiring hadiahnya.
Esbeye; ooo boleh kok silahkan, yang bagus ya biar mereka seneng.
saya : kata – katanya gini pak “MALAYSIA MALAYSIA, INILOH TAK KASIH HADIAH, BAIKAN YA, KAMU JANGAN REBUT TANAH KITA, KITA RUKUN LOH YA, JADI KITA NGGAK PERLU JAGA DAERAH KITA, SOALNYA KITA KAN SIBUK RAPAT”
Esbeye: (melempar sandal kea rah saya)

4 komentar:

Bekti Dwi Ruliyanti mengatakan...

assalamu'alaikum.
hhaha, i see what you mean, sista.
NB : follow my blog ^o^

Futri Zakiyah Darojat mengatakan...

UUUU...okay uci

sofwan's blog mengatakan...

Semoga blog anda semakin banyak pengunjung, dan isi dari blog anda semakin bertambah baik.

Futri Zakiyah Darojat mengatakan...

iya thanks...:)