Rabu, 02 Maret 2016

Nilai Kami Jelek



Sekali duniaku menampakkan
Akan mengejutkan semua orang
Bukalah mata, lihatlah bagaimana aku berlari,
Bagaimana aku berputar ke sisi yang lain
Aku akan meluncur seperti burung
Aku hanya ingin memiliki, seribu sayap untuk terbang
(Taare Zameen)

Saya mencari-cari, apa beda saya yang sebelum belajar Psikologi, dengan saya sekarang yang dua bulan lalu diwisuda. Tidak banyak beda sebenarnya, saya tetap tidak bisa menghindarkan diri dari berkhayal yang aneh-aneh, saya juga masih emosional dan larut terbawa suzana eh suasana, masih juga sering uring-uringan kalau-kalau merasa terdzolimi, padahal belum tentu. Kalau masalah pendengar yang baik, dari dulu-dulu sebelum belajar Psikologi juga udah gitu. Jadi dapat apa?
Alhamdulillah, saya menemukan sesuatu. Yaitu saya menjadi tidak mudah taking for granted, alias menyamaratakan, alias berpikiran yang gini itu pasti gini. Artinya, saya kalau ketemu yang janggal jadi suka mikir, eh masak sih gini, atau, kok dia bisa gitu kenapa ya? Karena dalam Psikologi, kami diajari untuk tidak mudah mengatakan “PASTI”, karena manusia makhluk yang tidak pasti, makanya banyak yang pemberi harapan palsu alias PHP, alias nggak pasti --___--“ #towewew
Di Indonesia tercinta ini, sayangnya manusianya suka memukul rata. Suka masti-mastikan sesuatu yang belum tentu seperti itu. Contohnya, pinter harus jago matematika, jadi dokter, kuliah di universitas keren. Karena menurut saya, Indonesia sukanya pakai metode kuantitatif. Apa yang jelas-jelas bisa ditakar, nilai matematika 90 misalnya, kan jelas. Bagus sih, tapi di sini tanpa sadar terjadi pendzoliman, penyisihan, peminggiran, kepada kaum-kaum yang nggak jago matematika (curcol xoxo).
Ada yang pernah melihat film Taare Zameen atau ada versi Indonesianya yang saya lupa judulnya apa? Entah, saya begitu sensitive kalo bahas anak-anak special. Bagi saya, dunia ini jahat kepada mereka. Pelabelan, pengucilan, mengatakan  bahwa mereka tidak punya masa depan. TT__TT Padahal mereka tidak pernah meminta dilahirkan demikian.
Ishaan, main character di Taare Zamee adalah penderita Learning Disabilities atau kesulitan belajar jenis Dyslexia. Learning Disabilities (LD) mudah menyebutnya, gangguan-gangguan neurologis yang mengakibatkan seseorang mengalami kesulitan dalam belajar, tapi mereka memiliki intelektual normal, alias mereka tidak retardasi mental, mereka tidak down syndrome, bahkan kadang mereka memiliki IQ di atas rata-rata.
Orangtua, guru, atau bahkan kita sendiri kadang lebih mudah mengatakan ‘malas’ atau ‘bodoh’ daripada kesulitan belajar. Tapi memang apa bedanya? Mereka memang menampakkan cirri-ciri sebagai anak demikian, kan? Sungguh, saya sangat setuju sekali dengan quote Yohanes Surya. “Tidak ada murid yang bodoh, yang adalah mereka yang belum mendapat kesempatan belajar dengan guru yang baik.” Kalau kamu merasa menemukan murid bodoh, periksalah metode mengajarmu, periksalah cara mendidikmu.
Bodoh, adalah label yang kejam. Ketidakmampuan kita mengarahkan atau menemukan metode yang membuat anak mengerti dan memahami menarik kita untuk lebih mudah melabelinya demikian. Sehingga pengajar atau orangtua yang mengatakan muridnya bodoh adalah telah gagal menjadi pendidik yang baik.
Akan lebih mudah menggambarkannya seperti ini. Jika ada segolongan orang di dunia ini menganggap bisa baca dan mengerti tulisan arab itu adalah pintar. Sedang anda tidak mengerti tulisan arab sama sekali apakah anda mau dikatakan bodoh?
Ini hanya membicarakan ukuran yang tak sama. Cara yang tak sama. Dan dunia yang begitu berwarna. Semoga kita selalu bisa meluaskan hati untuk menerima, menjernihkan mata untuk melihat. Banyak hal yang lebih dari sekedar kita pikirkan.
“Setiap orang itu jenius, namun jika anda menilai ikan dari kemampuanny memanjat pohon, dia akan meyakini sepanjang hidupnya bahwa dia itu bodoh”
_Albert Einstein

Agustus, 2014

Tidak ada komentar: