Jumat, 21 November 2014

Trampoline


Several weeks lately, saya dihadapkan perasaan-perasaan yang sukar didefinisikan. Tidak, ini bukan cinta. Juga bukan patah hati. Entah. Mungkin efek kalau di Blitar ndak ada teman yang berbagi banyak hal setiap waktu, seperti dulu di Surabaya. Mungkin efek siklus harian, kerja berangkat pagi, pulang sore, udah capek, ngantuk, habis itu ngasih les, baca buku dikit udah terlelap, besuk gitu lagi. Mungkin, ah masih mungkin dan mungkin.
Semacam otak saya dijejali pikiran-pikiran berat, pilihan-pilihan yang penuh konsekuensi, dan lagi, tidak ada teman sebaya untuk berbagi (Di tempat kerja, saya adalah terapis paling muda). Kesukaan aneh saya akhir-akhir ini adalah pulang dalam keadaan hujan, pake mantel, moment menyimpan sepatu di dalam jok motor, dan hanya berkendara dengan pakai kaus kaki. Aneh memang, ketika hampir semua teman-teman terapis saya mengeluh ini itu ketika mendekati jam pulang, I enjoy that moment. Saya terlanjur jatuh cinta pada hujan, no matter what!
Lain kesempatan, kadang waktu diem, di kamar, mikir macam-macam, ingat macam-macam, pada suatu ketika saya bisa nangis gitu aja (dasar sensitive!), atau ketika pikiran tiba-tiba melanglang ke beberapa tahun terakhir, jadi senyum atau ketawa sendiri. Entahlah, ini apa?
Saya meskipun seorang kakak tertua dalam keluarga, Abik tak pernah memposisikan saya dengan tanggung jawab besar seperti saya harus mengalah pada adik, saya harus membimbing adik, saya adalah orang yang siap teraniaya, tidak pernah. Ayah memposisikan semua anak sama, mungkin mereka sadar adik-adik saya tetap tanggung jawab mereka untuk memberi contoh, bukan saya sebagai kakak. Sehingga ketika seorang teman di asrama pernah kaget ketika tahu kalau saya anak pertama, sepertinya wajar. Seolah saya bisa menebak pikiran teman saya itu, anak pertama kok manja gini?
Nggak tahu kenapa, belakangan, saya jadi terlalu paranoid akan banyak hal. Saya takut sekali mengambil keputusan, saya sering seperti merasa terhakimi, dan terlalu banyak berpikir ketika hendak melakukan sesuatu. Saya seperti takut akan penolakan beberapa orang, dan saya tahu, ini bukan saya. Saya tidak pernah (atau barangkali saya lupa kalau pernah) takut tidak diterima seseorang, atau sekelompok orang, saya setidaknya di mata saya pribadi adalah orang yang cukup berani di lingkungan seperti apa pun. Saya pernah berteriak-berteriak memanggil polisi yang acuh ketika saya dan sahabat saya nita takut menyebrang (saya kena marah nita karena ini). Saya pernah survey partai politik keliling gang, saya pernah menjawab tanpa gentar anak-anak laki-laki di kereta yang terlalu banyak tanya dan menganggu. Intinya, saya bukan tipe orang yang takut di dunia baru. Lalu?? Entah.
Mungkin, saya belum siap jika harus selalu tampil baik, mungkin saya belum sepenuhnya siap untuk mengalah. Mungkin saya takut berpisah dengan Ibuk dan Abik. Mungkin, ah lagi-lagi hanya mungkin.
Tapi the other hand, saya menikmati segala proses belajar saya, membaca banyak hal, mendengarkan banyak hal, menjejali otak dengan makanan-makanan berat, biar bagaimana pun, otak saya harus belajar mencerna tekstur-tekstur agak kasar tak melulu lembut. Saya tahu, mungkin ini saatnya saya lebih banyak mendengarkan, tidak banyak protes seperti biasanya.
Dan entah, belakangan, sering seperti ada yang sedang bermain trampoline, siapa? hati.

Blitar, 22 November 2014

Tidak ada komentar: