Minggu, 24 Agustus 2014

Terimakasih, Gelombang


Dulu aku suka sekali berspekulasi, menerka-nerka, memperkirakan apa maksud Tuhan mengenalkanku padamu? Dia tentu memiliki maksud. Kini, aku sedikit menemukan titik terang pertanyaan itu. Kamu hadir untuk menyeimbangkan emosionalku dengan ketenanganmu.
Seperti sore ini, saat aku benar- benar merasa jengah membahas dunia, lelah mengejar -kejar target, saat aku merasa benar-benar hilang harapan. Aku ingin sekali menemuimu. Ya, kau adalah orang yang paling ingin kutemui saat aku jatuh. Entah mengapa, maaf. Aku hanya ingin duduk bersamamu di tepian pantai, mendengar kecipak ombak pantai sore yang sedang surut, dan menyaksikan opera matahari tenggelam.
Aku hanya ingin tubuhku menjadi ringan, dan segala kemelut masalah menguap pergi bersama matahari. Aku hanya ingin membicarakan hal-hal yang membuat kita tertawa damai, lalu menghindari apa-apa yang menimbulkan khawatir. Dan kau selalu saja berhasil dalam menciptakan suasana semacam itu.
Ada yang bisa kulakukan agar membuatmu tersenyum?” Katamu, detik itu juga, sebenarnya aku sudah ingin tersenyum tersebab perkataanmu, tapi sesuatu yang berat membebani kepalaku hingga terasa sulit bahkan untuk mencuatkan sedikit senyum.
Gunakan kekuatanmu, atau jurus apa saja untuk menghentikan waktu. Aku ingin menikmati waktu seperti sekarang lebih lama. Peristiwa senja yang lebih lama, kecipak ombak yang tenangnya lebih lama. Aku malas untuk kembali pada dunia nyata dengan himpitan tugas-tugas dan target yang mencekik.” Jawabku. Kau tidak menoleh, tapi aku tahu, kau mendengarkanku.
Siapa yang membuat target itu?” Tanyamu.
Aku.
“Berharap itu wajar, bermimpi itu perlu, berdoa itu harus, yang terpenting dari semua itu adalah penerimaanmu atas segala keputusan Tuhan.” Katamu tenang. Aku menoleh ke arahmu yang masih saja tenang. Aku penasaran, bagaimana caranya kau bisa semenenangkan itu?
Kalau mimpi lantas membuat kau merasa hebat, kau meremehkan Tuhan. Kalau kau berdoa lalu kau merasa bangga doamu terkabul, itu bisa menimbulkan sombong, kau merasa yang paling khusyu’ padahal siapa tahu doa yang terwujud itu bukan doamu, tapi doa ibumu, bapakmu, gurumu, atau teman-temanmu. Jangan membiarkan mimpi menggeser tempat Allah di hatimu.” Lanjutmu.
Kau benar. Kau selalu ada benarnya. Sekarang aku tahu, mengapa adalah kau yang paling ingin kutemui ketika aku dalam masalah.
Terimakasih sudah menemaniku. Terimakasih sudah menasehatiku.” Kataku beranjak berdiri.
Tidak ada yang salah dengan mimpimu, teruslah berdoa dan jangan lupa berusaha. Ingat, berdoa dulu, lalu sempurnakan dengan usaha. Hanya satu kekuranganmu.” Kamu ikut berdiri. Aku menoleh, apa? “Bersabar dan tawaqal. Tawaqal itu tidak banyak protes kepada Allah. Nurut.” Aku tersenyum, lagi-lagi kau benar.
Mengapa lagi-lagi kau benar. Terimakasih sekali lagi, untuk pernah ada.
Aku mulai melangkah, meninggalkanmu yang sepertinya tak ingin beranjak. “Ada satu hal yang ingin ku bilang padamu, Pasir.” Teriakmu, aku berbalik.
Apa, Gelombang?” Tanyaku.
Senang melihatmu bertumbuh.


#fiksi
Blitar, 24 Agustus 2014

2 komentar:

Uddhani mengatakan...

“Berharap itu wajar, bermimpi itu perlu, berdoa itu harus, yang terpenting dari semua itu adalah penerimaanmu atas segala keputusan Tuhan.”

Suka sekali dengan kalimat ini :) semangat terus menulis ^^

jalan-jalan ke blogku juga dong. mohon komennya yaah ^^

http://diirumahkata.blogspot.com/2014/08/boleh-lahir-dari-telur-yang-sama-tapi.html

Futri Zakiyah Darojat mengatakan...

terimakasih, salam kenal :')
tunggu, aku akan segera berkunjung :)