Selasa, 16 April 2013

Paddington : Elegi


Kubanting tumpukan kertas itu sambil menangis, perkataan professor Gerald masih mengiang – ngiap “Are you sure that you’ve brought out your best? certainly, I will always be patient to wait your best really figure out of you. repair it!” Mengapa bapak gendut itu selalu merasa ada yang tidak sepurna dari tulisanku, ini tulisan kelimaku, dimana satu tulisan bisa aku kerjakan dalam lima hari tidak tidur. Kacau !
Lagi – lagi aku hanya terdiam, kuusap bekas – bekas airmata yang awalnya tak kupedulikan, Fisher hari itu tampak sedikit lebih sepi dari biasaynya, sehingga kupikir aku lebih leluasa mengekspresikan kesedihan. Melihat tumpukan file di depan mata semakin membuat sakit hati, akhirnya aku hanya diam mematung menatap jendela luar gedung perpustakaan Fisher.
Kepalaku terlalu pening untuk berdiri, hanya duduk diam (tepatnya bengong) tanpa melakukan apa pun di perpustakaan sesibuk Fisher adalah konyol. Akhirnya kupejamkan mataku untuk menyeimbangkan tubuh agar tak jatuh ke meja. “Library is not a place to sleep.” Suara dari meja sebelah mengagetkan, Salman? sejak kapan ia duduk di sana. Entah, aku seperti salah tingkah, banyak sekali kekonyolan yang baru saja kulakukan, membanting tumpukan file, menangis seperti orang bodoh, bengong, menutup mata hingga terlihat seperti tertidur.eerrrr
“Sejak kapan kau di situ?”
“Sejak sebelum kau datang.” jawabnya tanpa berhenti mengetik. “masalah itu bukan untuk ditangisi, apalagi itu sebuah projek yang menuntut waktu. kau menangis justru menambah masalah.” Ia bekata entengnya seolah tak pernah menghadapi masalah.
“Kau tidak tahu masalahku.”
“Yah…kau tidak usah bercerita, tumpukan file akan sangat menjengkelkan setelah kerja seminggumu kemarin sama sekali tak dihargai.”
“Kau hanya belum pernah merasakan penolakan, kau begitu mudah berkata begitu karena perjalananmu selalu mulus. Dengan mudah menerima surat approval tanpa perlu jatuh bangun, tanpa perlu bersusah payah berpikir karena otakmu cerdas, sehingga kau dengan mudah berkata bahwa aku cengeng.”
“Yah…Tuhan memang hanya memberi  masalah pada kau seorang.” deg, kalimat itulah yang membuatku terdiam, ini perkataanku seolah akulah di dunia ini satu – satunya orang yang mempunyai masalah.
“Bukan begitu maksudku…”
“Kalau kau terbiasa menangis ketika menerima masalah, kau akan melakukannya lagi jika masalah itu datang lagi. Kau berpikir aku tak pernah menerima masalah, itu sangat wajar karena manusia seringkali ingin menjadi orang lain.” Salman membenarkan letak duduknya, kemudian mengeluarkan sebuah amplop. “Tawaran beasiswa doctoral, kau mau?”
Hips, aku nyaris terjatuh jika tak berpegang pada meja. Lanjut Salman “Kalau kau mau, ambilah. Aku belum ingin.”
“Konyol, tidak mungkin aku mengambilnya.” kami masih terus bercakap – cakap dari seberang meja. sejenak aku terlupa file – file sialan tadi.
“Mereka membeliku, memintaku untuk mengerjakan tumpukan file yang akan membuatku menjadi gila setiap hari lalu menukarnya dengar selembar kertas ini.”
“Tapi kau menolak dan menghindari masalah itu.” Tantangku kemudian, aku tahu Salman pasti mempunyai alasan diplomatis untuk menolak tawaran itu, aku hanya mencoba memancing apa yang tidak ia katakan.”
“Sudahlah…kerjakan projekmu.”
“Aku bukan bermaksud apa – apa, tapi sepertinya Tuhan sayang sekali padamu.”
“Kau tidak mengenalku.”
“Mungkin aku tak setegar kau, karena bagiku semua ini baru. Aku anak ayah yang sering menangis malam – malam karena tidak bisa tidur dan ingin pulang, aku mungkin tidak sekuat kau, untuk tetap terjaga berhari – hari dengan tumpukan file mengenaskan. Aku hanya ingin usahaku sedikit berhasil dan mengalami kemajuan, setelah aku hampir setiap hari meminum dua cangkir kopi agar mataku bertahan, menghabiskan waktu berjam – jam di perpustakaan yang membuatku seperti penderita wazir, melahap ratusan bahkan ribuan. Aku hanya merasa, apakah yang kurang yang kulakukan, apakah Tuhan tidak melihat usahaku.” Sialannya, aku menangis lagi, Salman hanya diam, kali ini dia berhenti mengetik, telunjuknya mengetuk – ketuk tanda ‘enter’ berulang – ulang, entah apa maksudnya.
“Waktu itu…” Kata Salman, “Malam ketika aku melihat ibu memijiti punggung ayah, lalu gemeretak dari dari atap mengagetkan kami, aku pikir getaran biasa seperti  saat fuso – fuso pengangkut kelapa itu melewati jalan tanah depan rumah kami, tapi gemeretak itu kian menguat hingga aku merasakan beberapa patahan genteng mengenai keningku, semua hanya sekejap – tidak sampai satu menit…Lalu aku terbangun duaminggu kemudian dengan kepala penuh perban, setiap aku menangis ingin pulang, ibu membawakanku majalah bekas tentang gambar rumah, ibu selalu bilang rumah kami akan diganti oleh Allah dengan yang seperti di gambar itu. ibu bilang “Tapi kamu sendiri Man yang membuatnya, kamu mau kan membuatkannya untuk ibu.” Mata Salman menerawang, ada yang mulai basah di hatiku, Lanjut Salman “ Dan yang teramat menyakitkan ketika ayah berkata untuk terakhir kali sembari memegang tanganku, Buatkan rumah yang bagus untuk ibumu. Sejak itu, bahkan bukan menjadi menggebu untuk belajar merancang bangunan, aku sangat teramat membenci pekerjaan merancang, karena hanya mengingatkanku pada kematian ayah. Hingga suatu saat ibu berkata, “Berjuang itu tentang sesuatu yang kau benci yang kau mengubahnya menjadi kawanmu.” Yah seperti seperti yang sering ku katakana padamu, sehingga setelah itu tugasku adalah bekerja keras untuk sesuatu yang kubenci.”
“Kau benar,” Jawabku, “Aku harus bekerja lebih keras, apalagi ini untuk sesuatu yang kucintai, bukan ku benci.”
Lalu Salman tersenyum, kemudian menunjukkan sketsa sebuah jembatan. “Simpan sebagai kenang – kenangan, jangan di jual.” katanya kemudian.
“Kau serius menolak tawaran itu?”
“Kupertimbangkan lagi. Aku ingin pulang, ingin menikah.” tawanya meledak mengakhiri kalimat.

Tidak ada komentar: