Rabu, 12 Februari 2014

Termenyebalkan

Adalah situasi termenyebalkan. Saat beberapa orang yang bahkan kau mempercayakan hidupmu pada mereka pun tak mempercayaimu. Ter-me-nye-bal-kan. Tapi aku tak akan marah, karena Ayah tak pernah mengajariku menghadapi sesuatu dengan amarah. Tak kan selesai, kata Ayah. Selain itu. Aku tak mau marah. Aku marah dengan menangis. Sehingga saat marah aku terlihat lemah.
Adalah situasi termenyebalkan. Tapi bukankah yang paling menyebalkan kadang menjadi yang paling kita ingat beberapa tahun nanti. Semoga saja. Ada kebaikan di sela kata "termenyebalkan". Semoga Tuhan memberi ampunan mereka. Aku tak marah, untuk Ayah yang tak pernah mengajariku menghadapi sesuatu dengan amarah.
Aku cinta kalian. Semoga kalian mengerti. Aku tahu kalian juga mencintaiku, meski dengan cara yang kurang ku mengerti. Aku hanya ingin kalian percaya. Sekali lagi, aku cinta kalian.

Minggu, 09 Februari 2014

teman perjalanan


Hidup memang seperti perjalanan. Naik kereta, bus, pesawat, atau perjalanan lain, dari satu tempat ke tempat yang lain yang kita awali dengan gerakan kaki : melangkah. Dalam kehidupan : dalam perjalanan dalam kendaraan apa pun (kecuali kendaraan pribadi), membuat kita mengenal teman duduk untuk menikmati perjalanan, mereka di kirim Allah kadangkala tanpa kita bisa memilih, tanpakita bisa duga sebelumnya. DEngan tujuan, agar kita memiliki tempat melepas jenuh, agar memiliki lawan untuk mengomentari pemandangan yang kita lihat melalui jendela kaca.
Begitu juga teman hidup (dalam konteks apa pun), kita kerap tidak memiliki pilihan. Sehingga seperti apa pun mereka, kita harus terima. Seburuk apa pun sifat mereka, semenyebalkan apa pun, atau setidakenak apa pun. Harus tetap kita terima.  Mungkin ini sulit, tapi tahukah kalian, kekurangan / sifat buruk/ hal yang tidak kita sukai itu kadang menjadi tambang amal bagi kita. Untuk mengajarkan kesabaran, untuk memperkuat keikhlasan, dan memurnikan ketulusan. Tentu ada yang lebih besar dari itu semua, membaikkan sifat buruk mereka.
Setiap orang memiliki kekurangan. Begitu juga diri kita. Ada kala kita membenci sikap buruk orang, ada orang lain lagi yang membenci sikap buruk kita. Hidup selalu egitu dari dulu. Mari saling memahami. Kekurangan bukan untuk dibenci, tapi dipahami lalu diperbaiki.

Surabaya, Futri Zakiyah D

Kamis, 06 Februari 2014

Jika Istrimu Seorang Terapis Anak Difabel


Aku anak perempuan Ayah, berusia duapuluhsatu dan teramat menyukai dongeng-dongeng. Engkau calon suamiku, ada sedikit cerita tentang diriku. Aku biasa, sebiasa dandelion kecil jika kau bandingkan dengan rangkaian daisy, tapi kuharap aku akan menjadi bagian yang tak biasa dari dirimu yang luar biasa.
Awalnya, aku pikir Tuhan sengaja menjebakku masuk ke dunia kejiwaan (Psikologi). Hal ini karena Dia menakdirkan orangtua kesayanganku tak menyukai sastra seperti caraku. Dan bagiku tak mungkin menolak permintaan dua orang yang tidak pernah berkata tidak padaku. Yah, mungkin aku bisa mencintai sastra dengan cara yang lain.
Namun seperti Caroll meletakkan Alice di Wonderland, Tuhan menjebakku dengan cara luar biasa indah, aku tiba-tiba jatuh cinta pada Psikologi, seperti caraku jatuh hati pada membaca dan menulis. Aku menikmati moment-momentku bersama anak-anak yang diciptakan Tuhan dengan cara special. Mungkin bagi orang lain tidak ada yang menarik ketika bermain dengan mereka yang bahkan tak menganggap kehadiranmu, tidak menangkap lemparan bolamu, tidak tertawa jika kau gelitik. Tapi sungguh, memeluk dan mencium mereka adalah hal terindah bagiku.
Aku termasuk satu dari sepersepuluh teman-temanku yang berminat pada tumbuh kembang anak. Jadi ketika banyak teman-teman yang menguasai cara memahami orang dewasa, aku lebih ingin memahami anak-anak yang ketika mereka normal saja susah dipahami. Kau setuju ini? Kuharap iya.
Sebagai terapis, mungkin nantinya aku akan sering melakukan home visit anak-anak difabel, dan aku ingin sekali dua, kau menemaniku bermain bersama mereka, mengajak mereka ke supermarket, atau jalan-jalan ke kebun kota, kau tak keberatan kan?. Mereka mungkin terlihat aneh bagimu, tak menjawab sapaanmu, tak pernah mau menatap matamu, berlarian mengejar capung, melihat kipas angin seperti melihat alien, menangis dan tertawa tanpa sebab. Yah itulah cara mereka. Kau tak keberatan kan mengizinkan mereka berjalan bersama kita dan anak-anak nanti?
Aku mafhum jika kau ingin aku menjadi istri yang lebih pintar, dan aku juga tak menyalahkan ketika kau ingin aku meningkatkan kualitas diri dengan pekerjaan yang lebih baik dari sekedar mengajari anak down syndrome tentang toilet training. Aku mengerti, ketika nantinya kau lebih suka aku sebagai istri yang berpakaian rapi sedang aku berangkat bekerja dengan kaos lengan panjang. Tapi seperti yang kubilang tadi, aku sebiasa ini, berlarian mengejar kupu-kupu bersama anak-anak autis atau menangkap anak hyperactivity disorder yang naik ke atas bangku.
Tapi kau tak perlu khawatir, seberapa pun aku mencintai anak-anak special itu, aku tak akan membuat anak-anak kita merasa kehilangan ibu mereka. Aku akan mencintai mereka lebih, menceritai mereka tentang cerita-cerita lama, agar kelak mereka menjadi Alfatih yang tangguh, Tariq Bin Ziyad yang luar biasa berani, Atau Abdurrahman yang yang teramat dermawan.
Seperti itulah, aku menyukai cara-cara sederhana untuk bahagia dengan orang-orang yang kucintai. Aku nantinya mungkin sering bercerita denganmu dengan menggebu-ngebu bahwa aku ingin setangguh Mulan, sejelita Rapunzel, atau kadang berpikiran konyol untuk menjadi Tinkerbell dan kau  memintamu menjadi Peterpan lalu kita mampu melarikan diri ke Negeri Tak Pernah Tua (Neverland) *jangan terkejut ya nanti.
Itulah hidupku, seperti yang tadi kubilang, aku biasa, sebiasa dandelion kecil jika kau bandingkan dengan gerombolan daffodil kuning, tapi aku harap menjadi bagian yang tak biasa dari dirimu yang menurutku luar biasa.

(Tulisan ini diikut sertakan dan termuat dalam project #CeritaJika http//kurniawangunadi.tumblr.com)

Selasa, 04 Februari 2014

beautiful packages suddenly come


There was a romantic story to emerged as a beautiful answer from God, It occurred several days ago after I posted a story in my beloved blog titled “Ya Allaaah :’( “. Lol, it was like a hopeless posting. In that story I told that I was on unmood circumstances and wrote “ Oh Allah, What’s wrong with my dreams?  am I wrong with that? and the side of being mellow invasions me : crying.”
But, guess what?? what happens after that? several minutes (around five or ten minutes) leter  someone gave me a call. whom called me? Oh I shocked up. The editorial staff of annida magazine confirmed that my short story will publish on their magz. Oh God?? Speechless, I just kinda touched by that. It would be my first short story that will be read by thousands person. Oh God, Oh God. Huge Thanks for making one of my dreams being true.
Then I controlled my self to not much being happy. Hufff….i lied on my bed and still smiled, awaked and continued my surfing. Suddenly, I opened my siakad (Information Academic System) and what occurs???Tam Taraaam the second package from God had come. I stared at the monitor and shocked when found the result of my examination. There was nine characters ‘A’ among of my ten classes I took. Oh God, you answered my praying with a beautiful way.
God always gives us many romantic stories, so just be patient person who waits that. And look! one by one of your dreams become true. Just be patient and keep praying.

Senin, 03 Februari 2014

Mereka Istimewa dengan cara


Aku istimewa, kamu istimewa, mereka , dan kita semua istimewa. Ketika kita percaya bahwa Tuhan itu maha adil, seharusnya secara otomatis bahwa kita juga percaya bahwa setiap manusia itu istimewa. Karena Tuhan membagi keistimewaan pasti merata. Merata bukan sama atau serupa, tapi semua dapat. Ini alasan saya berkata demikian, jika manusia yang bermilyar-milyar ini diciptakan berbeda (sekalipun kembar), tentunya ada satu hal yang membuatnya unik atau berbeda dengan orang lain. Di situ istimewanya, kita menjadi istimewa ketika menjadi diri kita, karena manusia istimewa dengan cara mereka.
Namun, sungguh makhluk apa yang lebih bebal dari manusia, manusia sering kurang menghargai keunikan setiap manusia lain. Semestinya karena berbeda, manusia berbeda pula apa yang mereka pakai, namun kita, si manusia yang selalu sok benar ini kerap kali memaksakan manusia lain harus istimewa menurut cara pandang kita, entah mereka gemuk, entah kurus, tinggi, kecil, kita memaksa saja mereka memakai ukuran kita. entah kulit mereka hitam, coklat putih, kalau menurut kita merah adalah warna yang sempurna, jatuhnya jadi kedholiman ketika memaksa yang berkulit sehitam arang memakai baju semerah darah, jadi seperti kepik raksasa nantinya.
Standart kita denga standart orang lain berbeda, inilah kenapa di dunia ini dibutuhkan penghargaan terhadap orang lain. Orang lain membaca buku yang berbeda dengan kita, bergaul dengan orang berbeda, makan makanan yang berbeda, dan melihat hal-hal berbeda pula. Sehingga wajar bila mereka memiliki pikiran, prinsip, tingkah laku yang berbeda pula. Bagi kita mungkin salah, tapi bagi mereka itu benar. Sehingga dalam usaha mengajak kearah kebaikan tugas kita hanya sebatas mengajak, bukan merubah.
Dalam suatu kala, dalam dunia cerita mungkin kita perlu menempatkan diri menjadi orang ketiga pelaku utama. Meletakkan diri di posisi orang lain, melihat pertimbangan seseorang dan melihat bersama-sama, setiap orang memiliki sesuatu yang mereka perhitungkan. Semoga kita dapat bersama-sama belajar menjadi pribadi lebih baik.

Surabaya, 11:18 pm
Futri Zakiyah Darojat

Minggu, 02 Februari 2014

i want to love you humbly


I want to love you humbly
like the unspoken word by the wood
to the fire that burned it to ashes
I want to love you humbly
like the unspoken sign by the cloud
to the rain that dismissed it
(Sapardi Djoko Damono)

           Sapardi mengajarkan pada kita, cinta itu sederhana saja. Ada syarat tapi tak banyak, dan itu pun sederhana. Ada pertimbangan tapi tak sulit, itu pun juga sederhana. Katanya, seperti isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Tiada? bukan tiada secara harfiah menghilang, tapi menurut hemat saya ketiadaan yang merujuk pada humbly (dengan kerendahan hati) dan unselfishly (tidak mementingkan diri sendiri) atau telah meniadakan ego pribadi.
            Kesederhanaan membuat kita berbahagia tanpa banyak syarat. Dan bukan berarti kesederhanaan adalah hal murahan yang tiada harganya, namun justru hal-hal sederhana yang menimbulkan kebahagiaan adalah banyak hal yang tak terbeli dengan uang. Berilah satu nama, kenyamanan. Adakah kenyamanan hanya dilabelkan untuk kendaraan mewah, apartemen bintang lima, atau perjalanan kelas eksekutif. Jika seperti itu, ilmuan akan segera merilis sebuah kesimpulan. Yang berhak berbahagia adalah mereka yang kaya raya. Oh it’s not fair, is it? Sedang justru secara ilmiah, The New Economic Foundation sebuah lembaga kajian ekonomi USA mempunyai sebuah temuan  tentang hidup bahagia. Dengan Menggunakan Indeks Planet Bahagia ditemukan sebuah hasil bahwa negara yang memiliki indeks planet bahagia justru negara kecil seperti Vanuatu, bukan negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia, Jerman.
            Setelah search di google, ternyata Vanuatu itu juga bagian dari benua Amerika yang masih belum terjaman westernitas dunia barat. Dimana seluruh aktivitas mereka adalah secara tradisional. Dan kajian ekonomi USA mengakui bahwa mereka orang paling bahagia, kemana kerennya gadget dan mobil mewah membawa para pemujanya kiranya?
            Ini pendapat saya pribadi, materi memang penting. Sepenting kesan pertama bertemu seseorang. Penting, namun belum utama. Banyak hal memang lebih mudah jika semua hal tercukupi. Namun, life is not that easy. Masalah justru bermunculan ketika kita mengutamakan materi. Karena itu, alangkah membahagiakan bila materi menjadi sarana untuk hidup, bukan menjadi tujuan hidup. Sehalnya dengan, ambil contoh pesawat. Pesawat adalah alat untuk ke luar kota (misalnya), sehingga gunakan pesawat sebagai sarana, bukan keluar kota harus memakai pesawat sehingga yang ada hanyalah bermunculan penyakit hati jika tak kesampaian naik pesawat.
            Banyak hal yang tentunya sulit membuat kita (terutama yang nulis) untuk mencoba hidup sederhana, tapi tidak pernah ada perjalanan berkilo meter tanpa tikungan pagar depan rumah, marilah keluar sedikit, untuk belajar bersama-sama tak memandang segalanya dari materi, untuk bersederhana dalam bersikap, untuk tak menjadikan materi sebagai tolok ukur segala sesuatu.

Surabaya, 020214