Kamis, 06 Februari 2014

Jika Istrimu Seorang Terapis Anak Difabel


Aku anak perempuan Ayah, berusia duapuluhsatu dan teramat menyukai dongeng-dongeng. Engkau calon suamiku, ada sedikit cerita tentang diriku. Aku biasa, sebiasa dandelion kecil jika kau bandingkan dengan rangkaian daisy, tapi kuharap aku akan menjadi bagian yang tak biasa dari dirimu yang luar biasa.
Awalnya, aku pikir Tuhan sengaja menjebakku masuk ke dunia kejiwaan (Psikologi). Hal ini karena Dia menakdirkan orangtua kesayanganku tak menyukai sastra seperti caraku. Dan bagiku tak mungkin menolak permintaan dua orang yang tidak pernah berkata tidak padaku. Yah, mungkin aku bisa mencintai sastra dengan cara yang lain.
Namun seperti Caroll meletakkan Alice di Wonderland, Tuhan menjebakku dengan cara luar biasa indah, aku tiba-tiba jatuh cinta pada Psikologi, seperti caraku jatuh hati pada membaca dan menulis. Aku menikmati moment-momentku bersama anak-anak yang diciptakan Tuhan dengan cara special. Mungkin bagi orang lain tidak ada yang menarik ketika bermain dengan mereka yang bahkan tak menganggap kehadiranmu, tidak menangkap lemparan bolamu, tidak tertawa jika kau gelitik. Tapi sungguh, memeluk dan mencium mereka adalah hal terindah bagiku.
Aku termasuk satu dari sepersepuluh teman-temanku yang berminat pada tumbuh kembang anak. Jadi ketika banyak teman-teman yang menguasai cara memahami orang dewasa, aku lebih ingin memahami anak-anak yang ketika mereka normal saja susah dipahami. Kau setuju ini? Kuharap iya.
Sebagai terapis, mungkin nantinya aku akan sering melakukan home visit anak-anak difabel, dan aku ingin sekali dua, kau menemaniku bermain bersama mereka, mengajak mereka ke supermarket, atau jalan-jalan ke kebun kota, kau tak keberatan kan?. Mereka mungkin terlihat aneh bagimu, tak menjawab sapaanmu, tak pernah mau menatap matamu, berlarian mengejar capung, melihat kipas angin seperti melihat alien, menangis dan tertawa tanpa sebab. Yah itulah cara mereka. Kau tak keberatan kan mengizinkan mereka berjalan bersama kita dan anak-anak nanti?
Aku mafhum jika kau ingin aku menjadi istri yang lebih pintar, dan aku juga tak menyalahkan ketika kau ingin aku meningkatkan kualitas diri dengan pekerjaan yang lebih baik dari sekedar mengajari anak down syndrome tentang toilet training. Aku mengerti, ketika nantinya kau lebih suka aku sebagai istri yang berpakaian rapi sedang aku berangkat bekerja dengan kaos lengan panjang. Tapi seperti yang kubilang tadi, aku sebiasa ini, berlarian mengejar kupu-kupu bersama anak-anak autis atau menangkap anak hyperactivity disorder yang naik ke atas bangku.
Tapi kau tak perlu khawatir, seberapa pun aku mencintai anak-anak special itu, aku tak akan membuat anak-anak kita merasa kehilangan ibu mereka. Aku akan mencintai mereka lebih, menceritai mereka tentang cerita-cerita lama, agar kelak mereka menjadi Alfatih yang tangguh, Tariq Bin Ziyad yang luar biasa berani, Atau Abdurrahman yang yang teramat dermawan.
Seperti itulah, aku menyukai cara-cara sederhana untuk bahagia dengan orang-orang yang kucintai. Aku nantinya mungkin sering bercerita denganmu dengan menggebu-ngebu bahwa aku ingin setangguh Mulan, sejelita Rapunzel, atau kadang berpikiran konyol untuk menjadi Tinkerbell dan kau  memintamu menjadi Peterpan lalu kita mampu melarikan diri ke Negeri Tak Pernah Tua (Neverland) *jangan terkejut ya nanti.
Itulah hidupku, seperti yang tadi kubilang, aku biasa, sebiasa dandelion kecil jika kau bandingkan dengan gerombolan daffodil kuning, tapi aku harap menjadi bagian yang tak biasa dari dirimu yang menurutku luar biasa.

(Tulisan ini diikut sertakan dan termuat dalam project #CeritaJika http//kurniawangunadi.tumblr.com)

Tidak ada komentar: