Tampilkan postingan dengan label my fam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label my fam. Tampilkan semua postingan

Jumat, 19 September 2014

Merindu Kalian


Jarak telah melakukan tugasnya dengan sempurna. Menjelaskan banyak hal yang sebenarnya ada namun tak terlalu kita sadar, cinta misalnya. Menyatakan siapa-siapa di dunia ini yang ingin kutemui, yaitu kalian. Jarak membuatku berpikir, empat tahun mengenal kalian serasa belum ada yang kita lakukan. Candaan, saling menganiaya, cemoohan, ke-alay-an. Sulit dijelaskan. Aku gombal banget ya? Ya kalian benar, haha mungkin tipe-ku memang penggombal seperti ini. Tapi aku selalu menggombal dengan tulus kok :P :P :P
Bully-bully-an dengan mimin, saingan alay bareng Nike, cerita sampai berbusa dengan Faiza, ngendon sampe ketiduran di perpus sama Bekti, ngabisin sekarung jajan sama Nita, dianiaya adek-adek (mentang-mentang PJ rumah dianiaya), Mifta, Kania, Nova yang bawel. Kak Diah yang memiliki tensi suka cerita sederajat sama saya, haha. Kak Ita, teman galau. Mamams Andrew, yang nganggap Futri sudah kayak anak, diewer-ewer kemana-mana, dinasehati. Mama Kenty, Ibuk pertama di Surabaya, yang sering berantem sama Futri tapi habis itu suka cium dan peluk. Dan Mbak Dewi, aaah speechless. Pengen peluk mereka satu-satu. Pengen nangis hu hu hu.
Ingat perjuangan di Surabaya. Diobrak-obrak Mbak-mbak buat rapat, dan sering ngeles. Jalan kaki ke kampus panas-panas sama Bekti sambil ngambilin Kw-annya dandelion, dan aku kena omel karena ngerusak lingkungan katanya. Ngeloyor nge-mall sama Faiza. Kemudian jadi penanggungjawab rumah, ngerasain gimana rasanya diabaikan ketika nyuruh-nyuruh. Gimana muntah-muntah bersihin eek tikus. Pernah kita se-tim rapat sampe jam 23.00 dan besuknya ujian semester. Semuaaaaa, bisakah terulang sekali saja?
Dan jarak, telah mencerai-beraikan kita :( . Mungkin saya yang harus mendewasa, orang-orang memang datang dan pergi, bukan untuk tinggal lama.
mina, nit nut, ije, me, lucy, epi

keluarga Khansa

Blitar, 18 September 2014

Senin, 16 Juni 2014

PRIA SEJUTA PESONA : AYAH



Aku ingat hari saat kau mengajariku tentang kepercayaan dimana tak ada satu pun pemberi kepastian.
 Aku ingat hari dimana seringkali tak ada yang dapat ku lakukan selain menghapus airmata lalu kau mengajariku menghadapi seorang pembunuh bernama kenyataan
aku ingat hari saat aku sangat ingin berlari menujumu, memelukmu sambil menangis  dan mengatakan “aku ingin menyerah.”
aku ingat hari dimana kau menggenggam erat jemariku dan mengatakan “semua akan baik – baik saja”
aku ingat hari dimana dengan tiba – tiba rasanya ingin belajar bermain sepeda seperti dulu  denganmu,  Ayah
dan hari ini pun aku ingat, aku telah menua…
Kau bilang “kau masih gadis kecilku.”
sungguh Ayah, aku ingin mengatakan, “Andai aku selalu menjadi gadis kecilmu.”
dan Kau menjawab, “Ya, kau bisa.”
Lalu kita terdiam, karena sadar akan satu hal. Seberapa pun usahamu membela perkataanku, waktu akan tetap menculikku untuk menua.


Ini, surat kesekian yang ku tulis untukmu, Ayah. Bagiku berlembar-lembar pun tak pernah cukup mewakilinya. Hari ini aku memutuskan untuk tak menelfonmu, karena aku tahu, aku tak bisa menyembunyikan sifat kekanakanku ketika merindumu : menangis. Ayah, andai ungkapan ini mewakili. Aku ingin mengatakan dengan lugas, bagaimana kau begitu membentuk di hatiku.

Ayah, kau pahlawan yang mengajariku menjadi pahlawan untuk diriku sendiri. Selalu mengatakan “Tidak apa-apa” berkali-kali ketika aku terjatuh. Mengajariku berani terluka untuk menguat, mengajariku menjadi gadis pemberani meskipun berdiri sendiri, karena kau tahu, kau tak selamanya bisa melindungiku dari teman-teman yang membuatku menangis. Aku belajar semua darimu, Ayah. Kau tak memberiku pundak ketika aku dalam kesempitan, karena kau tau, lantai sujud selalu lebih lapang dari pundak siapa pun. Kau selalu mengatakan “Bersujudlah.”

“Kalau rindu jangan minta bertemu, berdoalah. Karena bertemu tidak menyelesaikan rindu.” Kau paling tahu, aku pengeyel yang keras kepala, tapi aku juga tahu, kau selalu bisa membuatku diam dengan caramu, dengan ketegasanmu yang lembut. Ayah, apa pun kau, selalu terlihat memesona di mataku, dengan noda hitam bekas  matahari di muka dan punggung tanganmu, dengan setelan kemeja dan celana kain yang tidak matching dan merusak penglihatan, bagiku kau tetap memesona adanya.

Hingga baris tulisanku yang ini, aku tetap tidak yakin ini mewakili, buncah-buncah bangga dalam hati karena engkau kumiliki. Mungkin aku belum mampu membanggakanmu, seperti orang lain membanggakan Ayah mereka. Tapi ada janji di hatiku, Ayah, yang sejauh ini menjadi pengingatku, yang sajuh ini menuntunku, senyampang aku belum mampu membanggakanmu, aku berjanji tidak akan menjadi sebab atas deritama.

Semoga Allah selalu menyayangimu, Ayah. Mencintai keluarga kecil kita. Membarakahi dengan limpahan bahagia. Sekali lagi, terimakasih untuk inspirasi-inspirasi yang kau beri, terimakasih membiarkanku belajar diam-diam darimu. Dan maaf untuk banyak yang seharusnya, namun belum terjadi.
Salam cinta, titip rindu juga untuk Ibu.

Putrimu.

Surabaya, 15 Juni 2014

Minggu, 22 Desember 2013

Ibuk, Apa Kabar? Aku Baik


Buk, apa kabar? Aku baik.
Ada hal yang sukar kujelaskan. Sekarang saat usiaku bukan kanak-kanak lagi. Aku malu untuk menelponmu lalu mengatakan selamat hari Ibu dan mengirimkan bingkisan seperti yang biasa kulakukan tahun-tahun sebelumnya. Aku malu begitu saja, karena tiba-tiba aku sadar. Jangan-jangan bukan hal itu yang sebenarnya kau harapkan dariku, bukan sekedar bingkisan berisi jilbab atau kalimat sayang melalui telepon. Ada sesuatu yang pasti kau sembunyikan dari setiap anggukanmu atas setiap permintaanku, ada harap disana. Kau ingin melihatku melakukan hal yang membanggakan hingga dengan itu kau akan menangis bangga dan mengatakan “Dia anakku. dia anakku.”. Tapi kau diam Ibu, kau tak mau membebaniku dengan inginmu. Sehingga terkadang, ketika aku gagal kau akan tersenyum lalu mengatakan “Tidak apa-apa, lain kali pasti bisa.”
Ibu, saat ini aku hanya mampu berucap maaf. Atas banyak salahku mengecewakanmu. Atas kurang usahaku membanggakanmu. Maaf Ibu. Terimakasih untuk segalanya. Meski tanganmu sekarang tak sekuat dulu. Meski rambutmu memutih. Bagiku, kau lebih besar dari apa pun, dan lebih kuat dari siapa pun. Selamat Hari Ibu.


Rabu, 30 Oktober 2013

Grazias Allah


melihat bintang alangkah jauhmu
melihat biru alangkah dekatmu
melihat hutan, melihat gunung
siapamenjagamu….
Allah.
(Opick, Taffakur)

Kemudian Allah menitipkan kita pada suatu tempat, lalu kita menyangkakan keburukan di dalamnya. Padahal hanyalah, kita tidak mengetahui. Apakah pesan yang disampaikan Allah lewat segala tanda alam yang ia cipta. Kemudian kita terbentur pada suatu mata pelajaran sabar, lantas sejenak menyadari bahwa segala luka adalah membawa energi penguatan. Membawa yang lemah menuju kuat, membawa yang rapuh menjadi kokoh, memupuk yang layu menjadi bersemi. Hanya saja, manusia selalu terlambat menyadari dan berucap syukur.
Semua hal yang terlalu menyesakkan, andai kita menyisakan ruang pemahaman, disana selalu ada penjelasan. Lalu semua berakar hanya satu tunggak, bernama ketidaktahuan. Ketidaktahuan melahirkan kecurigaan, beranak pinak menjadi kecemburuan, kedengkian, lalu kekufuran. Allah, maafkan, kami terlalu sering berburuk sangka padaMu.
Selalu ada benarnya, kecintaan pada dirinyalah yang membuat manusia buta. Baginya Allah hanya tak adil padanya, baginya Allah memilih dalam berkasih, baginya segalanya menjadi buruk oleh sebab kedengkiannya. Padahal andai kita tahu, Allah menyayangi dengan banyak cara. Baik yang kita sukai atau benci. Terkadang keras, untuk menguatkan, atau lembut untuk membesarkan. Allah, Ia selalu mempunyai cara. Hanya kita tak pernah menduga. Bahasa romantisnya, kejutan dalam berhubungan. Ketidaktahuan apabila terselimuti baik sangka, suatu saat akan terbukalah tabir keindahan. Allah, caraNya selalu mengejutkan. Tapi mempesonakan. Berbaik sangkalah.

#Entah, kelas konstruktivisme hari kemarin menyadarku. Nikmat Allah membawaku kesini, di Kota yang panas namun penghuninya membawa kesejukan di hati. Terimakasih ya Allah mengenalkanku pada mereka (teman 2010, teman Muslim Youth Club,). Kalian menempati tempat terbaik di hatiku.


Sabtu, 12 Oktober 2013

Untuk Nita :*


Kami, duduk diam lama – lama. Bertahan bahkan ketika cahaya sunset itu nyaris tak nampak lagi, kau masih di tempatmu, begitu juga aku. Aku, pasir pantai yang lembut, lalu kau, kau karang kokoh sahabatku. Yang pada suatu saat, ketika gelombang jahat datang hendak membawaku hanyut ke samudra, kau menarikku untuk bersembunyi dibalik cadasmu yang keras. Kau karangku yang kokoh, aku selalu tak sempat berterima kasih padamu, terima kasih, untuk terlahir sebagai karang untukku.

Nita adalah temanku, sahabatku, saudara perempuan bahkan kakak yang melindungi, yang kalau aku sms “lagi sedih :( ” dia pastinya langsung telfon. “Sedih nyapo?”. Lalu percakapan telepon berlanjut hingga berjam – jam, hingga kegalauanku luntur. Atau, kalau nggak gitu, saat nggak punya pulsa buat telepon, malemnya langsung datang ke rumah, bawa se tas keresek besar jajan dari indomart. Lalu kita bercerita sambil makan. Dia paling tahu, kalau segala kegundahan, kesedihan, kegalauanku sebesar apapun, penyelesaiannya cuman satu : cerita panjang lebar sampe elek, sampe capek nangisnya, sampe ilang tanpa alasa sedinya.
Pernah suatu kali, kita punya acara nangis bareng di beberapa tempat, di kamar, di perpustakaan Bung Karno, di kereta waktu pulang. Dan whatever pandangan orang, ketika selalu melakukannya ketika kita nyaman. Kita aneh sekali yaa…. :*
Dia Nita sahabatku, hari ini dia tepat 22 tahun. semoga Allah senantiasa melindungi Nita-ku yang baik, membarakahi ilmunya, melapangkan rizekinya, memperlancar pencarian jodohnya *loh. Terima kasih untuk terlahir dan menjadi sehabat sebaik Nita.
at Perpustakaan Bung Karno