Aku ingat hari dimana seringkali tak ada yang
dapat ku lakukan selain menghapus airmata lalu kau mengajariku menghadapi
seorang pembunuh bernama kenyataan
aku ingat hari saat aku sangat ingin berlari
menujumu, memelukmu sambil menangis dan mengatakan
“aku ingin menyerah.”
aku ingat hari dimana kau menggenggam
erat jemariku dan mengatakan “semua akan baik – baik saja”
aku ingat hari dimana dengan tiba –
tiba rasanya ingin belajar bermain sepeda seperti dulu denganmu, Ayah
dan hari ini pun aku ingat, aku telah
menua…
Kau bilang “kau masih gadis kecilku.”
sungguh Ayah, aku ingin mengatakan,
“Andai aku selalu menjadi gadis kecilmu.”
dan Kau menjawab, “Ya, kau bisa.”
Lalu kita terdiam, karena sadar akan
satu hal. Seberapa pun usahamu membela perkataanku, waktu akan tetap menculikku
untuk menua.
Ini, surat kesekian yang ku tulis untukmu, Ayah.
Bagiku berlembar-lembar pun tak pernah cukup mewakilinya. Hari ini aku
memutuskan untuk tak menelfonmu, karena aku tahu, aku tak bisa menyembunyikan
sifat kekanakanku ketika merindumu : menangis. Ayah, andai ungkapan ini
mewakili. Aku ingin mengatakan dengan lugas, bagaimana kau begitu membentuk di
hatiku.
Ayah, kau pahlawan yang mengajariku menjadi pahlawan
untuk diriku sendiri. Selalu mengatakan “Tidak apa-apa” berkali-kali ketika aku
terjatuh. Mengajariku berani terluka untuk menguat, mengajariku menjadi gadis pemberani
meskipun berdiri sendiri, karena kau tahu, kau tak selamanya bisa melindungiku
dari teman-teman yang membuatku menangis. Aku belajar semua darimu, Ayah. Kau tak
memberiku pundak ketika aku dalam kesempitan, karena kau tau, lantai sujud
selalu lebih lapang dari pundak siapa pun. Kau selalu mengatakan “Bersujudlah.”
“Kalau rindu jangan minta bertemu, berdoalah. Karena
bertemu tidak menyelesaikan rindu.” Kau paling tahu, aku pengeyel yang keras
kepala, tapi aku juga tahu, kau selalu bisa membuatku diam dengan caramu,
dengan ketegasanmu yang lembut. Ayah, apa pun kau, selalu terlihat memesona di
mataku, dengan noda hitam bekas matahari
di muka dan punggung tanganmu, dengan setelan kemeja dan celana kain yang tidak
matching dan merusak penglihatan, bagiku kau tetap memesona adanya.
Hingga baris tulisanku yang ini, aku tetap tidak yakin
ini mewakili, buncah-buncah bangga dalam hati karena engkau kumiliki. Mungkin
aku belum mampu membanggakanmu, seperti orang lain membanggakan Ayah mereka.
Tapi ada janji di hatiku, Ayah, yang sejauh ini menjadi pengingatku, yang sajuh
ini menuntunku, senyampang aku belum mampu membanggakanmu, aku berjanji tidak
akan menjadi sebab atas deritama.
Semoga Allah selalu menyayangimu, Ayah. Mencintai
keluarga kecil kita. Membarakahi dengan limpahan bahagia. Sekali lagi,
terimakasih untuk inspirasi-inspirasi yang kau beri, terimakasih membiarkanku
belajar diam-diam darimu. Dan maaf untuk banyak yang seharusnya, namun belum
terjadi.
Salam cinta, titip rindu juga untuk Ibu.
Putrimu.
Surabaya, 15 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar