“Aku ingin bertanya pada Ibumu.” Kataku. “Bagaimana
cara membesarkan anak hingga sememesona kau.” Tawamu terhenti.
Detik selanjutnya kita saling diam. Menatapi pasir-pasir
warna tulang yang diam juga. Entah mengapa debur ombak yang sedari tadi
mengusik percakapan kita turut senyap, padahal aku ingin kehadiran mereka
meredam degup kencang yang berantakan dalam dadaku. Mukamu memerah, apalagi
aku. Entah darimana datangnya keberanian itu, dengan lugas aku berkata
demikian. Ya, kau berhasil membuatku terpesona. Dan silahkan kau catat, aku
belum pernah memuji laki-laki secara lugas.
“Besuk kutanyakan.” Katamu lalu memamerkan deretan
gigi putih, bias kecanggungan lenyap. Kau pintar sekali mengendalikan emosi.
Aku tetap beku. Perlahan pasir-pasir warna tulang mulai berisik, mengikuti
iramamu. Gelombang mengusik lagi.
Bukan hanya pada Ibumu, juga pada Tuhanmu. Betapa tentu Dia
menyayangimu. Kau membuatku iri oleh sebab target-targetmu mendekati-Nya. Aku
iri, meski tak sebesar milik Umar kepada Abu Bakar. Entah apa maksud Tuhan
menjebakku bertemu denganmu. Adakah isyarat lain selain membuatmu terlihat
memesona. Suatu pelajaran kiranya? Aku jemu. Jemu untuk mengatakan demikian.
Jemu atau cemburu, entah lah. Mungkin Tuhan sayang sekali padamu.
“Tetaplah menjadi pasir, biar aku jadi gelombang dan bisa
datang lagi suatu hari.” Pesan singkatmu sebelum beranjak. Membiarkanku
duduk sendirian dalam ketidak berdayaan untuk bilang jangan. “Hey Pasir, apa
yang membuatmu terpesona pada gelombang?” teriakmu selepas tujuh meter
melangkah. Aku menoleh, lalu tersenyum. Senyum yang kubuat-buat agar terlihat
manis dan hasilnya gagal.
“Karena ia tetap setia datang meski berkali-kali pergi.”
Kataku setelah kau menghilang di balik jajaran pohon waru yang melengkung. “Jika
kau tak datang lagi, berhentilah terlihat memesona.”
Surabaya, 12 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar