Aku pasrah
ya Allah, terserah Engkau
__Oleh
sebab itu, setiap Hamba Allah harus selalu memperhatikan gerak dan tetapnya,
diam dan bicaranya, berdiri dan duduknya. Hendaknya pula ia memandang dengan
bashirah (mata hati). Maka ia akan sadar, siapa yang selama ini ia sembah? __Keajaiban
Hati, Imam Al-Ghazali
Hari itu ada
yang lain dari pembicaraan kita. Kau begitu serius, baru kali ini aku
mendapatimu seserius ini. Yah, setidaknya kau selalu menyelipkan sedikit
kelakar dalam soal-soal aritmatika yang kerap kita bahas hingga larus sore di
perpustakaan. Tapi hari itu, kau bukan lagi serius, kau bahkan memarahiku. Aneh
saja rasanya, kau yang selalu bilang “Jika kau tak bisa, itu wajar,
memangnya siapa kau mau bisa segalanya, tapi Tuhan bisa melakukannya untukmu.
Mintalah padaNya untuk membantumu.” Lalu selanjutnya kita biasanya akan
saling memamerkan target. Termasuk target mendekatiNya.
Tapi hari
itu, sore yang canggung. “Aku tertekan.” Kataku sebelumnya, “Target-target
itu mencekikku, ya aku salah terlalu melebihkannya, kau benar, siapalah aku
berani bermimpi setinggi itu, dan Tuhan mungkin belum berkenan membantuku.”
Lanjutku, sebenarnya seperti biasanya juga, aku hanya mengeluh, tidak terlalu
berlebihan.
“Dengan
kau bilang ‘tertekan’ saja, sama artinya kau mengucap satu kata peremehan untuk
Tuhan, seharusnya bila kau percaya Tuhan, dimana-mana akan terasa lapang, kau
meletakkan mimpi di sini.” Katamu kemudian sembari menunjuk kepalamu, “Bukan di sini,”
Selanjutnya jarimu mengarah pada dadamu. Aku diam, tersinggung dengan
kata-katamu yang ada benarnya.
Aku harap
selanjutnya kau akan menertawakan keseriusanmu, lalu berkata “Santailah
jangan dibawa berat, orang sekurus kau terlalu sulit membawa yang berat-berat.”
Tapi mimik mukamu tak berubah. Aku mulai menyimpulkan, kau mulai bosan dengan
keluhan-keluhanku akhir-akhir ini. Sepertinya.
“Kau
berkata begitu seolah aku orang musrik yang percaya kekuatan lain selainNya.” Jawabku tak kalah serius.
“Lalu?” Kilahmu singkat.
“Kalau kau
tak mau mendengar keluhanku ya sudah, aku tak akan cerita lagi. aku akan cerita
pada yang lain”
melankolisku benar-benar keluar, aku semakin emosi menanggapimu, mukaku mulai
memanas, ya Tuhan, waktu itu aku sungguh bersusah payah memaksa mataku untuk
men-delay datangnya pasokan air mata. Aku tidak mau terlihat lemah dengan
menangis di hadapanmu.
“Bagus.”
“Hah?”
“Ceritakan
kepada selainku, ceritakan padaNya. Aku tak bisa memberi solusi. Atas
cekikan-cekikan target, atas pertanyaan impian yang tak kunjung terjawab.
Tanyakan pada Yang Maha Menjawab. Lalu carilah aku setelah kau menemukan
jawabannya, hanya saja aku ingin bilang. Kau akan lelah jika berlari mengejar
dunia, sejauh apa pun kau melempar jangkar, sekuat apa pun kau mengayuh, rakit
kecil kita sesungguhnya tak pernah sampai. Tapi jika kau bertuju pada apa yang
di langit, sekokoh apa pun tembok, seterkungkung apa pun kita, tanpa jalan
keluar pun, kita masih bisa menengadah ke atas, Dia selalu disana.”
Lalu kau
pergi, selepas itu airmataku benar-benar tak terbendung, delay yang kumohonkan
gagal total, mataku seperti ketumpahan air entah darimana. Karena kau kejam
sekaligus benar. Saat itu juga aku ingin berlari ke arahmu dan bilang, aku
telah menemukan jawabannya. “Serahkan rencana kita pada Yang Maha
Perencana,”
Surabaya 20
Januari 2014
Futri Z.
Darojat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar