Tampilkan postingan dengan label beloved Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label beloved Islam. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 Oktober 2014

Beginilah, Kami Berbeda


Beberapa hari lalu di salah satu grup whatsapp yang saya ikuti terjadi sedikit ketegangan antara dua kubu. Biasanya grup ini adem ayem aja, bahas santai-santai atau serius tapi nggak sampai silang pendapat banget. Ceritanya salah satu teman saya broadcast mengenai larangan-larangan menjalankan ibadah Islam kejawen, semacam selametan 7 harian, 40, 100 dst. Awalnya banyak yang pro hingga diskusi berlanjut lancar. Hingga beberapa jam kemudian muncul, rupa-rupanya di dari kubu yang kontra akhirnya meledak, sepertinya awalnya ia ingin berusaha diam namun terlalu gerah diam lama-lama, lalu muncul dan menjawab dengan panjang segala perdebatan dengan pernyataan yang lumayan jleb. Semua diam. Tidak ada yang menimpali.
Tidak ada yang salah saya kira. Seperti moment sekarang, saat keputusan antara berapa ulama berbeda mengenai penentuan kapan Idul Adha dilaksanakan. Sebagian besuk, sebagian lagi lusa. Dan ini bukan peristiwa jarang di antara muslim, cukup sering.
Saya menemukan cerita yang hampir mirip dengan ini. Yaitu peristiwa pasca perang Ahzab, Rasul memerintah pasukan muslim secepatnya menyerang benteng orang Yahudi Bagi Quraidhah yang melakukan pengkhianatan perjanjian perdamaian terhadapan kaum muslim. Rasul berpesan, “Kalian kupesankan agar jangan menunaikan shalat Ashar sebelum tiba di perbentengan Bani Quraidhah.” Namun ternyata hingga hampir habis Ashar pasukan muslimin belum sampai tempat yang di tuju. Hingga terjadilah perselisihan antara kaum muslim, antara yang memilih menjalankan shalat dan bersikukuh menaati pesan Rasul.
Dilema juga ya, mau sholat tapi Rasul pesen gitu, mau nggak sholat, tapi sholat kan wajib, he he. Sebenernya kalau zaman dulu ada internet lebih mudah tinggal vidcall sama Rasul minta keputusan. Tapi ternyata akhirnya, Rasul tidak menyalahkan salah satu atau keduanya, semua benar. Karena bagi Rasul, perbedaan itu wajar dan sah-sah saja selama dalam rangka ijtihad yang sehat. Meskipun terlepas yang mana yang benar, asal keduanya memiliki keyakinan beribadah dan berupaya mencari kebenaran di dalamnya.
Tidak berarti lantas kita jauh berbeda dari ajaran yang semestinya namun lempeng-lempeng aja jalani, bukan begitu.  Selama yang berbeda adalah bukan ibadah wajib yang disyari’atkan, itu sah-sah saja terjadi perbedaan. Dalam riwayat di atas, Rasul memandang menyerang Bani Quridhah dengan segera karena bersifat urgent dan khawatir mereka lebih dahulu menghimpun kekuatan sehingga kewajiban berperang membela kepentingan umum Beliau utamakan dan menangguhkan Ashar.
Tapi jaman sekarang, ibadah yang wajib aja ala kadarnya kalau ingat, yang sunah beda dikit diperjuangin sampai angkat parang, ckck. Meskipun kita dalam posisi benar, dengan hadits dan Qur’an yang kuat. Tapi marilah tetap menjaga perbedaan ini agar jangan sampai menimbulkan perpecahan hingga menodai ibadah wajib. Dalil memang bisa menakhlukkan akal, tapi hanya akhlaq yang dapat memenangkan hati.
Euuuh berani sekali hari ini saya, bahas-bahas kayak begini udah kayak ilmunya luas aja. Hehe saya juga sedang belajar, sedang memulai. Dari kecil saya biasa tinggal di lingkungan multicultural, teman-teman saya orang bermacam-macam, mulai dari Islamnya kental sekali, hingga Islam KTP bahkan nasrani sampai hindu, saya bergaul sama mereka semua. Bagi saya, keimanan itu tidak hanya vertikal, tapi juga horizontal.
Tulisan ini hanya cuap-cuap dari seorang gadis yang sedang belajar. Tentang isinya wa’Allahualam. Hanya Allah yang Mahabenar.
(Referensi : Fiqhus Sirah, Muhammad Ghazaliy)

Blitar, 3 Oktober 2014

Senin, 22 September 2014

Ini tentang kampung kita. Tentang Surga.


Ini tentang kampung kita. Tentang Surga.

Aku bertanya-tanya, mengapa ujian-ujian hidup harus datang silih berganti seperti tak memiliki cara untuk berhenti? Mengapa kita harus bersusah payah belajar, harus sabar melatih diri berbuat baik, berpeluh-peluh berusaha mengentaskan diri dari banyak peristiwa yang membuat frustasi lalu setelah selesai satu peristiwa, peristiwa berikutnya yang lebih menghadirkan depresi datang menyambut? Mengapa kita harus berjuang untuk banyak hal, mengapa harus memaksa diri menahan hawa nafsu? Mengapa kita harus telaten menenangkan diri dengan kata “Sabaaar.”, lalu berupaya mempercayai bahwa sabar memang tanpa batas. Mengapa? Kita harus melakukan semua itu? Atau pertanyaan yang pasti sering muncul di kepala banyak orang, “Mengapa yang enak-enak itu dilarang?”
Jawabnya “Ya memang inilah hidup.” sepertinya kurang memuaskan. Lalu aku sadar, mengapa kau dan aku harus terus berjuang seperti itu? Kawan, ternyata kita masih di dunia. Nanti, ketika kita pulang pada kampung halaman, akan beda lagi aturan mainnya.
Mereka dan pasangan-pasangannya berada dalam tempat yang teduh, bersandar di atas dipan-dipan. Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa saja yang mereka inginkan. (Yaasin :56-57)
Aku teringat suatu cerita, saat seorang murid bertanya kepada Imam Ahmad yang kira-kira seperti ini “Wahai guru, aku lelah. Kapan kita akan beristirahat?” Lalu sang Imam menjawab “Anakku bersabarlah, kita akan beristirahat ketika kaki kita menginjak pintu surga.”
Kau lelah, atau ingin mengenggam segala sesuatu yang kau inginkan, melakukan apa saja yang kau mau. Hanya satu kuncinya, bersabarlah. Kuatkan hati melalui segala proses, karena kita masih di dunia. Tapi sekarang aku ingin bertanya pada dariku dan dirimu. Apa yang sering kita mintakan pada Allah sambil menangis? Mimpi-mimpi dunia, atau kampung kita surga? Kemudahan mengejar kemauan atau keistiqomahan dalam kebaikan?
Sahabat, ingatlah aku. Jika nanti kau sudah di surga sedang tidak ada aku di sana. Mungkin tersandra Malaikat Malik di neraka. Tolong jemput aku, dan bawa aku bersama kalian, aku juga ingin ke surga.
Ya Allah jadikan kami telaten, sabar, dan berdamai dengan segala proses di dunia ini. Aamiin

Dalam kerinduan ukhuwah,
Blitar, 22 September 2014

Minggu, 10 Agustus 2014

D-O-A


Apabila seorang hamba berkata, “Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah”, maka Allah menjawab, “Hai Malaikatku, hambaku telah ikhlas berpasrah diri, maka bantulah ia, tolonglah ia, dan sampaikan (penuhi) hajat keingingannya”  ~Iman Ja’far, Al-Bihar

Kalian tahu pistol bareto? yang bentuknya seukuran pisau buah, yang tidak berbunyi jika kita tarik pelatuknya, diam dan mengena sasaran. Aku rasa, doa bagi umat muslim seperti pistol bareto bagi para militer rusia. Senjata yang luar biasa. Apalagi jika dipergunakan tangan-tangan yang tepat dan terlatih, ia akan menjadi boomerang yang sangat ampuh bagi tuannya.
Sayangnya, manusia terlanjut menjadi makhluk keras kepala, di suruh meminta pun banyak dari kita yang tetap enggan. Entah malas, entah ragu atau entah lah. Padahal jelas-jelas Allah berfirman “Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa, apabila ia berdoa kepadaku” (02:186). Seharusnya ini sebuah amunisi kita, apa sulitnya tinggal meminta. Mungkin jika tak begitu bukan manusia.
Doa adalah isyarat pengungkap rindu, surat cinta rahasia dari hamba kepada Tuhannya.  Karena mekanismenya rahasia, kita tidak dikasih lihat bagaimana kerjanya. Tapi kita harus yakin, surat cinta kita berbalas sempurna. Hanya saja, kita tidak tahu dari lisan siapa doa kita lebih cepat diterima, mungkin kawan lama, saudara atau bahkan orang yang baru kita kenal di kereta. Karena itu, jangan ragu untuk minta doa. Tidak usah malu disangka riyak atau apa, prasangka manusia bukan urusan kita. Siapa tahu ya, dengan kerapnya meminta doa, tanpa sepengetahun kita, teman-teman jadi terbiasa mendoakan kita. Dan salah satu keistijabahan doa adalah atas ketidaktahuan saudara kita ketika doakan mereka. So, doakan aku ya, tapi jangan bilang-bilang.

Surabaya, 11 Juni 2014
(sebuah tulisan telat posting, ditemukan terselip bersama beberapa file lain yang mungkin akan segera saya post kan pula, takut mendholimi tulisan =D )

Selasa, 05 Agustus 2014

Bagaimana Menjadi Imam Syafi’i, Kalau Begini Caranya?



Aku mengadu pada Kyai, buruknya hafalan.
Maka guru menasehatiku untuk menjauhkan diri dari maksiat.
Karena ilmu adalah cahaya sebagaimana AL-Qur’an juga sebagai cahaya.
Maksiat penyebab lupa dan hilangnya hafalan lain (Imam Syafi’i)

Saya menemukan quote di atas di majalah Ummi dalam sebuah artikel yang menjelaskan bagimana cara Ayah Musa (salah satu peserta Hafidz Qur’an Indonesia) mendidik Musa yang masih berusia lima tahun bisa menghafal 29 juz. Membaca quote itu saya teringat suatu cerita di masa lalu. Ini sebenarnya sudah lama, sekitar dua atau tiga tahun lalu. Meskipun mungkin tidak terlalu menarik, semoga ada hal yang bisa kita tarik sebagai bahan refleksi.
Waktu itu saya, dan sahabat saya Faiza bertugas sebagai relawan Ramadhan sebuah lembaga amil zakat di Surabaya. Ketika itu, kami ditempatkan Tunjungan Plaza bersama tiga rekan saya yang lain, mereka adalah Anggit, Ali dan Ghofar.
Menjadi sales program Ramadhan (infaq, zakat, fidiyah, shadaqah) di mall besar macam TP itu susah-susah mudah. Mudahnya, banyak para pengunjung yang tentunya hi-class yang berseliweran. Dan susahnya, sebenarnya lebih pada kaum laki-laki, karena godaannya luar biasa hehe.
Tim saya berlima ini lumayan kompak, dalam artian kami saling bahu-membahu membagi target operation (TO). Kesulitan membagi TO ini terjadi pada Ali dan Ghofar, walau dibagi bagaimana pun sebagian besar pengunjung adalah perempuan dan tentu  you know dengan pakaian seperti itu lah. Suatu kali kami terjadi pembagian tugas cepat;
Saya : “Dek, sasaran!” (mengarahkan bola mata ke arah seseorang)
Ali : “Oke! Mbak.” (Berjalan sambil cengengas-cengenges)
Kami berempat (Saya, Faiza, Ali, Ghofar) kemudian menyaksikan si Ali berjalan mendekati mbak-mbak dengan dress mini tanpa lengan. Hah Ali? Bukan itu yang saya maksud sasaran tadi. Dan apa yang terjadi? Setelah di depan si embak itu si Ali ciut sendiri, cuman senyum dan memberikan brosur tanpa berkata-kata apa pun untuk menawari. Kami berempat menahan tawa untuk menjaga perasaan Ali.
“Weh Mbak..Mbak…piye dadi  koyok Imam Syafi’I, lek ngene carane!” Tawa kami pecah. Ali ngedumel panjang lebar. Gimana bisa jadi Imam Syafi’I kalau begini caraya?
***
Gimana bisa Imam Syafi’I kalau begitu caranya? Mata kami bermaksiat, telinga kami juga, tangan, hidung, hati apalagi. Sedang Imam Syafi’i? melihat betis perempuan saja empat puluh hadits hilang, jaman sekarang ini? sudah hafalan susah, godaannya luar biasa! Bukannya nambah bisa-bisa minus :D
Saya sempat membicarakan ini dengan Ayah, mungkin waktu itu demi ngeles gara-gara hafalan saya tidak berubah-ubah  “Zaman sekarang ini, Bi. Hafalan sediki-sedikit sekeli itu lebih baik daripada enggak nambah sama sekali atau parahnya malah berkurang.” Jawaban Ayah saya yang menohok, “Dari dulu juga sudah ada godaan, Mbak. Tapi orang dulu lebih pintar memeliharanya.”
Biar tidak terlalu panjang, inti dari percakapan waktu itu bisa saya simpulkan seperti ini. Selalu ada cara bagi orang-orang yang mau dan niat untuk melakukan sesuatu, terlepas bagaimana pun asal dan lingkungan ia tinggal. Masa lalu dan lingkungan kita mungkin berpengaruh besar, tapi manusia adalah makhluk yang memiliki pilihan, bagaimana cara dia merespon.
Bukan bermaksud pamer, sebulan Ramadhan ini saya berhasil atas sesuatu, yaitu saya tidak mendengarkan music non islami SAMA SEKALI, hehe saya ulangi, sama sekali, bahkan music islami pun sangat sedikit (Padahal saya itu demen sekali dengan Pop Rock-nya Avril Lavigne). Ini sulit, sulit sekali malah. Tapi dampaknya luar biasa, target hafalan tercapai. Tapi sayang, itu adalah proker saya Ramadhan kemarin, semoga selanjutnya tetap istiqomah, meskipun tentu sulit sekali.
Saya yakin, selalu ada jalan ketika kita berniat baik, seperti apa pun setan bersekongkol untuk menjerumuskan kita, sedahsyat apa pun godaan-godaan di luar sana, asal kita memiliki hati yang mau. Mau mendekat kepada-Nya, mau bersusah payah bersusah untuk menjaga diri. Kalau pun hasilnya tetap amalannya naiknya sedikit-sedikit, tidak apa-apa, in sya Allah kesusahan dan kemauan kita mencoba diperhitungkan sendiri sama Allah.

Blitar, 6 Agustus 2014