Tampilkan postingan dengan label a piece of cake. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label a piece of cake. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 Maret 2016

Untuk Siapa? #latepost



Kau tahu, mengapa Tuhan kadang tak mempertimbangkan pendapat kita ketika menjatuhkan hati kita pada hati seseorang?” Salman mengemasi alat gambarnya, seharian ini tadi seumur-umur berteman dengannya, baru kali ini ia tak menghasilkan apa pun. Kanvasnya kosong, mejanya rapi, wajahnya bersih tanpa keringat. Kemeja selengannya juga tak terlipat ke atas. Ada sesuatu pasti yang mengganggu pikirannya.
Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” Tanyaku berani.
Cinta.” Aku tak menyangka ia selugas itu, tak takut ku goda atau tak bermuka merah muda selayaknya orang dirisaukan cinta. Menyebalkan, Ia selalu bisa mengendalikan. “Ketika puluhan kriteria kau tuliskan, berharap kau akan jatuh cinta pada orang yang benar-benar kau impikan. Tapi daftar itu runtuh, karena kau jatuh begitu saja. Cinta selalu begitu kan?”
Kau bicara tentang siapa?” Suaraku kaku. Aku upayakan benar-benar gesturku agar tak kelihatan salah tingkah. Aku benci teman seperti ini, yang pintar memojokkan seperti dia.
“Aku takut menyebut nama, karena aku khawatir keputusan Tuhan tidak sama seperti yang kubayangkan. Karena dalam cinta, tanpa kita sadari, sepenurut apa pun kita, kita berubah menjadi pribadi yang keras hati. Begitu kan?”
Aku hanya mengangguk, bingung menanggapi. Topik ini terlalu asing bagi kami. Menyebalkan.
Kau tak perlu menanggapi, aku hanya ingin meracau.” Akhirnya ia menyadari keterpojokanku, menggeleng menertawai diri sendiri. “Jangan terlalu khawatirkan, cinta itu sesuatu yang bisa kita siasati. Kalau kita adalah pecinta yang tulus, yang terpenting bukanlah apakah cinta kita diterima. Jika tak terima pun, kasihan sekali dia, tidak menyadari ada pecinta setulus kita.”
“Aku tidak khawatir, kau yang khawatir?” Kataku membela diri.
“Tidak perlu se-sensitif itu, aku hanya meracau.”
……..
Ini kali sekesekian ia meninggalkanku dalam keadaan tertimbun tanda tanya besar. Apa maksudnya membicarakan cinta secara tiba-tiba, membuatku menduga-duga. Namun dengan nada santai khas-nya, ia mudah sekali menguasai diri.
Terkadang melihat Salman membuatku berburuk sangka padaNya, Astagfirullah. Karena memang yang terlihat, apa-apa yang dimiliki Salman membuat mata orang lain iri. Prestasinya, kemampuannya dalam bergaul, keseimbangan antara matematika dan estetika, caranya mengendalikan diri. Dan hari ini dia tiba-tiba bicara cinta. Seuatu topic yang paling jarang ia singgung-singgung. Aku harus berkata apa?
Kemudian, pulangnya aku masih dipenuhi rasa tanya. Apakah Salman membicarakannya karena mencintaiku. Baik, ini aku ke-Geer-an sekali. Situasi terkadang memang memojokkan kita untuk berpikir sepeti itu, tapi logikaku mampu menyeimbangkan. Tidak mungkin, aku bukan tipenya. Tapi untuk siapa? kepada siapa ia menaruh cinta?
Hingga besuknya tiba-tiba, aku dikuasai rasa penasaran. Ini yang kubenci dari perempuan, mudah penasaran. Lalu benar-benar kutanyakan padanya. Yah, aku menganggap antara kami sudah dekat dan kalau pun ia jatuh cinta pada orang lain, biar aku turut mendoakan.
“Kau jatuh cinta? hah? pada siapa?” Ia menggeleng, lalu mengalihkan pembicaraan. Dan bodohnya, aku terbawa saja. Hingga tujuan awalku untuk mengorek informasi dari luntur seketika.
***
Ini tulisan dua atau tiga tahun lalu. Saat aku masih tergila-gila dengan Negeri Kanguru dan menulis serial Paddington untuk pelampiasannya. Hari ini, aku menemukan tulisan ini tersleipa diantara file-file yang lama dan folder harta karunku. Aku dibikin takjub sendiri, aku dulu suka sekali merangkai cerita seperti ini. Dan sekarang, aku dibikin malu oleh seseorang, yang sepertinya sengaja membuatku malas menulis lagi, seseorang yang terlena pada zona yang begitu nyaman. Dan begitu menyebalkannya ketika aku tau, bahwa seseorang itu adalah diriku sendiri. Ya Allah, apa aku kufur? apa begitu banyak kemudahanMu ini justru kusepelekan. Ampuni aku ya Ghofur. Jangan biarkan aku terhanyut pada sungai yang menyediakan banyak ikan jinak karena terlalu asik berenang. Pegangi aku ya Allah, agar selalu semangat berkarya, dan menjadi perempuan lebih baik lagi.

Blitar, 21 Februari 2016

Kamis, 26 Februari 2015

Membahagiakan Perempuan



Write her a letter, send her a flower, love only gets old if you let it” William Chapman

Bahagia itu sederhana, apalagi bagi perempuan. Jika tahu seninya, cukup mudah membahagiakan makhluk yang katanya perasa itu. Several days ago, teman saya cerita yang intinya kira-kira seperti ini : Andai laki-laki tahu, hadiah paling mahal bagi perempuan adalah waktu. Menganggapnya ada dengan selalu memberi kabar adalah lebih menyentuh daripada sepatu atau baju mahal yang di bungkus tas tenteng kertas.
Ini membuat saya berpikir, sederhana dan nriman sekali sih perempuan, hahaha. Tapi tidak salah, kurang lebih memang seperti itu. Paling tidak bagi perempuan yang masih berhati perempuan. Hal itulah kemudian membuat saya berinisitif membocorkan beberapa hal lain yang sederhana namun berhasil membuat seorang perempuan bahagia. Sederhana, lebih sederhana dari sekedar sebuah surat atau seikat bouquet mawar seperti kutipan William Chapman di atas.

©      Waktu
Sudah saya gambarkan di atas, betapa pentingnya waktu bagi perempuan. Waktu itu = kamu penting buat aku = kamu baik-baik saja kan atau jangan khawatir aku baik-baik saja. Dan segala jenis perhatian bisa terangkum dengan memberi waktu. Jika memang tidak bisa memberi waktu banyak, usahakan merelakan sedikit waktu mu untuk memberi kabar. Itulah akhirnya saya tahu kenapa Ibuk saya sering uring-uringan ketika Ayah keluar pulang larut ndak bilang-bilang, padahal Ibuk tahu kemana Ayah setiap harinya (ke pengajian :D )

©      Ucapan Maaf
Barangkali memang benar jika perempuan adalah makhluk yang emosional. Bahagianya mudah tapi sedih atau marah  juga tidak kalah mudah dengan hal-hal sepele. Tapi cukup mudah membeli hati perempuan dengan penjelasan yang diawali dengan kata “maaf, aku yang salah.” “maaf, buat kamu menunggu.” “maaf, buat kamu khawatir.” Kalimat itu sepele tapi lumayan mampu membeli hati perempuan. Ia mungkin tak langsung bilang “Iya, aku maafin.” tapi akan membuat si yang kena marah lebih mudah menjelaskan perkara atau duduk masalahnya. Tentunya asal nggak sering-sering salah lagi dan lagi lalu minta maaf. Bisa nggak mempan kata di atas.

©      Diperjuangkan
Itulah mengapa saya setuju dengan kalimat novelis Tereliye “Jika harus memilih, sebaiknya perempuan menikah yang mencintainya daripada yang dicintainya.” Ingat pilihannya cuma dua (mencintai atau dicintai). Mengapa? Karena perempuan itu mudah tersentuh, mudah luluh, apalagi melihat seseorang  telah berkorban banyak hal untuk dia. Itulah mengapa, ada cerita awalnya perempuan enggak mau sama si laki-laki. Tapi karena si laki-laki gigih deketi dia, akhirnya klepek-klepek ahaha. Cerita itu adalah kisah Raffi dan Gigi.

©      Perhatian
Perempuan adalah ahli sejarah, ia pengingat yang baik. Terutama untuk hal yang berkaitan dengan emosinya. Mengingat sedikit hal kecil tentangnya akan membuat perempuan bahagia. “Aku bawakan martabak, acarnya nggak pake wortel, seperti kesukaanmu, kan?” Hmm bagi perempuan, meskipun martabaknya beli di depan gang, udah berasa belinya di Prancis. Ingat hal-hal kecil tentangnya, maka hatinya akan sepenuhnya milikmu.

Mungkin itulah hal-hal yang bisa saya simpulkan tentang hal kecil yang bisa membuat perempuan bahagia. Lepas benar atau salah, hanya pendapat. Manusia adalah makhluk yang relative dan banyak hal sering lebih beragam. Itulah pendapat saya, kalian boleh beda (boleh banget J)

Blitar, 11 Januari 2015

Rabu, 24 Desember 2014

Tenang, Kau Punya Allah


Allah, dengan ini. Biarlah pelan-pelan kami lepaskan. Apa yang dipegang erat-erat oleh hati. Biar Engkau yang memelihara. Semoga segalanya selalu terjaga, dengan segenap definisi indah. Di dalam asuhan kekuatan iman.

Saya ingat kata-kata Ustadz Yusuf Mansur. Berapa pun kita punya uang, biasakan beli sesuatu dengan doa. Seberapa pun yakin kita, minta pertimbangan Allah dengan doa. Karena segala sesuatu bisa saja bermuara menuju tempat yang tak pernah kita kira-kira. Munkin inilah ilmu tauhid secara sederhana. Tentang ke-esa-an Allah, tentang ke-hamba-an manusia. Tiada daya dan kekuatan, selain daripada Allah yang menjagakan.
Saya menulis ini untuk seorang kawan. Semoga Allah memberinya kekuatan, lebih banyak dari yang pernah ia perkirakan. Memberinya hati yang semakin kokoh, iman yang semakin lurus, dan harapan yang senantiasa terbit. Semoga waktu berlipat-lipat dalam bekerja, membasuh luka subuh kemarin dengan segera.
Hakikat mencintai adalah merelakan. Baik, meskipun ini terdengar menyedihkan. Mari kita memakai kacamata Tuhan, memakai sisi pandang atau cara berpikir jitu seorang guru. Mengapa mereka? Saya tidak berupaya menyamakan mereka. Tidak sedang menyamakan Tuhan dengan guru. Tapi sering kali kepada mereka lah kita salah dalam berprasangka. Paling tidak, mereka seringkali melakukan hal terkadang sulit sekali kita mengerti. Apa mau mereka?
Kawan, mengapa Tuhan diam saja ketika semua hal menyakitkan itu terjadi? Mengapa tidak Dia keluarkan kekuatan Mahadaya milik-Nya untuk melindungi kita dari hal-hal yang menyedihkan. Mengapa tidak Dia jaga kita jika Dia sayang pada hamba-Nya? Bukan kah kita adalah hamba yang senantiasa berusaha taat? jungkir balik menjaga iman dan sekuat tenaga menahan godaan setan demi bukti kita cinta pada-Nya. Lalu?
Begini, kau pernah ikut ujian? entah kenaikan kelas atau perpindahan semester. Dimana guru kita saat soal-soal sulit di bagikan? dia diam di pojok ruangan. Dia tidak merecoki ujianmu dengan memberi tahu jawaban karena yakin. Kau cukup pintar untuk melaluinya. Karena membantumu hanya akan merecoki kemampuanmu menuntaskan jawaban. Ingat, guru yang baik tidak akan melakukan hal bodoh dengan membocorimu jawaban sebelum kau tau soal. Itu tidak mendidik, bukan?
Ahh apa aku terlalu muluk-muluk dan sok tahu menjelaskan ini. Sederhana saja, bisik kan pada telingamu sendiri. “Tenang, kau punya Allah.” Dia diam, seperti diamnya guru di pojok kelas. Semoga kau baik-baik dan lulus ujian. Naik ke kelas baru dengan harapan yang lebih bersinar. Yang perlu kau ingat: harapan itu kewajaran, mimpi itu keharusan, doa itu  kewajiban. Tapi yang paling utama dari semua itu adalah penerimaanmu, kerelaanmu, keikhlasanmu atas segala keputusan Allah.

Blitar, 21 Desember 2014

Jumat, 21 November 2014

Trampoline


Several weeks lately, saya dihadapkan perasaan-perasaan yang sukar didefinisikan. Tidak, ini bukan cinta. Juga bukan patah hati. Entah. Mungkin efek kalau di Blitar ndak ada teman yang berbagi banyak hal setiap waktu, seperti dulu di Surabaya. Mungkin efek siklus harian, kerja berangkat pagi, pulang sore, udah capek, ngantuk, habis itu ngasih les, baca buku dikit udah terlelap, besuk gitu lagi. Mungkin, ah masih mungkin dan mungkin.
Semacam otak saya dijejali pikiran-pikiran berat, pilihan-pilihan yang penuh konsekuensi, dan lagi, tidak ada teman sebaya untuk berbagi (Di tempat kerja, saya adalah terapis paling muda). Kesukaan aneh saya akhir-akhir ini adalah pulang dalam keadaan hujan, pake mantel, moment menyimpan sepatu di dalam jok motor, dan hanya berkendara dengan pakai kaus kaki. Aneh memang, ketika hampir semua teman-teman terapis saya mengeluh ini itu ketika mendekati jam pulang, I enjoy that moment. Saya terlanjur jatuh cinta pada hujan, no matter what!
Lain kesempatan, kadang waktu diem, di kamar, mikir macam-macam, ingat macam-macam, pada suatu ketika saya bisa nangis gitu aja (dasar sensitive!), atau ketika pikiran tiba-tiba melanglang ke beberapa tahun terakhir, jadi senyum atau ketawa sendiri. Entahlah, ini apa?
Saya meskipun seorang kakak tertua dalam keluarga, Abik tak pernah memposisikan saya dengan tanggung jawab besar seperti saya harus mengalah pada adik, saya harus membimbing adik, saya adalah orang yang siap teraniaya, tidak pernah. Ayah memposisikan semua anak sama, mungkin mereka sadar adik-adik saya tetap tanggung jawab mereka untuk memberi contoh, bukan saya sebagai kakak. Sehingga ketika seorang teman di asrama pernah kaget ketika tahu kalau saya anak pertama, sepertinya wajar. Seolah saya bisa menebak pikiran teman saya itu, anak pertama kok manja gini?
Nggak tahu kenapa, belakangan, saya jadi terlalu paranoid akan banyak hal. Saya takut sekali mengambil keputusan, saya sering seperti merasa terhakimi, dan terlalu banyak berpikir ketika hendak melakukan sesuatu. Saya seperti takut akan penolakan beberapa orang, dan saya tahu, ini bukan saya. Saya tidak pernah (atau barangkali saya lupa kalau pernah) takut tidak diterima seseorang, atau sekelompok orang, saya setidaknya di mata saya pribadi adalah orang yang cukup berani di lingkungan seperti apa pun. Saya pernah berteriak-berteriak memanggil polisi yang acuh ketika saya dan sahabat saya nita takut menyebrang (saya kena marah nita karena ini). Saya pernah survey partai politik keliling gang, saya pernah menjawab tanpa gentar anak-anak laki-laki di kereta yang terlalu banyak tanya dan menganggu. Intinya, saya bukan tipe orang yang takut di dunia baru. Lalu?? Entah.
Mungkin, saya belum siap jika harus selalu tampil baik, mungkin saya belum sepenuhnya siap untuk mengalah. Mungkin saya takut berpisah dengan Ibuk dan Abik. Mungkin, ah lagi-lagi hanya mungkin.
Tapi the other hand, saya menikmati segala proses belajar saya, membaca banyak hal, mendengarkan banyak hal, menjejali otak dengan makanan-makanan berat, biar bagaimana pun, otak saya harus belajar mencerna tekstur-tekstur agak kasar tak melulu lembut. Saya tahu, mungkin ini saatnya saya lebih banyak mendengarkan, tidak banyak protes seperti biasanya.
Dan entah, belakangan, sering seperti ada yang sedang bermain trampoline, siapa? hati.

Blitar, 22 November 2014

Minggu, 28 September 2014

Surabaya Setahun Terakhir

Apa yang harus kukatakan lagi pada orang melankolis ini, pekerjaannya mendramatisir sesuatu. Hanyut dalam kenangan, tenggelam dalam kerinduan #halah.

Ada sisi sensitive dalam diri saya memang, terutama ketika melibatkan sesuatu yang menyentuh perasaan. Dasarnya mudah terharu, yang menurut orang mungkin biasa saja, tapi saya tidak bisa menganggapnya biasa. Yah, inilah hidup versi saya.
Weekend di pagi hari, aktivitas terakhir saya akhir-akhir ini adalah telpon-telponan berjam-jam dengan sodara-sodara yang masih belum hengkang dari Surabaya. Bahas apa? Tentunya bahas yang enggak penting-penting. Sepertinya, mereka belum mau melepas saya #GeEr.
Surabaya setahun terakhir, puncak perubahan besar dalam diri saya. Masa-masa paling soro (sengsara), paling deket dengan teman-teman juga, masa paling jahat pada diri sendiri, masa berlatih sabar habis-habisan karena jadi mas’ul (penanggung jawab) asrama, masa dimana harus melalui peristiwa hampir depresi satu menuju hampir depresi yang lain, masa harus pintar-pintar membagi waktu antara PKM, skripsi, dan kampanye caleg wkwkwk. Intinya, setahun terakhir ini di Surabaya adalah unforgettable sangat.
Pelan-pelan saya baru sadar rencana-rencana Allah tentang jalan takdir yang harus saya lalui, atas banyak hal yang saya mau banget tapi belum dikabulkan. Mengapa saya tidak wisuda bulan Maret, mengapa saya harus tidak mendapat tempat PKL di Surabaya (meskipun sempat hampir depresi karena ditolak empat kali oleh lembaga terapi, haha), mengapa saya harus ‘diasingkan’ di asrama berbeda dari teman-teman angkatan 2010 dua tahun berturut-turut, mengapa saya yang masih sering manja dan ngga jelas ini dijadikan penanggungjawab asrama, dan mengapa-mengapa yang lain.
Iya, Surabaya telah menjadi monument kenangan bagi saya. Surabaya, kota yang dulu paling saya ogahi karena panas dan takut item (dasarnya padahal juga udah item :P ). Ini kota yang dimau-i Ayah saya, akhirnya bisa membuat saya jatuh hati. Sekarang membicarakan Surabaya bukan hanya sebatas sebuah kota, namun memasuki daerah perasaan, cieeeh.

Blitar, 27 September 2014