Several
weeks lately, saya dihadapkan perasaan-perasaan yang sukar didefinisikan. Tidak, ini
bukan cinta. Juga bukan patah hati. Entah. Mungkin efek kalau di Blitar ndak
ada teman yang berbagi banyak hal setiap waktu, seperti dulu di Surabaya.
Mungkin efek siklus harian, kerja berangkat pagi, pulang sore, udah capek,
ngantuk, habis itu ngasih les, baca buku dikit udah terlelap, besuk gitu lagi.
Mungkin, ah masih mungkin dan mungkin.
Semacam
otak saya dijejali pikiran-pikiran berat, pilihan-pilihan yang penuh
konsekuensi, dan lagi, tidak ada teman sebaya untuk berbagi (Di tempat kerja,
saya adalah terapis paling muda). Kesukaan aneh saya akhir-akhir ini adalah
pulang dalam keadaan hujan, pake mantel, moment menyimpan sepatu di dalam jok
motor, dan hanya berkendara dengan pakai kaus kaki. Aneh memang, ketika hampir
semua teman-teman terapis saya mengeluh ini itu ketika mendekati jam pulang, I enjoy that moment. Saya terlanjur
jatuh cinta pada hujan, no matter what!
Lain
kesempatan, kadang waktu diem, di kamar, mikir macam-macam, ingat macam-macam,
pada suatu ketika saya bisa nangis gitu aja (dasar sensitive!), atau ketika
pikiran tiba-tiba melanglang ke beberapa tahun terakhir, jadi senyum atau ketawa
sendiri. Entahlah, ini apa?
Saya
meskipun seorang kakak tertua dalam keluarga, Abik tak pernah memposisikan saya
dengan tanggung jawab besar seperti saya harus mengalah pada adik, saya harus
membimbing adik, saya adalah orang yang siap teraniaya, tidak pernah. Ayah
memposisikan semua anak sama, mungkin mereka sadar adik-adik saya tetap
tanggung jawab mereka untuk memberi contoh, bukan saya sebagai kakak. Sehingga
ketika seorang teman di asrama pernah kaget ketika tahu kalau saya anak pertama,
sepertinya wajar. Seolah saya bisa menebak pikiran teman saya itu, anak pertama
kok manja gini?
Nggak
tahu kenapa, belakangan, saya jadi terlalu paranoid akan banyak hal. Saya takut
sekali mengambil keputusan, saya sering seperti merasa terhakimi, dan terlalu
banyak berpikir ketika hendak melakukan sesuatu. Saya seperti takut akan
penolakan beberapa orang, dan saya tahu, ini bukan saya. Saya tidak pernah
(atau barangkali saya lupa kalau pernah) takut tidak diterima seseorang, atau
sekelompok orang, saya setidaknya di mata saya pribadi adalah orang yang cukup
berani di lingkungan seperti apa pun. Saya pernah berteriak-berteriak memanggil
polisi yang acuh ketika saya dan sahabat saya nita takut menyebrang (saya kena
marah nita karena ini). Saya pernah survey partai politik keliling gang, saya
pernah menjawab tanpa gentar anak-anak laki-laki di kereta yang terlalu banyak
tanya dan menganggu. Intinya, saya bukan tipe orang yang takut di dunia baru.
Lalu?? Entah.
Mungkin,
saya belum siap jika harus selalu tampil baik, mungkin saya belum sepenuhnya
siap untuk mengalah. Mungkin saya takut berpisah dengan Ibuk dan Abik. Mungkin,
ah lagi-lagi hanya mungkin.
Tapi
the other hand, saya menikmati segala proses belajar saya, membaca
banyak hal, mendengarkan banyak hal, menjejali otak dengan makanan-makanan
berat, biar bagaimana pun, otak saya harus belajar mencerna tekstur-tekstur
agak kasar tak melulu lembut. Saya tahu, mungkin ini saatnya saya lebih banyak
mendengarkan, tidak banyak protes seperti biasanya.
Dan
entah, belakangan, sering seperti ada yang sedang bermain trampoline, siapa?
hati.
Blitar,
22 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar