Nggak nyangka, hampir sebulan ndak isi blog.
Huhuhu maaf. Berhubung sekarang malam jumat, alias off jadwal ngasih les, dan
besuk masuk kerja sesi kedua. Jadi di sela kepala pening karena flu berat dan
tangang menjumpal ingus yang terus keluar #hueks, saya ingin sedikit bercerita
malam ini.
Salah satu hal yang menarik dalam hidup adalah,
memiliki hasrat mengahadapi tantangan. Jujur, meskipun Psikologi dan anak-anak
adalah sesuatu yang saya sangat tertarik, tapi ternyata saya tetap menemui
kebuntuan-kebuntuan di dalamnya. Dan yang lebih menarik lagi ketika rasa
tertantang untuk menankhlukkan sesuatu yang sulit itu muncul.
Bulan kedua saya bekerja sebagai terapis,
saya sudah melai menemui tikungan-tikungan tak tersangkakan itu. Bu Santy, ketua
terapis di tempat saya mulai memberi mandat saya memegang peserta dengan level
lebih sulit dan sendiri. Suatu hari di seminggu lalu, adalah hari paling
menakutkan. Sehari sebelumnya, Bu Santy sudah mengirim sms bahwa besuk saya
memegang Dhede. “Kalahkan ketakutanmu.”
Gaya Bu Santy kalau lagi nyuruh sesuatu yang lebih berat, saya jawab
“Bismillah.”
Dari pagi saya sudah kepikiran, bagaimana
kalau Dhede ngamuk di kelas? bagaimana kalau mamanya marah? bagaimana kalau dia
melakukan sesuatu yang berbahaya, memecah kaca etalase misalnya? Aaaaaaa.
Dan benar. Detik-detik pertama saja Dhehe
sudah mulai menampakkan ketidakpatuhannya pada instruksi saya, dia duduk di
lantai dan terus meracau. Saya mencoba mengangkatnya, saya tidak kuat, berat
sekaligus dia terus meronta untuk duduk di lantai. Keringat saya sudah
bercucuran. Belum dapat apa-apa, belum fisioterapi atau brain gym, apalagi
materi terapi. Saya kelelahan memaksa Dhede duduk. Akhirnya saya lepaskan, saya
biarkan saja dia. Saya mengambil nafas panjang, “Dhede berrdirrriii.” dan
ajaib, Dhede berdiri sendiri. Cepat-cepat saya instruksi selanjutnya, “Dhede
duduk.” dia mau duduk!! dia mau duduk!! senengnya saya. Seneng sekaligus
jengkel pada diri saya, bagaimana saya bisa lupa jika ada beberapa anak autis
yang tidak menyukai sentuhan. Huffftttt
Tentang Dhede tidak berhenti sampai di sana.
Menit-menit berikutnya, meskipun ia mau duduk, bukan berarti proses berjalan
mudah. Saya harus menghalaunya berulangkali agar tidak melarikan diri dari
kelas. Itu Dhehe. Saya pikir ia anak paling sulit yang akan saya pegang,
ternyata saya salah. Hari berikutnya saya harus memegang Rere, sama autisnya
namun memiliki kecenderungan melukai orang lain, saya sempat dua kali mendapat
cubitan mesranya di tangan. Lalu kemarin, saya harus menghadapi Nanaz, bocah
laki-laki kecil pengidap celeral palsy. Ia tidak bisa berjalan sendiri, terus
menguluarkan air liur karena struktur mulutnya tidak sempurna, dan memiliki
tingkat agresi yang cukup tinggi.
Namun aneh, saya sama menggebunya dengan mereka.
Dua jam proses terapi berjalan cepat, dan meskipun sering kewalahan, saya bisa
memasukkan materi-materi terapi sedikit demi sedikit. Rasa lega tak terkira
selepas menyerahkan mereka kembali pada orangtuadan berjalan ke arah loker
sambil tersenyum “Saya bisa menghadapi mereka.”
Mungkin ini alasan Allah mengirim saya ke
tempat baru saya itu. Untuk mengajarkan banyak hal itu. Meskipun saya harus
kehilangan banyak waktu tidur sekarang, tidak masalah. Semoga saya semakin
mengerti tentang dunia ini. Semoga Allah mengizinkan saya lebih mendalami
tentang ilmu ini, aamiin.
Blitar, 6 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar