Titik
paling baik dalam mencintai adalah menerima dengan baik kekurangan
Bekerja
di suatu lembaga terapi memang suatu tantangan tersendiri bagi saya, menghadapi
anak-anak dalam keadaan normal saja harus luar biasa sabar, apalagi yang
luarbiasa dan di atas normal. Kemarin rekan sesama terapis nyeletuk begini,
“Allah itu ada-ada saja ya, si A sudah bisa diajak ngomong tapi artikulasinya
ndak jelas, si B artikulasinya jelas, dianya tapi yang nggak mau ngomong, lha
ini si C malah nggak bisa dua-duanya. Gusti Allah jan enek-enek ae.”
Terkadang
saya berpikir, Ya Allah bagaimana nanti mereka menjalani hidup, bagaimana
ketika mereka dewasa, bagaimana pernikahan mereka, anak mereka, pekerjaan
mereka, bagaimana masa tua mereka. Meskipun semestinya saya juga tidak
perlu khawatir, karena Allah yang menjadikan demikian pasti menjamin kehidupan
mereka entah bagaimana caranya.
Anak-anak
peserta terapi yang jumlahnya hampir seratus itu sepertinya hampir-hampir sama
kekurangannya. Tapi apabila dicermati, nyatanya tidak ada yang benar-benar
sama. Ada yang Autis namun bisa bicara tapi meracau, ada yang tidak mau bicara
sama sekali, ada yang membeo, ada yang mau bicara setelah dipaksa. Ada yang
Celebral Palsy yang jalannya lancar tapi perkembangan otaknya terhambat, ada yang
keduanya, ada yang ketambahan hiperaktif. Ada yang terapi audiovisual yang
semangat sekali belajar namun sama sekali belum mengerti isyarat apa pun, ada
yang memiliki sisa dengar namun pemalu, ada yang memiliki sisa dengar, semangat
belajar namun dari orangtua tidak mendukung.
Yang
mengharukan sebenarnya bukan ketika melihat anak-anak itu. Tapi ketika melihat
orangtua mereka. Karena tentunya mereka tidak pernah meminta pada Allah untuk
diberi anak yang demikian. Semangat mereka, kesungguhan mereka. Saya yakin,
mereka pada awalnya juga sulit menerima. Mengapa harus anak mereka yang
mengalami perbedaan itu? Bagaimana harus menjelaskan kepada saudara dan
tetangga ketika mereka melihat anak mereka yang sekedar salim saja tidak mau?
Atau teriak-teriak tidak jelas? Atau belum bisa berjalan di saat teman
seusianya berlari? Ya, mereka orangtua-orangtua hebat.
Saya
berpikir. Allah Mahaadil, setiap orang tentu memiliki sisi kurang. Hanya saja
ada yang begitu terlihat dan ada yang tidak. Mungkin, kekurangan-kekurangan terlihat
ini lebih tidak mudah diterima. Namun bagaimana ketika suatu saat oranglain
melihat kekurangan yang tidak terlihat itu, akan dengan mudahkah belajar
menerima?
Dicintai
karena kelebihan itu sesuatu yang lumrah. Banyak orang mampu melakukan itu dengan
mudah. Yang sulit adalah tetap mencintai ketika tahu kekurangan. Karena tak
semua orang mampu menerima dan bertahan kekurangan. Kekurangan disini bukan
tentang hal buruk yang kita sengaja atau mau untuk miliki dan tak melulu soal
fisik.
Saya
takut, suatu saat ketika ada seseorang yang mencintai saya namun tidak bisa
menerima kekurangan saya. Mungkin disinilah mengapa saya suka bertingkah semau
saya. Karena bagi saya, mencintai itu adalah mengatakan, “Tidak apa-apa, dia
memang begitu.” terhadap kekurangan seseorang. Mungkin, jika belum pada tahap
itu seseorang belum cukup untuk dikatakan mencintai.
Blitar,
8 Oktober 2014
2 komentar:
iya orang tua nya hebat ya...pasti sangat lapang sekali dadanya..baca tulisan ini sambil bayangin anak-anak itu. semoga Allah selalu menjaga mereka..Aamiin
Aamiin. Makasih ya Mas Danni :)
Posting Komentar