Tampilkan postingan dengan label my Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label my Indonesia. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 Maret 2014

Doa untuk Indonesia


-bahwa betapa pun hitamnya lembar sejarah, betapa pun merajalelanya kejahatan, namun kehidupan di dunia ini tidak kosong sama sekali dari manusia-manusia yang hidup digerakkan oleh nilai-nilai luhur, yang mendorong mereka berusaha menyelamatkan keadaan dan memulihkan kebajikan- Fiqhus Sirah

Dari dulu-dulu sejauh cerita-cerita yang pernah kubaca, dalam negeri antah berantah mana pun. Selalu menceritakan dua pemeran dalam sebuah kisah. Apa itu Nuh dengan kaumnya yang pembangkang, apa itu Muhammad saw dengan Abu jahal yang licik. Apa itu Roderick dengan si berani Tariq. Hingga kisah dunia modern. Apa itu Puteri Salju dengan perempuan sihir bernama Ravenna. Apa itu Mr Crab dengan Plankton yang selalu dengki, bahkan di negeri tak pernah tua Neverland pun, Peterpan harus berhadapan dengan bajak laut jahat bernama Hook.
Sepertinya, Allah memang menjadikan demikian menariknya hidup ini. Lalu ingatkah teman-teman dalam melihat segala cerita itu. bagaimana kita selalu ingin menjadi pembela kebenaran dari salah satu mereka, merasa ikut berdebar, menyalahkan si jahat, bahkan memberi jalan keluar dengan cara meneriaki televisi meskipun itu percuma. Kita selalu merasa perlu. Kejahatan tertumpas lalu semua penduduk berisi orang-orang baik semua. Tapi. Hey, inilah seninya hidup. Yang justru seharusnya dari sana kita banyak-banyak membaca makna.
Ketika membaca cerita atau melihat film, kita selalu ingin menjadi salah satu pemeran dalam andil melawan kejahatan, paling tidak, meski tak menjadi tokoh utama, kita akan membantu mereka sekuat tenaga. Melakukan hal sekecil apa pun, agar kita tak sekedar diam dan menonton tanpa ekspresi.
Hidup memang selalu seperti ini, tidak ada negeri jaya kaya raya gemah ripah loh jinawi semua penduduknya life happily ever after, selalu saja ada pihak-pihak yang membuat kecewa, ada saja sedikit rasa tak percaya pada para penguasa. Tapi sejauh cerita apa pun, tinggal diam tak peduli selalu bukan menjadi pilihan baik. Merutuki kebobrokan negeri hanya tindakan kekanakan yang bodoh. Karena itu, mari berbuat, sedikit saja sekecil apa pun, setidaknya ada yang kita lakukan. Agar kita menjadi pemeran yang tidak sekedar diam. Tidak, tidak harus selalu menjadi panglima berkuda. Hanya dukung mereka, dengan apa yang kita punya, atau paling sedikit dengan doa.
“Ya Tuhan kami, jangan Engkau jadikan berkuasa atas kami, orang-orang yang tidak mengasihi kami.” –Doa Khatam

n.b : Selamat menyambut pemilu, jangan lupa nyoblos ya ^^

Selasa, 18 Februari 2014

kelud and us



Beberapa hari lalu sejak status Kelud dinaikan dari siaga menjadi waspada, saya sudah merencanakan pulang ke Blitar. Akhirnya sama-sama Nita, saya memutuskan pulang pada jumat (14/2). Semakin hari, berdasarkan artikel-artikel di twitter dan status teman-teman lewat fb, Kelud semakin mengkhawatirkan saja kondisinya.
Kamis malamnya, sekitar pukul 22.30 saya tiba-tia dapat sms yang mengjutkan dari kakak. “Besok nggak usah pulang ” Demi membaca sepotong sms yang isinya ambigu itu, saya langsung telpon kakak saya. Suara dari seberang ramai, kakak bilang semua warga sudah keluar rumah, ada beberapa yang bahkan sudah mengusi, kilat merah menyambar-nyambar dan gemuruh dari arah kelud tak henti-henti.
Karena kakak beda rumah dengan saya, saya kemudian menelpon ibuk. Dan apa yang terjadi di rumah. Amat tenang. Bagaimana mungkin? sama-sama Blitarnya sama-sama kecamatannya. Ibuk bilang “Ini leyeh-leyeh di depan tipi, Abi keluar sama adek, sama Bintoro dan Ebid (anak-anak angkat Ayah saya)”
Ketidakjelasan berita itu justru membuat saya tidak bisa tidur, mau telpon lagi Eeh pulsa saya habis, beli pulsa dimana tengah malam begitu. Tidak ada setengah jam kemudian, beberapa teman SMA pada sms mengabarkan gunung Kelud meletus.
Baru paginya saya menelpon rumah. Melihat kondisi Surabaya yang turut kebagian hujan abu Kelud, sudah barang tentu Blitar jauh lebih parah.
“Bi, gimana di rumah?” Tanya dengan benar-benar khawatir
“Terjadi situasi yang sangat MENCENGANGKAN, kerikil beterbangan, warga desa berbondonga mengusi” *Gaya Host SILET*
Sumfah demi mendengar Ayah saya berkata begitu saya langsung ketawa tapi nggak sampe guling-guling. Ini situasi yang sebenarnya gimana sih?
“Ngusi Bi?”
“Iya di masjid, sedesa pada ngusi semua ke gunung pegat *nama gunung kecil di desa kami*”
“Kok pean nggak ngusi kesana juga?”
“Lha kenapa ngusi wong nggak ada nyuruh, pemerintah juga nggak, orang-orang desa aja yang lebai. Akhirnya malam-malam berangkat ngusi, paginya udah pada pulang.”
Demi mendengar jawaban itu, saya benar-benar guling akhirnya ketawanya. Ingatan saya jadi melayang-layang ke tujuh tahun lalu, ketika saya masih kelas sepuluh SMA. Jadi ceritanya tahun itu kelahiran anak kelud, situasinya mungkin lebih parah yang dulu, karena dulu status awasnya berhari-hari, tidak seperti erupsi yang ini.
Selama seminggu kami diteror hujan abu vulkanik, langit siang kayak malam, gelap dan berkilat merah. Yang membuat kenangan itu sedikit lucu di benak saya adalah, satu desa saya adalah orang-orang lebai semua. Situasi demikian itu kemudian menjadi sangat dramatis. Bayangkan daerah saya adalah daerah rank 3, sekitar 35 km dari lereng Kelud, yang Inshallah masih aman meski tidak mengusi. Tapi yang terjadi pada warga desa kami adalah lain. Meski tidak ada himbuan mengusi, seluruh warga pada heboh sendiri-sendiri.
Saya masih ingat, hari itu Idul Fitri hari kelima tahun 2007, Bayangkan pukul delapan malam ketongan udah pada bunyi dimana-mana, speaker masjid nyala mengabarkan “DIHIMBAU SELURUH WARGA UNTUK CEPAT-CEPAT MENGUSI, KARENA DUA JAM LAGI GUNUNG KELUD AKAN MELETUS” berita itu berhasil mengacau balaukan tatanan desa, tentangga-tetangga saya yang anak kecil menangis-nangis, yang dewasa sibuk memasukkan pakaian dan surat berharga kedalam koper, yang tua digotong keluar mengusi, hewan ternak turut diajak mengusi. Saya tidak menyangka situasi akan sericuh itu. Saya ikut gugup sekali waktu itu, batin saya, akan terjadi semacam tsunami di desa kami.
Dalam hitungan jam, desa kami akhirnya bersih sudah. Kericuhan menurun. Ternyata hampir semua warga desa berangkat mengusi lengkap dengan koper-koper besar dan hewan ternak mereka. Keluarga saya memilih di rumah karena berniat menyelamatkan diri di loteng salah satu tetangga.
Hal paling kocak terjadi esok paginya, karena malam itu Kelud tidak jadi meletus. Pagi-pagi pukul 05.00 saya sambil menyapu halaman melihat fenomena langka yang dramatis sekaligus konyol. Orang-orang pulang mengusi dengan bawaan mereka yang luar biasa banyaknya. Kasur, kardus bekar tv berisi pakaian dan makanan. Diangkut kembali pulang kerumah, sapi- sapi dituntun pulang, nenek kakek yang sudah tak kuat berjalan di angkut dengan mobil charteran. Saya seperti bisa membaca bagaimana pikiran mereka “GUNUNG KELUD PHP” wakakakakak.
Begitu kisah tentang kelud dan desa kami yang indah dan paling saya cintai diantara seluruh desa di dunia ini. Kecintaan kami luar biasa terhadap kelud, sehingga kelita ada orang luar Blitar bertanya keadaan Kelud, pasti kami menjawab “Alhamdulillah ‘cuman’ hujan kerikil dan gempa kecil” Itu mungkin bagi orang lain bukan ‘cuman’ tapi bagi kami, itu setidaknya lebih kecil dari apa yang kami sangkakan
Tulisan ini hanya diary pribadi saya sekaligus refleksi untuk menyikapi banyak hal tidak dengan tergugup –gugup dan sekedar ikut-ikutan.
“Ya Allah terimakasih Engkau menyelamatkan kami, teman-teman kami, tetangga kami, jadikan ‘bencana’ ini sesuatu yang semakin mendekatkan kami pada-MU”

Blitar, Futri Zakiyah Darojat

Kamis, 19 Desember 2013

Di Balik Muka Garang Indra Sjafri

Ini berawal dari keterpesonaan pada sepak terjang coach Grant Taylor dalam melatih tim Eagles menghadapi tim Giants dalam film Facing the Giants. Caranya menyemangati Brock yang mudah menyerah itu menjadi tangguh, menyemangati David yang pemalu menjadi penendang handal. Kepercayaan diri dalam membawa klub yang kurang ternama melawan juara bertahan dalam pertandingan American Football. Dia selalu bilang “ What is Imposible in God  Apa yang tidak mungkin untuk Tuhan?.
Kemudian pertengahan November kemarin, teman saya Yosua mengirim BBM tentang seminar Psikologi Keluarga di UIN Malang, itu berarti di kampus sahabat saya si Ayin (jadi bisa nebeng nginep maksudnya). Pucuk dicinta ulam tiba, sempurna bulatlah tekat saya untuk mendaftarkan diri ke acara itu.
Sabtu kemarin (7/12) bersama  Nisa, Dila, Akbar dan Wisma, saya akhirnya benar-benar datang ke kota Malang. Singkat ceritanya setelah melalui beberapa acara pembuka, munculnya sosok Indra Sjafri (Head Coach TIMNAs U-19) dan Guntur Cahyo (Coach Mental), sayang sekali sang kapten, Evan Dimas tidak bisa datang karena masa karantina.
olahraga.plasa.msn.com
First sight buat Coach Indra adalah serem, apalagi kumisnya. Kayaknya galak gitu aja bawaannya. Tapi begitu beliau ngmong, woooh tersulap sudah gedung sport center UIN Malang jadi macam gelora sepuluh November saat Bonek bertanding. Semangat cetar membahana badai. Bapak-bapak yang duduk di depan saya sampai mengepal-kepalkan tangan gaya bung tomo pula. Merinding memang mendengar setiap kalimat Indra Sjafri. Yah, pantas lah jika U-19 bisa lolos sampai piala Asia. Coachnya macam ituuu.
Saya bertekat membawa Indonesia ke piala dunia, kita memilih MIMPI kelas dunia. Karena itu, usaha keras yang harus kita bayar adalah standart dunia.” Beliau sih, berkatanya biasa aja sambil duduk dengan wajah datar pula. Tapi seperti ada energi positif dari kepercayaan diri beliau.  Jadi beliau bercerita (tetap dengan wajah seremnya) bagaimana jatuh bangun membangun kekuatan tim nas u-19 hingga bisa berjaya seperti saat ini. Menurut penuturan beliau, ketika ditunjuk sebagai pelatih timnas u-19 beliau sudah disodori pemain-pemain. “Pemain-pemain kota titipan para pejabat. Begitu beliau menyebutnya yang kemudian beliau tolak mentah-mentah. Saya tidak mencari tukang tendang bola, tapi seorang pemain yang sekaligus menjadi panutan nasional, bisa menjadi contoh masyarakat Indonesia. Sambung beliau yang disambut riuh tepuk tangan panjang.
Karena tekat itulah beliau harus mencari sendiri bibit-bibit unggul sendiri, dengan dana yang terbatas dari pemerintah sehingga sering menggunakan dana pribadi, tidur di hotel berdesak-desakan bagi tim beliau, itu bukan masalah. “Mau ada duit, mau tidak ada duit, mau makan atau tidak makan, kami menginginkan yang terbaik untuk bangsa ini.” tutur beliau.
Saya melihat sendiri dalam diri beliau memang terpancar energi positif yang penuh percaya diri. Ada kalimat menarik yang beliau katakana, begini rekanya :
Ada seorang wartawan bertanya pada Coach Indra pasca kemenangan melawan Brunei
Wartawan : Bagaimana Coach, apakah Indonesia nanti bisa samai Korea Selatan?
Coach Indra : Jangankan samai, Indonesia BISA kalahkan Korea Selatan. Lihat saja Nanti.
……….
“Banyak orang yang kemudian bilang, Indra Sjafri congkak, sombong, sesumbar. Tapi biarlah. Namun, di sisi lain saya juga takut. Saya khawatir, bagaimana kalau ternyata Indonesia tidak menang, akhirnya malam-malam selepas shalat saya berdoa sama Allah, Ya Allah, Bagaimana ini ya Allah, saya sudah bilang pada mereka Indonesia akan menang melawan Korea Selatan, Bagaimana ini, kalau tidak menang saya pasti akan malu ya Allah, saya mohon bantulah kami. Sesudah itu saya lega, saya pasrahkan semua kepada Tuhan, biar Dia yang menentukan, saya yakin Tuhan di belakang saya.”
Begitulah Indra Sjafri, hatinya ternyata tak seseram mukanya (peace Coach ^^v). Dibalik ketegasan pada raut mukanya ada tangisnya di hadapan Tuhannya. The core point dalam segala hal (baik itu olahraga atau apa pun) “Yakinlah bahwa Tuhan di belakang kita.

Rabu, 27 Maret 2013

Paddington : Tentang Negeriku


Seperti yang biasa kuceritakan, dalam perbincanganku dengan Salman, perbandingan jumlah suara kami dan suara nafas kami adalah 2:3. Seperti perbandingan perairan dan daratan Indonesia. Seperti juga hari itu, hujan menyandra kami di halte Quadranggle. Hanya kami berdua. Jangan dikira, setelah 6 bulan pertemanan aneh kami, kami akan begitu akrab untuk saling mengomentari apa yang kami lihat, tidak. Salman bukan tipe komentator. Aku pikir, ia hanya akan bicara mengenai arsitek, sejarah, dan pancasila, khususnya bab cinta tanah air.
            Ia berdiri di samping kira – kira selengan di kananku. Seperti tampilan yang biasa ia kenakan, kacamata minus yang sangat tebal (dia pernah mengatakan minus delapan), dengan celana kain coklat tua, kemeja lengan pendek, yang hari ini sedikit membuatnya lebih muda adalah rompi cardigan :D. Dan tepat, tigapuluh menit berlalu hanya suara hujan yang terdengar, Salman sibuk dengan note padnya, entah bermain game atau yang lain aku tak tahu, ia terlalu tinggi untuk kujangkau dengan lirikan mata.
“Kau bosan, mau mendengar cerita.” menit ke tigapuluh enam ia beicara, huff…aku menghela nafas lega, kali ini aku menang untuk tidak memulai pembicaraan terlebih dulu.
“Sebelumnya kau belum pernah menawariku seperti ini.”
“Ya sudah kalau tidak mau, tidak…”
“Mau….!” buru – buru ku potong perkataannya. Aku tahu, Salman spesies rasionalis yang tak suka bertele – tele. Kemudian ia tertawa, ini kali pertama aku melihatnya tertawa tanpa beban, perlu di kulingkari tanggal berapa hari itu :D
“Kau tahu satu alasan yang membuatku tidak pernah membenci orang Indonesia sekali pun ia tikus berdasi yang perutnya gembung oleh uang rakyat. Pada hakikatnya, aku kasihan terhadap mereka.”
“Kau tidak tahu benar masalahnya.”
“Kau yakin aku tidak tahu.” Aku jadi berpikir ulang untuk menggeleng. “Aku tahu karena kita, aku dan orang di sana itu sama – sama bodoh. Kami mempunyai darah yang sama setidaknya, Indonesia. Justru musuh kita sejatinya adalah Setan – setan yang mengeruk kekayaan alam Indonesia,karena  pada hakikatnya kemerdekaan kita hanya formalitas. Karena saat ini bangsa kita dijajah dengan penjajahan terkejam di dunia, dimana yang terjajah tidak merasa dijajah justru mera kenikmatan dengan tololnya”
“Aku bingung dengan bahasamu.”
“Hufff…” Ia menghela nafas, mungkin jengkel. “Kapan kau lebih cepat cerdasnya.”
“hisch…”
Ia tertawa melihat ekspresi  jengkelku.
“Begini, kau tahu…apa misi mereka…”
“Amerika?”
“Tepat. Kau tahu apa misinya?”
“Mengeruk kekayaan alam Indonesia.”
“Bukan itu sejatinya.”Lanjutnya, “Kau tahu siapa di belakang mereka?”
“Tolong jangan banyak Tanya, sudah ceritakan saja.”
Hahahaha . Kali ini tawanya benar – benar lepas.
“Kau itu mengaku  warga Indonesia yang baik, Tapi kau tidak tahu masalah utamanya. Israel, itu ingin menyebarkan ideologi Yahudinya, Dan Ia ingin menguasai dunia dengan ideology setannya itu. huft ini mungkin terlalu rumit. Sejak dahulu Presiden Soekarno tidak pernah setuju dengan bentuk perjanjian dengan Amerika karena beliau tahu sifat asli mereka, Freeport kau tahu, mereka baru berhasil menguasai ketika kepemimpinan Soeharto. Dan bagaimana Indonesia berangsur – angsur menuju kebrobokan. Bagaimana kepemimpinan Habibie kita melepas kepulauan timor – timor.”
“Mereka itu yang duduk di sana, belum tentu berhati buruk, mereka hanya alat Amerika menjajah dunia.” Salman tersenyum menanggapi jawabanku.
“Kau tahu, bagaimana Sri Mulyani menghilang, kau tahu bagaimana bisa  tiba – tiba orang tak dikenal macam Budiono, yang selanjutnya pun tidak juga di kenal bisa menjadi wakil kepala negara, dan yang terakhir, bagaimana anas urbaningrum, andi malarangeng, yang disebut tersangka bisa keluyuran di mana – mana, dan terakhir, kasus korban tersangka suap daging, malam itu di tangkap, malam itu juga di sel-kan.” Salman seperti hampir menangis. “Tapi bangsa Indonesia tidak menyadari kekacauan ini. Orang – orang kita justru bangga dan berbondong – bondong menjadi penyembah produk mereka. Mereka mengajak anak bangsa menyukai seks bebas dari pada menikah mudah dengan dalih menuntut karir, mengajarkan pada anak gadiss yang polos – polos itu untuk tidak berpakaian,ckckc”
“Lalu apa yang kau lakukan Salman, menjadi salah satu di antara mereka yang kau kasihani itu?”
“Aku sudah menjadi bagian dari mereka, kita terlalu bodoh untuk berhadapan dengan mereka, Itulah kelebihan mereka, mereka pintar, itu ujian. Hanya, pertahankanlah diri, dan sebisanya pertahankan orang dekatku.” Jujur, aku sedikit Geer ketika ia berkata orang terdekatku sambil melihatku.
“Bagaimana kau bisa tahu sedalam itu?” Kataku kemudian
“Dunia ini tanpa batas, anak muda,” Jawabnya seraya mengayunkan note padnya.
“Aku harus pergi, itu bus ku.”
“Yang perlu kau ingat, jangan membenci negaramu.”
“Aku harus belajar lebih banyak darimu kakak.”
“Seharusnya kau dari awal memanggilku begitu.”