Beberapa
hari lalu sejak status Kelud dinaikan dari siaga menjadi waspada, saya sudah
merencanakan pulang ke Blitar. Akhirnya sama-sama Nita, saya memutuskan pulang
pada jumat (14/2). Semakin hari, berdasarkan artikel-artikel di twitter dan
status teman-teman lewat fb, Kelud semakin mengkhawatirkan saja kondisinya.
Kamis
malamnya, sekitar pukul 22.30 saya tiba-tia dapat sms yang mengjutkan dari
kakak. “Besok nggak usah pulang ” Demi membaca sepotong sms yang isinya ambigu
itu, saya langsung telpon kakak saya. Suara dari seberang ramai, kakak bilang
semua warga sudah keluar rumah, ada beberapa yang bahkan sudah mengusi, kilat
merah menyambar-nyambar dan gemuruh dari arah kelud tak henti-henti.
Karena
kakak beda rumah dengan saya, saya kemudian menelpon ibuk. Dan apa yang terjadi
di rumah. Amat tenang. Bagaimana mungkin? sama-sama Blitarnya sama-sama
kecamatannya. Ibuk bilang “Ini leyeh-leyeh di depan tipi, Abi keluar sama adek,
sama Bintoro dan Ebid (anak-anak angkat Ayah saya)”
Ketidakjelasan
berita itu justru membuat saya tidak bisa tidur, mau telpon lagi Eeh pulsa saya
habis, beli pulsa dimana tengah malam begitu. Tidak ada setengah jam kemudian,
beberapa teman SMA pada sms mengabarkan gunung Kelud meletus.
Baru
paginya saya menelpon rumah. Melihat kondisi Surabaya yang turut kebagian hujan
abu Kelud, sudah barang tentu Blitar jauh lebih parah.
“Bi,
gimana di rumah?” Tanya dengan benar-benar khawatir
“Terjadi
situasi yang sangat MENCENGANGKAN, kerikil beterbangan, warga desa berbondonga
mengusi” *Gaya Host SILET*
Sumfah
demi mendengar Ayah saya berkata begitu saya langsung ketawa tapi nggak sampe
guling-guling. Ini situasi yang sebenarnya gimana sih?
“Ngusi
Bi?”
“Iya
di masjid, sedesa pada ngusi semua ke gunung pegat *nama gunung kecil di desa
kami*”
“Kok
pean nggak ngusi kesana juga?”
“Lha
kenapa ngusi wong nggak ada nyuruh, pemerintah juga nggak, orang-orang desa aja
yang lebai. Akhirnya malam-malam berangkat ngusi, paginya udah pada pulang.”
Demi
mendengar jawaban itu, saya benar-benar guling akhirnya ketawanya. Ingatan saya
jadi melayang-layang ke tujuh tahun lalu, ketika saya masih kelas sepuluh SMA.
Jadi ceritanya tahun itu kelahiran anak kelud, situasinya mungkin lebih parah
yang dulu, karena dulu status awasnya berhari-hari, tidak seperti erupsi yang
ini.
Selama
seminggu kami diteror hujan abu vulkanik, langit siang kayak malam, gelap dan
berkilat merah. Yang membuat kenangan itu sedikit lucu di benak saya adalah,
satu desa saya adalah orang-orang lebai semua. Situasi demikian itu kemudian
menjadi sangat dramatis. Bayangkan daerah saya adalah daerah rank 3, sekitar 35
km dari lereng Kelud, yang Inshallah masih aman meski tidak mengusi. Tapi yang
terjadi pada warga desa kami adalah lain. Meski tidak ada himbuan mengusi, seluruh
warga pada heboh sendiri-sendiri.
Saya
masih ingat, hari itu Idul Fitri hari kelima tahun 2007, Bayangkan pukul
delapan malam ketongan udah pada bunyi dimana-mana, speaker masjid nyala
mengabarkan “DIHIMBAU SELURUH WARGA UNTUK CEPAT-CEPAT MENGUSI, KARENA DUA JAM
LAGI GUNUNG KELUD AKAN MELETUS” berita itu berhasil mengacau balaukan tatanan
desa, tentangga-tetangga saya yang anak kecil menangis-nangis, yang dewasa
sibuk memasukkan pakaian dan surat berharga kedalam koper, yang tua digotong
keluar mengusi, hewan ternak turut diajak mengusi. Saya tidak menyangka situasi
akan sericuh itu. Saya ikut gugup sekali waktu itu, batin saya, akan terjadi
semacam tsunami di desa kami.
Dalam
hitungan jam, desa kami akhirnya bersih sudah. Kericuhan menurun. Ternyata
hampir semua warga desa berangkat mengusi lengkap dengan koper-koper besar dan
hewan ternak mereka. Keluarga saya memilih di rumah karena berniat
menyelamatkan diri di loteng salah satu tetangga.
Hal
paling kocak terjadi esok paginya, karena malam itu Kelud tidak jadi meletus.
Pagi-pagi pukul 05.00 saya sambil menyapu halaman melihat fenomena langka yang
dramatis sekaligus konyol. Orang-orang pulang mengusi dengan bawaan mereka yang
luar biasa banyaknya. Kasur, kardus bekar tv berisi pakaian dan makanan.
Diangkut kembali pulang kerumah, sapi- sapi dituntun pulang, nenek kakek yang
sudah tak kuat berjalan di angkut dengan mobil charteran. Saya seperti bisa
membaca bagaimana pikiran mereka “GUNUNG KELUD PHP” wakakakakak.
Begitu
kisah tentang kelud dan desa kami yang indah dan paling saya cintai diantara
seluruh desa di dunia ini. Kecintaan kami luar biasa terhadap kelud, sehingga
kelita ada orang luar Blitar bertanya keadaan Kelud, pasti kami menjawab
“Alhamdulillah ‘cuman’ hujan kerikil dan gempa kecil” Itu mungkin bagi orang
lain bukan ‘cuman’ tapi bagi kami, itu setidaknya lebih kecil dari apa yang
kami sangkakan
Tulisan
ini hanya diary pribadi saya sekaligus refleksi untuk menyikapi banyak hal
tidak dengan tergugup –gugup dan sekedar ikut-ikutan.
“Ya
Allah terimakasih Engkau menyelamatkan kami, teman-teman kami, tetangga kami,
jadikan ‘bencana’ ini sesuatu yang semakin mendekatkan kami pada-MU”
Blitar, Futri Zakiyah Darojat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar