Cerpen ini termuat dalam majalah Annida edisi Maret 2014. Ini tulisan saya
yang mendapat lumayan banyak testimoni dari pembaca diantara tulisan saya yang
lain. Semoga bermanfaat :)
Dalam
duniaku, hidup adalah sehangat kecupan pagi Mama, sesegar gelak tawa Ayah
karena leluconku, dan secarik stiky note warna-warni yang tertempel di seluruh
tempat, kulkas, pintu kamar mandi, dinding pantry, dekat rak sepatu atau
manapun yang memungkinkan. Karena seluruh keluarga kecil kami percaya, cinta
harus diungkapkan, meski dengan stiky note ukuran 10x10 cm. “Happy exercise
Darl :*” tulisan Papa di rak sepatu. “Nasi goreng di microwave sayang, hope you
enjoy it” tempel Mama di pintu kulkas. “Hey Gigi kelinci, jangan lupa ransel
Abang balikin.” Tempel Kak Hasbi di pintu kamar. Karena Mama dan Ayah adalah
pekerja kantor yang luar biasa sibuk, seperti itulah cara kami mengekspresikan
cinta.
Aku
rasa, tidak ada yang aneh dengan keluarga kami. Ya, tidak. Tidak sebelum aku
menemukan orang seperti Akhyar, ups maksudku Bang Akhyar, suamiku. Laki-laki
setinggi tiang bendera yang tiga bulan
lebih tua dariku.
Aku
(dipaksa) menikah dengannya dua minggu yang lalu, kami adalah korban polos
pencomblangan orang tua seperti yang sering muncul di sinetron. Klasik bukan?
tapi serius, aku mengalaminya. Tante Laksmi, Mama Akhyar, teman baik Mama.
Sejak kapan? aku tak tahu, mungkin sejak di Lauh Mahfud, aku pikir ini tidak
berlebihan karena mereka terlampau dekat. Aku dan Akhyar, ups maksudku Bang
Akhyar, suamiku, adalah anak-anak manis yang patuh pada orangtua kami.
Bagitulah awal kisah ini.
***
Aku
membuntutinya dari belakang, menatap punggung bidang Bang Akhyar. Aku baru
menemukan satu ini di dunia. Seorang suami berjalan tak menjajari istrinya. Ia
beberapa langkah di depanku, tak menggubris aku yang menyeret koper hijau lumut
itu sendirian, berjalan kelelahan dengan rok panjang dan udara Kota Surabaya
yang terlampau menyengat. Papa Bang Akhyar menghadiahi kami sebuah rumah demi
pernikahan kami, rumah baru di pusat
Kota Surabaya. Dan mau tak mau demi menghargai si pemberi, rumah itu harus kami
tempati.
Tentu.
Aku tidak akan meminta Bang Akhyar menyejajariku, selain karena gengsi, aku
pikir seharusnya dia sendiri yang peka. Dimana-mana meskipun kita punya barang
sendiri-sendiri, tidak seperti ini ceritanya kalau sudah suami istri, koper elu
koper elu, koper gue koper gue. Apa perlu aku sekolahkan kepribadian suamiku
itu. Aku hampir sesak nafas karena menggerutu. Hampir limaratus meter berjalan,
aku tak kuat. Lututku sudah seperti rantai karatan. Dia? jangan tanyakan.
Menoleh pun tidak. Mamaaaa….
Tiba-tiba
tercetus ide, biarlah biar dia berjalan sendiri. Kalau pun tidak peduli, biar.
Biar aku kembali kepada Ayah, biar aku kembali ke Medan saja. Biar kedua
orangtuaku tahu ulah menantu pilihan mereka. Kemudian aku benar-benar
menghentikan langkah, melemparkan diri, duduk di tepian trotoar, aku lelah. Aku
pikir, dia tak akan berbalik karena terlampau tak peduli, namun beberapa langkah
menyadari ketiadaanku di belakangnya, ia memutar arah, Berdiri di sebelahku,
lalu membungkuk membenahi tali sepatu.
“Kau
lelah?” Katanya datar, aku tak menoleh, hanya menggeleng. “Baik, kita istirahat
sebentar.” Lanjutnya lalu duduk di sebelahku, satu meter di sebelahku. Tepat
seperti dua orang asing. Ya Tuhaaan…
“Aku
tidak lelah.” Kataku, kulihat dia menoleh, seperti ingin mengatakan, lalu?.
“Aku hanya merasa kau tak menyukaiku, atau aku hanya menjadi beban bagimu,
duluan saja. Aku bisa menemukan sendiri rumah kita.” Kataku menahan kesal.
“Kalau
begitu, Ayo! kita belum shalat ashar.” Katanya sembari berdiri lalu merebut pegangan
koper dari tanganku, mengambil alih menyeretnya. Sama sekali tak menanggapi
perkataanku. Oh Gooood…makhluk apa yang kau kirim ini. Tak ada yang bisa
kulakukan selain membuntutinya.
***
Aku
pikir segala kekakuan itu akan berakhir ketika semakin bertambah hari usia
pernikahan kami. Nyatanya tidak. Bang Akhyar tidak ada perubahan. Kami makan,
tidur, bersih-bersih rumah dalam keadaan kaku, tidak jauh seperti yang
kugambarkan di atas.
Sebulan
melalui itu, aku benar-benar tak tahan. Akhirnya pecah sudah tangisanku dalam
telepon kepada Mama. “Mungkin dia masih canggung, kamu sudah coba kirimi dia
puisi, Sayang? Atau membuatkannya nasi goreng cetak hati? Atau puding coklat?”.
Mendengar perkataan Mama aku sedikit mendapat pencerahan. Baik, aku mengalah.
Aku yang akan bersusah payah membuatnya mencintaiku.
Aksi
pertama yang kulakukan adalah menyelipkan puisi di kertas gambarnya. Ohya, Bang
Akhyar adalah arsitek. Pekerjaan itulah salah satu alasan yang menuntun kami
berpindah kota.
Kau itu sebenarnya apa?
Aku bertemu beribu jenis manusia, namun tidak
ada yang seaneh kau, seunik, dan seajaib kau
Aku sempat berpikir, jangan-jangan kau alien
tersesat dari Mars
Tapi wujudmu sama dengan yang lain, kulit,
hidung, rambut, seperti orang pada umumnya.
Tidak atau belum pernah kujumpai manusia mampu
menimbulkan rasa semacam itu pada diriku, dan kau mampu..
sejengkel itu sebahagia itu, dalam rentang yang
panjang dan waktu yang singkat
akhir-akhir ini, saat kau sering tak di rumah, aku memulai kesimpulan aneh
bahwa jumpa tak pernah menyelesaikan rindu
rasa apa ini ya Tuhan…
aku mulai curiga, jangan-jangan
kamu alien berbentuk manusia…
Aku
kehabisan ide untuk menbuat puisi. Sifat dan dan sikapnya tak ada yang indah
untuk di puisikan, dan akhirnya beberapa coretan di ataslah yang kuselipkan
diam-diam dalam kertas kerjanya. Yah meskipun tak begitu romantis, paling tidak
menyiratkan bahwa aku mulai mencintainya. Meskipun nyatanya belum.
Dua
hari setelah penempelan itu berlalu, tak ada perubahan. Aku curiga,
jangan-jangan ia tak membacanya. Akhirnya kuberanikan diri mengecek ulang.
Sudah tidak ada disana. Kemana? Apakah jatuh? Atau menurut dia biasa saja? Tapi
sejelek apa pun, demi menghargai usahaku, harusnya ia mengatakan “Terimakasih
puisinya.” atau apalah yang lain. Aku justru semakin diliputi prasangka. Dan
perjalanan kehidupanku tetap : kaku.
***
Baik.
Usaha pertama gagal. Tak apa, wajar. Aku harus mengalah lagi membuat ide lain
untuk mencairkan kebekuan kami. Tidak masalah, aku belum bekerja dan memiliki
banyak waktu di rumah. Misi kedua : Membuatkan puding. Setelah seharian bersusah
payah men-search resep puding, berbelanja bahan, lalu membuatnya seorang diri.
Ketika menunjukkan jam Bang Akhyar pulang kerja aku menjadi cemen. Aku takut
memberikan padanya. Aku takut harga diriku turun seketika ketika ia tak
berespon. Huff…Okay dengan bantuan stiky note kutulis “Dear alien, di kulkas
ada sepiring puding cokelat untukmu, sincerely, Bidadari Salju.” menempelkan di
dekat tempatnya menggantung dasi, lalu aku pergi belanja. Tepatnya,
mencari-cari alasan untuk pergi kemana pun. Entah kenapa, aku jadi grogi
sendiri.
“Terimakasih
pudingnya. Enak.” Katanya menyambutku. Aku kikuk. Yes, berhasil. Aku tersenyum.
Aku pikir dia akan berjalan lalu mencium pipiku atau paling tidak suasana
berikutnya akan menghangat. Tapi ternyata sudah. Cukup sampai disitu. Tak ada
percakapan lanjutan dan ia mulai bergelut dengan kertas gambarnya kembali.
Rasanya, aku ingin lari dan loncat ke sumur tetangga.
Misi
demi misi kulakukan, aku mengalah. Aku mengupayakan segala cara, memutar otak, jungkir
balik mencari ide, menghabiskan biaya. Mengirimkan kartu pos ke kantornya.
Membelikan baju olahraga couple.
Menyiapkan nasi goreng cetak hati seperti saran Mama. Dan hasilnya
nihil. Dua bulan terakhir ini, aku benar- benar hidup dengan alien.
Dan
pada titik beku kebosanan. Kerinduan akan keceriaan rumah Ayah dan Mama. Kelelahan.
Kehabisan ide. Keadaan terkucil tak memiliki teman di perumahan baru yang
asing, ibu rumah tangga baru yang menganggur seharian. Munculah duga prasangka
setan. Apakah sebenarnya dia tidak menginginkan pernikahan ini? Apakah ada
wanita lain di kota ini yang menarik baginya? Apa aku sejelek itu dan pantas
untuk diacuhkan? Tangisku pecah. Mama
yang mendengar ceritaku hampir setiap hari ikut khawatir.
“Hania
nggak kuat Ma. Sepertinya Bang Akhyar tidak menyukaiku. Ia diam sepanjang hari
dan membalas usaha-usahaku dengan sangat dingin. Hania ingin pulang,Ma.”
“Maafkan
Mama sayang. Tidak seharusnya Mama memaksakan perjodohan itu. Maafkan Mama.”
Dan
terjadilah tangis menangis antara ibu dan anak. Kabar kekakuan Bang Akhyar
akhirnya terdengar Ayah. Ayah naik pitam
mendengar berita dari Mama, yang barangkali sudah berbumbu secara berlebihan.
“Bagaimana
kabar kamu, Sayang?” Suara Ayah lembut. Ayah sibuk luar biasa, karena itu
beliau jarang menelponku. Aku merindukan dipanggil demikian. Melankolisku
lagi-lagi keluar : menangis. Tak mampu menjawab dengan kata apa-pun. Aku justru
sibuk menahan agar tangisku tak terdenger hingga seberang telepon. “Hania
dengar Ayah? Han…? Han…?” Kugigit bibirku. Mendengar suara Ayah yang lembut
penuh kasih justru semakin menyesakkan. Demi tak ingin Ayah mendengar
tangisanku, kututup teleponnya.
***
“Abang
ingin bicara.” Suara Bang Akhyar lebih dingin dari biasa, aku berbalik menutup
laptop lalu duduk menghadapnya. “Apa salah Abang hingga Kau tega mengadu pada
Ayahmu jika Abang tak becus mengurusmu?” Aku menggeleng. Tidak. Aku melihat
muka cokelatnya yang bersih memerah. Ya Allah…Apa yang dilakukan Ayah.
Seharusnya aku sudah mengira dari awal. Ayah sudah pasti membela putri
kesayangannya ini. Aku menggeleng nyaris menangis.
“Aku
tidak cerita apa-apa pada Ayah. Aku hanya menangis di telepon kemarin.” Jawabku
nyaris menangis.
“Apa
aku pernah memperlakukanmu dengan buruk?”
Aku
menggeleng. Aku tak pernah dihadapkan situasi dimarahi seperti ini. Kugigit
bibir bawahku semakin keras menahan tangis.
“Aku
ingin pulang ke Medan.” Pecah sudah tangisanku.
“Tidak
boleh.” Suaranya mengeras.
“Kau
tidak mencintaiku, buat apa aku disini?”
Entah
mengapa, demi mendengar kalimat terakhirku Bang Akhyar menoleh kaget. Menatapku
tajam sekian detik. Aku semakin takut. Semakin deras air mataku.
“Kau
memperlakukanku dengan dingin. Aku ragu kau memiliki wanita lain.”
“HANIA!!!”
Bang akhyar berteriak keras sekali, kupingku sakit. Aku mencengkeram tangan.
Airmataku membanjir.
“Lalu
Apa?? Kau tak pernah membalas puisiku, surat kecil di kertas kerja juga tak
pernah terjawab, kau tak antusias menyantap puding yang aku buatkan susah
payah, bahkan kau tak mengatakan kalau kau juga mencintaiku. Dan
memperlakukanku dengan sangat dingin. LALU APA??” Wajahku sudah becek, airmataku
bahkan seperti tanggul jebol. Aku mempersiapkan telinga jika Bang Akhyar akan
berteriak lebih kencang.
“Maaf.”
Aku tersentak.Tiba-tiba dia menarikku ke pelukannya, lalu berkata lagi. “Maaf,
Maaf, aku tak tahu kalau itu yang kau harapkan.” Aku masih terisak.
“Aku
tidak pernah seumur hidup diperlakukan dengan dingin seperti kau
memperlakukanku. Aku terbiasa dipanggil sayang dengan lembut, aku tak biasa
keluar belanja atau ke toko buku sendirian, dan itu menyiksaku.” Aku terus
berkata di sela isakan.
Bang
Akhyar melepas pelukannya. “Maaf, aku tak bisa membahagiakanmu dengan cara
seperti itu. Aku malu berucap ‘Sayang’. Tak terbiasa. Aku tak bisa menulis
puisi. Aku pikir kau berani dan tak ingin diganggu jika ke toko buku. Maaf.
Sekarang keputusan di tanganmu. Jika kau tak bahagia di sini. Silahkan pulang
ke Medan untuk menenangkan diri.”
Aku
berkemas-kemas. Memasukkan sedikit baju ke dalam koper kecil. Masih sambil
terisak. Setidaknya aku sudah mendapat izin suamiku untuk pulang ke Medan. Aku
merindukan Mama. Bang Akhyar duduk di tepi ranjang. Diam. Diam? Lambat kusadari
bibirnya bergetar seperti menahan tangis. Perasaan bersalah tiba-tiba
menelusupi hatiku. Tapi tekatku sudah bulat. Kuseret koper kecilku berjalan ke
arah pintu. Bang Akhyar mengikutiku.
“Kau
tidak berubah pikiran?”
Langkahku
terhenti, tepat di depan pintu. Lalu kuputuskan berbalik mengahadap suamiku.
Matanya merah.
Aku
menggeleng. Maaf.
“Kau
harus tahu, seumur hidup aku tak pernah diajari berkata cinta secara lugas.
Keluarga kami pemalu. Tapi bukan berarti kami tak saling mencintai. Setiap
mereka, memiliki cara dalam mencinta, dan aku lupa sekaligus bingung memikirkan
cara bagaimana mencintaimu. Tapi kau harus tahu, ketika orang lain tak
menunjukkan cintanya seperti cara yang kau ingini, bukan berarti dia tak
mencintaimu dengan seluruh yang ia punya. Aku mencintaimu Hania.”
Tiba-tiba
saja ada yang membuatku lari ke arahnya dan memelukknya erat-erat. Air mata
yang ia tahan dari tadi meleleh sudah. Selanjutnya, rasa bersalah datang
berbondong memenuhi hatiku, pegangan koper terlepas dari tangan. Aku memeluknya
erat. Berkelebatan banyak hal. Ia yang tak pernah absen membangunkanku di sepertiga
malam terakhir. Tak menyantap nasi goreng bentuk hati karena berpuasa.
Menjemurkan cucian meski ia sudah hampir terlambat. Mengantar ke supermarket
meski menunggu dengan wajah dingin. Dingin? apakah mungkin aku kurang teliti.
Ia mungkin hanya bingung. Ya Tuhan…jahat sekali aku memaksanya. Menghakiminya.
“Kau
tahu Bidadari Salju, aku mengambil dan menempel kembali puisi atau kata-katamu
di buku agendaku. Karena aku ingin belajar, suatu saat aku ingin bisa
membalasnya. Suatu saat akan mampu menulis puisi semahir kau. Aku juga ingin
membalas smsmu, aku mengetik I Love You More, even Most. Tapi aku selalu malu,
aku takut kau tertawakan. Aku bodoh ya? Seharusnya ku kirim saja. Dan meski kau tertawakan,
itulah resiko yang harus kuterima.” Mendengarnya berbisik demikian aku justru
semakin menangis. Menangisi segala prasangka buruk selama ini.
“Bidadari
Salju, mau kah kau tetap tinggal di sini bersamaku? Bersama alien yang aneh
ini?” Tawaku muncul tiba-tiba lalu kutahan cepat-cepat demi melihatnya berlutut
di depanku.
Aku
mengangguk.
Surabaya,
7 Februari 2014
Untuk
setiap pemilik cinta yang mengungkapnya dengan cara berbeda
Futri
Zakiyah Darojat
Mahasiswa
Psikologi dan Anggota Muslim Youth Club Universitas Negeri Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar