Tampilkan postingan dengan label short story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label short story. Tampilkan semua postingan

Jumat, 08 Agustus 2014

Kisah Cinta Alien dan Bidadari Salju


Cerpen ini termuat dalam majalah Annida edisi Maret 2014. Ini tulisan saya yang mendapat lumayan banyak testimoni dari pembaca diantara tulisan saya yang lain. Semoga bermanfaat :)

Dalam duniaku, hidup adalah sehangat kecupan pagi Mama, sesegar gelak tawa Ayah karena leluconku, dan secarik stiky note warna-warni yang tertempel di seluruh tempat, kulkas, pintu kamar mandi, dinding pantry, dekat rak sepatu atau manapun yang memungkinkan. Karena seluruh keluarga kecil kami percaya, cinta harus diungkapkan, meski dengan stiky note ukuran 10x10 cm. “Happy exercise Darl :*” tulisan Papa di rak sepatu. “Nasi goreng di microwave sayang, hope you enjoy it” tempel Mama di pintu kulkas. “Hey Gigi kelinci, jangan lupa ransel Abang balikin.” Tempel Kak Hasbi di pintu kamar. Karena Mama dan Ayah adalah pekerja kantor yang luar biasa sibuk, seperti itulah cara kami mengekspresikan cinta.
Aku rasa, tidak ada yang aneh dengan keluarga kami. Ya, tidak. Tidak sebelum aku menemukan orang seperti Akhyar, ups maksudku Bang Akhyar, suamiku. Laki-laki setinggi tiang bendera yang  tiga bulan lebih tua dariku.
Aku (dipaksa) menikah dengannya dua minggu yang lalu, kami adalah korban polos pencomblangan orang tua seperti yang sering muncul di sinetron. Klasik bukan? tapi serius, aku mengalaminya. Tante Laksmi, Mama Akhyar, teman baik Mama. Sejak kapan? aku tak tahu, mungkin sejak di Lauh Mahfud, aku pikir ini tidak berlebihan karena mereka terlampau dekat. Aku dan Akhyar, ups maksudku Bang Akhyar, suamiku, adalah anak-anak manis yang patuh pada orangtua kami. Bagitulah awal kisah ini.

***

Aku membuntutinya dari belakang, menatap punggung bidang Bang Akhyar. Aku baru menemukan satu ini di dunia. Seorang suami berjalan tak menjajari istrinya. Ia beberapa langkah di depanku, tak menggubris aku yang menyeret koper hijau lumut itu sendirian, berjalan kelelahan dengan rok panjang dan udara Kota Surabaya yang terlampau menyengat. Papa Bang Akhyar menghadiahi kami sebuah rumah demi pernikahan kami,  rumah baru di pusat Kota Surabaya. Dan mau tak mau demi menghargai si pemberi, rumah itu harus kami tempati.
Tentu. Aku tidak akan meminta Bang Akhyar menyejajariku, selain karena gengsi, aku pikir seharusnya dia sendiri yang peka. Dimana-mana meskipun kita punya barang sendiri-sendiri, tidak seperti ini ceritanya kalau sudah suami istri, koper elu koper elu, koper gue koper gue. Apa perlu aku sekolahkan kepribadian suamiku itu. Aku hampir sesak nafas karena menggerutu. Hampir limaratus meter berjalan, aku tak kuat. Lututku sudah seperti rantai karatan. Dia? jangan tanyakan. Menoleh pun tidak. Mamaaaa….
Tiba-tiba tercetus ide, biarlah biar dia berjalan sendiri. Kalau pun tidak peduli, biar. Biar aku kembali kepada Ayah, biar aku kembali ke Medan saja. Biar kedua orangtuaku tahu ulah menantu pilihan mereka. Kemudian aku benar-benar menghentikan langkah, melemparkan diri, duduk di tepian trotoar, aku lelah. Aku pikir, dia tak akan berbalik karena terlampau tak peduli, namun beberapa langkah menyadari ketiadaanku di belakangnya, ia memutar arah, Berdiri di sebelahku, lalu membungkuk membenahi tali sepatu.
“Kau lelah?” Katanya datar, aku tak menoleh, hanya menggeleng. “Baik, kita istirahat sebentar.” Lanjutnya lalu duduk di sebelahku, satu meter di sebelahku. Tepat seperti dua orang asing. Ya Tuhaaan…
“Aku tidak lelah.” Kataku, kulihat dia menoleh, seperti ingin mengatakan, lalu?. “Aku hanya merasa kau tak menyukaiku, atau aku hanya menjadi beban bagimu, duluan saja. Aku bisa menemukan sendiri rumah kita.” Kataku menahan kesal.
“Kalau begitu, Ayo! kita belum shalat ashar.” Katanya sembari berdiri lalu merebut pegangan koper dari tanganku, mengambil alih menyeretnya. Sama sekali tak menanggapi perkataanku. Oh Gooood…makhluk apa yang kau kirim ini. Tak ada yang bisa kulakukan selain membuntutinya.
***
Aku pikir segala kekakuan itu akan berakhir ketika semakin bertambah hari usia pernikahan kami. Nyatanya tidak. Bang Akhyar tidak ada perubahan. Kami makan, tidur, bersih-bersih rumah dalam keadaan kaku, tidak jauh seperti yang kugambarkan di atas.
Sebulan melalui itu, aku benar-benar tak tahan. Akhirnya pecah sudah tangisanku dalam telepon kepada Mama. “Mungkin dia masih canggung, kamu sudah coba kirimi dia puisi, Sayang? Atau membuatkannya nasi goreng cetak hati? Atau puding coklat?”. Mendengar perkataan Mama aku sedikit mendapat pencerahan. Baik, aku mengalah. Aku yang akan bersusah payah membuatnya mencintaiku.
Aksi pertama yang kulakukan adalah menyelipkan puisi di kertas gambarnya. Ohya, Bang Akhyar adalah arsitek. Pekerjaan itulah salah satu alasan yang menuntun kami berpindah kota.
Kau itu sebenarnya apa?
Aku bertemu beribu jenis manusia, namun tidak ada yang seaneh kau, seunik, dan seajaib kau
Aku sempat berpikir, jangan-jangan kau alien tersesat dari Mars
Tapi wujudmu sama dengan yang lain, kulit, hidung, rambut, seperti orang pada umumnya.
Tidak atau belum pernah kujumpai manusia mampu menimbulkan rasa semacam itu pada diriku, dan kau mampu..
sejengkel itu sebahagia itu, dalam rentang yang panjang dan waktu yang singkat
akhir-akhir ini, saat kau sering tak di rumah,  aku memulai kesimpulan aneh
bahwa jumpa tak pernah menyelesaikan rindu
rasa apa ini ya Tuhan…
aku mulai curiga, jangan-jangan
kamu alien berbentuk manusia…

Aku kehabisan ide untuk menbuat puisi. Sifat dan dan sikapnya tak ada yang indah untuk di puisikan, dan akhirnya beberapa coretan di ataslah yang kuselipkan diam-diam dalam kertas kerjanya. Yah meskipun tak begitu romantis, paling tidak menyiratkan bahwa aku mulai mencintainya. Meskipun nyatanya belum.
Dua hari setelah penempelan itu berlalu, tak ada perubahan. Aku curiga, jangan-jangan ia tak membacanya. Akhirnya kuberanikan diri mengecek ulang. Sudah tidak ada disana. Kemana? Apakah jatuh? Atau menurut dia biasa saja? Tapi sejelek apa pun, demi menghargai usahaku, harusnya ia mengatakan “Terimakasih puisinya.” atau apalah yang lain. Aku justru semakin diliputi prasangka. Dan perjalanan kehidupanku tetap : kaku.
***
Baik. Usaha pertama gagal. Tak apa, wajar. Aku harus mengalah lagi membuat ide lain untuk mencairkan kebekuan kami. Tidak masalah, aku belum bekerja dan memiliki banyak waktu di rumah. Misi kedua : Membuatkan puding. Setelah seharian bersusah payah men-search resep puding, berbelanja bahan, lalu membuatnya seorang diri. Ketika menunjukkan jam Bang Akhyar pulang kerja aku menjadi cemen. Aku takut memberikan padanya. Aku takut harga diriku turun seketika ketika ia tak berespon. Huff…Okay dengan bantuan stiky note kutulis “Dear alien, di kulkas ada sepiring puding cokelat untukmu, sincerely, Bidadari Salju.” menempelkan di dekat tempatnya menggantung dasi, lalu aku pergi belanja. Tepatnya, mencari-cari alasan untuk pergi kemana pun. Entah kenapa, aku jadi grogi sendiri.
“Terimakasih pudingnya. Enak.” Katanya menyambutku. Aku kikuk. Yes, berhasil. Aku tersenyum. Aku pikir dia akan berjalan lalu mencium pipiku atau paling tidak suasana berikutnya akan menghangat. Tapi ternyata sudah. Cukup sampai disitu. Tak ada percakapan lanjutan dan ia mulai bergelut dengan kertas gambarnya kembali. Rasanya, aku ingin lari dan loncat ke sumur tetangga.
Misi demi misi kulakukan, aku mengalah. Aku mengupayakan segala cara, memutar otak, jungkir balik mencari ide, menghabiskan biaya. Mengirimkan kartu pos ke kantornya. Membelikan baju olahraga couple.  Menyiapkan nasi goreng cetak hati seperti saran Mama. Dan hasilnya nihil. Dua bulan terakhir ini, aku benar- benar hidup dengan alien.
Dan pada titik beku kebosanan. Kerinduan akan keceriaan rumah Ayah dan Mama. Kelelahan. Kehabisan ide. Keadaan terkucil tak memiliki teman di perumahan baru yang asing, ibu rumah tangga baru yang menganggur seharian. Munculah duga prasangka setan. Apakah sebenarnya dia tidak menginginkan pernikahan ini? Apakah ada wanita lain di kota ini yang menarik baginya? Apa aku sejelek itu dan pantas untuk diacuhkan? Tangisku pecah.  Mama yang mendengar ceritaku hampir setiap hari ikut khawatir.
“Hania nggak kuat Ma. Sepertinya Bang Akhyar tidak menyukaiku. Ia diam sepanjang hari dan membalas usaha-usahaku dengan sangat dingin. Hania ingin pulang,Ma.”
“Maafkan Mama sayang. Tidak seharusnya Mama memaksakan perjodohan itu. Maafkan Mama.”
Dan terjadilah tangis menangis antara ibu dan anak. Kabar kekakuan Bang Akhyar akhirnya terdengar Ayah.  Ayah naik pitam mendengar berita dari Mama, yang barangkali sudah berbumbu secara berlebihan.
“Bagaimana kabar kamu, Sayang?” Suara Ayah lembut. Ayah sibuk luar biasa, karena itu beliau jarang menelponku. Aku merindukan dipanggil demikian. Melankolisku lagi-lagi keluar : menangis. Tak mampu menjawab dengan kata apa-pun. Aku justru sibuk menahan agar tangisku tak terdenger hingga seberang telepon. “Hania dengar Ayah? Han…? Han…?” Kugigit bibirku. Mendengar suara Ayah yang lembut penuh kasih justru semakin menyesakkan. Demi tak ingin Ayah mendengar tangisanku, kututup teleponnya.
***
“Abang ingin bicara.” Suara Bang Akhyar lebih dingin dari biasa, aku berbalik menutup laptop lalu duduk menghadapnya. “Apa salah Abang hingga Kau tega mengadu pada Ayahmu jika Abang tak becus mengurusmu?” Aku menggeleng. Tidak. Aku melihat muka cokelatnya yang bersih memerah. Ya Allah…Apa yang dilakukan Ayah. Seharusnya aku sudah mengira dari awal. Ayah sudah pasti membela putri kesayangannya ini. Aku menggeleng nyaris menangis.
“Aku tidak cerita apa-apa pada Ayah. Aku hanya menangis di telepon kemarin.” Jawabku nyaris menangis.
“Apa aku pernah memperlakukanmu dengan buruk?”
Aku menggeleng. Aku tak pernah dihadapkan situasi dimarahi seperti ini. Kugigit bibir bawahku semakin keras menahan tangis.
“Aku ingin pulang ke Medan.” Pecah sudah tangisanku.
“Tidak boleh.” Suaranya mengeras.
“Kau tidak mencintaiku, buat apa aku disini?”
Entah mengapa, demi mendengar kalimat terakhirku Bang Akhyar menoleh kaget. Menatapku tajam sekian detik. Aku semakin takut. Semakin deras air mataku.
“Kau memperlakukanku dengan dingin. Aku ragu kau memiliki wanita lain.”
“HANIA!!!” Bang akhyar berteriak keras sekali, kupingku sakit. Aku mencengkeram tangan. Airmataku membanjir.
“Lalu Apa?? Kau tak pernah membalas puisiku, surat kecil di kertas kerja juga tak pernah terjawab, kau tak antusias menyantap puding yang aku buatkan susah payah, bahkan kau tak mengatakan kalau kau juga mencintaiku. Dan memperlakukanku dengan sangat dingin. LALU APA??” Wajahku sudah becek, airmataku bahkan seperti tanggul jebol. Aku mempersiapkan telinga jika Bang Akhyar akan berteriak lebih kencang.
“Maaf.” Aku tersentak.Tiba-tiba dia menarikku ke pelukannya, lalu berkata lagi. “Maaf, Maaf, aku tak tahu kalau itu yang kau harapkan.” Aku masih terisak.
“Aku tidak pernah seumur hidup diperlakukan dengan dingin seperti kau memperlakukanku. Aku terbiasa dipanggil sayang dengan lembut, aku tak biasa keluar belanja atau ke toko buku sendirian, dan itu menyiksaku.” Aku terus berkata di sela isakan.
Bang Akhyar melepas pelukannya. “Maaf, aku tak bisa membahagiakanmu dengan cara seperti itu. Aku malu berucap ‘Sayang’. Tak terbiasa. Aku tak bisa menulis puisi. Aku pikir kau berani dan tak ingin diganggu jika ke toko buku. Maaf. Sekarang keputusan di tanganmu. Jika kau tak bahagia di sini. Silahkan pulang ke Medan untuk menenangkan diri.”
Aku berkemas-kemas. Memasukkan sedikit baju ke dalam koper kecil. Masih sambil terisak. Setidaknya aku sudah mendapat izin suamiku untuk pulang ke Medan. Aku merindukan Mama. Bang Akhyar duduk di tepi ranjang. Diam. Diam? Lambat kusadari bibirnya bergetar seperti menahan tangis. Perasaan bersalah tiba-tiba menelusupi hatiku. Tapi tekatku sudah bulat. Kuseret koper kecilku berjalan ke arah pintu. Bang Akhyar mengikutiku.
“Kau tidak berubah pikiran?”
Langkahku terhenti, tepat di depan pintu. Lalu kuputuskan berbalik mengahadap suamiku. Matanya merah.
Aku menggeleng. Maaf.
“Kau harus tahu, seumur hidup aku tak pernah diajari berkata cinta secara lugas. Keluarga kami pemalu. Tapi bukan berarti kami tak saling mencintai. Setiap mereka, memiliki cara dalam mencinta, dan aku lupa sekaligus bingung memikirkan cara bagaimana mencintaimu. Tapi kau harus tahu, ketika orang lain tak menunjukkan cintanya seperti cara yang kau ingini, bukan berarti dia tak mencintaimu dengan seluruh yang ia punya. Aku mencintaimu Hania.”
Tiba-tiba saja ada yang membuatku lari ke arahnya dan memelukknya erat-erat. Air mata yang ia tahan dari tadi meleleh sudah. Selanjutnya, rasa bersalah datang berbondong memenuhi hatiku, pegangan koper terlepas dari tangan. Aku memeluknya erat. Berkelebatan banyak hal. Ia yang tak pernah absen membangunkanku di sepertiga malam terakhir. Tak menyantap nasi goreng bentuk hati karena berpuasa. Menjemurkan cucian meski ia sudah hampir terlambat. Mengantar ke supermarket meski menunggu dengan wajah dingin. Dingin? apakah mungkin aku kurang teliti. Ia mungkin hanya bingung. Ya Tuhan…jahat sekali aku memaksanya. Menghakiminya.
“Kau tahu Bidadari Salju, aku mengambil dan menempel kembali puisi atau kata-katamu di buku agendaku. Karena aku ingin belajar, suatu saat aku ingin bisa membalasnya. Suatu saat akan mampu menulis puisi semahir kau. Aku juga ingin membalas smsmu, aku mengetik I Love You More, even Most. Tapi aku selalu malu, aku takut kau tertawakan. Aku bodoh ya? Seharusnya  ku kirim saja. Dan meski kau tertawakan, itulah resiko yang harus kuterima.” Mendengarnya berbisik demikian aku justru semakin menangis. Menangisi segala prasangka buruk selama ini.
“Bidadari Salju, mau kah kau tetap tinggal di sini bersamaku? Bersama alien yang aneh ini?” Tawaku muncul tiba-tiba lalu kutahan cepat-cepat demi melihatnya berlutut di depanku.
Aku mengangguk.

Surabaya, 7 Februari 2014
Untuk setiap pemilik cinta yang mengungkapnya dengan cara berbeda

Futri Zakiyah Darojat
Mahasiswa Psikologi dan Anggota Muslim Youth Club Universitas Negeri Surabaya

Selasa, 18 Maret 2014

Lelaki-lelaki Purnama

Termuat dalam annida-online.com
Ini untuk teh Ois dan Kang Sam. Meskipun dalam hati aku pernah tak setuju dengan model cinta kalian, tapi jujur, belakangan aku sering iri ketika kalian merayakan apa pun yang sederhana hingga menjadi istimewa. Semoga ini kado pernikahan yang baik. Jika cinta itu memberi, maka sementara cerita sederhana ini yang bisa kuberikan.



LELAKI-LELAKI PURNAMA

“Hanya laki-laki purnama, yang datang malam-malam untuk memastikan kamu tidak kesepian. Hanya laki-laki purnama, yang cukup dengan cintanya, kamu akan bahagia.”

Cinta bukan perkara dia memiliki apa, tapi pastikan kau memberi semua yang kau punya. Sama halnya dengan jika kau ingin kaya. Berpura-pura lah berharta, bersedeqah lah yang banyak, maka kau akan benar-benar merasa kaya. Kalimat itulah yang digaung-gaungkan Ayah, diulang-ulang seperti relawan gerakan pelestarian hutan dengan green and cleannya.
Hingga kini, aku belum menemukan guru yang lebih baik dari Ayah. Meskipun saat itu kami miskin, pantang bagi Ayah jika kami (putra-putrinya) tidak merasa bahagia. Karena itu, sedapat mungkin dengan cara apa pun, Ayah selalu memenuhi keinginan kami.
Kau ingin membelinya? Ambilah.” Kata Ayah suatu sore di toko buku favorit kami. Aku tak berniat meminta dibelikan, aku hanya tertarik melihat sampul buku puisi berjudul “Hujan Bulan Juni” itu. Begitulah Ayah, selalu memberi sesuatu yang bahkan belum sempat kami minta. Namun ternyata, terlambat kusadari ketika pulang, Ayah tak jadi membeli apa pun. Padahal aku tahu, Ayah ingin membeli buku Siroh Nabi yang beliau idamkan lama-lama.
Hingga datanglah suatu sore yang gerimis, saat usiaku bukan kanak-kanak lagi, saat perekonomian keluarga kami membaik, bahkan karena kerja keras Ayah, garasi yang dahulu kosong kemudian berhias dua mobil. Saat aku tak pernah lagi meminta sesuatu dengan merengek, karena kami berkecukupan. Datanglah seorang laki-laki ke rumah kami. Awalnya, aku tak begitu kaget. Meskipun usianya tak muda lagi, banyak rekan bisnis Ayah yang seusia denganku. Yang menyentakku, sepulang lelaki itu dari rumah, Ayah berkata dengan nada khasnya yang tegas nan lembut,
Ayah ingin kau menikah dengannya.”
Kalian tahu, mendengar kata-kata Ayah itu seperti menelan bulat-bulat apel batu seukuran kepalan tangan, mencekik. Aku benar-benar tersudut kata-kata Ayah. Pasalnya, Mas Haris, laki-laki tamu sore itu bukan gambaran laki-laki yang kubayangkan untuk menjadi suamiku. Mas Haris datang ke rumah menggunakan bemo (kendaraan umum sejenis angkot). Hanya kacamatanya yang menghasilkan nilai plus di mataku,terlihat bijaksana.
Aku diam, berdiam beberapa hari dan tepatnya bingung untuk menanggapi permintaan Ayah. Mengapa, mengapa Yah? mengapa satu hal yang kau minta harus ini.
Ayah tidak menyuruhmu menikah dengannya. Ayah hanya bilang, Ayah ingin kau menikah dengannya.
Saat itu, kutahan benar-benar air mataku agar tak rompal berjatuhan. Ya Tuhan, mengapa aku harus bimbang atas permintaan seorang laki-laki yang belum pernah berkata tidak padaku. Otakku berpikir keras, keras sekali. Banyak bayangan berkelebat, tentang mimpi masa muda, tentang calon suami dengan mobil mentereng, tentang bulan madu ke luar negeri. Kemudian, aku berlari ke arah Ayah dan memeluknya erat-erat.
Aku akan menikah dengannya,Yah.” Kataku sambil terisak di pelukan Ayah.
Ayah tak memaksa atau bahkan sekedar memintamu menikah dengannya, tidak. Tapi jika kau ingin melihat Ayah bahagia dengan melihatmu menikah dengannya, berjanjilah kau akan berusaha mencintainya seperti caramu mencintai Ayah.” Jawab Ayah sembari mengusap kepalaku.
***
Detik behimpun menjadi menit, menit berdentang menjadi jam, terakumulasi dalam hari-hari, lalu menjelma lah aku menjadi istri seorang petani. Iya, aku akhirnya benar-benar menikah dengan Mas Haris. Itu berarti juga, kemiskinan masa kecil kami terulang lagi. Hari-hariku tidak jauh dari sawah,padi,matahari dan keringat. Awalnya, ini terasa begitu sulit karena mungkin aku sudah lupa cara hidup susah. Tapi aku sudah berjanji pada Ayah untuk mencintai suamiku dengan baik.
Aku tahu, wajah Mas Haris tersirat ketidak tegaan ketika melihatku berpanas – panas memetik buah jagung, ada rasa bersalah yang mungkin terlalu sulit ia sembunyikan setiap matanya menangkapku mengusap peluh. Karena itu, aku sedapatnya berusaha tersenyum ketika mendapatinya memandangiku. “Aku tidak apa-apa.” Kataku menjawab tatapannya.
Begitulah, hari-hari kulalui dengan berepot-repot memaksa diriku untuk tidak menangis, tidak mengeluh di depan Mas Haris. Kalian tahu, itu bahkan lebih sulit dari berjalan di atas tanah sawah yang berlumpur. Sekuat tenaga aku mencoba mengangkat diriku agar tak terperosok. Hingga hitungan bulan pernikahan kami, aku belum bisa mengajak diriku mencintai suamiku sepenuhnya. Aku masih melakukan semua hal demi Ayah.

Maaf, semua ini mungkin terlalu keras utkmu." Kata Mas Haris suatu malam. "Tapi aku tak menyangka, kau setangguh ini." Lanjutnya. Lantas tersenyum.
Entah kenapa, selanjutnya pegal di kaki dan tanganku tiba-tiba meluruh. Gundukan-gundukan beban di tengkuk setelah seharian menjemur jagung, terangkut sudah mendengar kata-kata pujiannya. Aku hanya tersenyum menjawabnya.
"Aku ingin tahu, apakah  kau mencintaiku?" Tanya Mas Haris selanjutnya. Aku hanya diam, menatap wajah suamiku dari keremangan lampu teras rumah kecil kami. Lalu kuputuskan untuk mengangguk. Dia, suamiku tersenyum. Aku tiba-tiba terseret untuk tersenyum juga. Entah mengapa, malam itu. Aku memiliki alasan untuk menatap senyumnya lama-lama.

Aku pikir, suatu saat aku akan bosan dengan segala aktivitas itu. Bagaimana tidak, aku hanya punya sedikit waktu untuk beristirahat atau membaca buku. Menghabiskan seharian di sawah menemani suamiku. Tapi nyatanya tidak. Aku heran, aku menikmatinya. Menikmati ketika ia menggodaku dengan tiba-tiba menghilang di tengah belantara pohon jagung yang rimbun, lalu terpingkal-pingkal ketika melihatku panik. Atau mencipratkan air pematang di mukaku, atau saling melempar tanah berlumpur. Aku menikmati semua itu, menikmati saat merasa tersipu ketika mendengar ia memanggilku pertama kali dengan kata “Dinda.”. Menikmati melihatnya makan dengan lahapnya nasi jagung dengan sayur pepaya buatanku. Aku seperti menemukan cara untuk selalu bahagia tanpa banyak alasan.
Apakah kau mencintaiku?” Tanyanya suatu hari sembari membersihkan kaki dengan air pematang.
Kau sudah pernah menanyakannya.” Jawabku singkat.
"Aku ingin tahu setelah lama kau merasakan, bahwa hidup dengan petani sepertiku tidak mudah,"
"Seharusnya, Mas Haris tidak perlu menanyakan ini. Karena aku sulit menjelasknnya. Bila dulu alasanku satu-satunya menikah denganmu adalah demi membuat Ayah bahagia. Sekarang alasanku satu-satunya tetap berada di sisimu adalah membuat diriku bahagia, Aku tidak tahu perasaan apa ini, hanya saja aku tidak yakin apabila tidak denganmu aku akan tetap bahagia. 
Aku pikir Mas Haris akan tersenyum. Tapi kali ini dia hanya tertunduk, menempelkan dagu ke dadanya. Kemudian kusadari, butiran-butiran bening menggantung di dagunya, suamiku menangis. Ini pertama kali aku melihatnya menangis selain ketika shalat,
 "Aku menyinggungmu.?" Tanyaku kemudian. Mas Haris menggeleng. "Lalu?"
"Ini caraku bersyukur, untuk memiliki seseorang sepertimu. Terima kasih sudah bertahan Mas berjanji akan bekerja keras agar kau tak perlu menderita." Kemudian tenggelamlah aku dipelukannya.
Jadilah senja itu, di pematang tepian sawah aku menemukan sebuah perasaan yang muncul dari dalam dada tentang benar-benar rasa takut kehilangan seseorang, tentang ketakutanku untuk melihat seseorang yang ku sayang bersedih. Ada janji pada diriku sendiri untuk  membuatnya bahagia seperti caraku membuat Ayah bahagia. Mereka Ayah, dan suamiku. laki-laki purnama yang mengajarkan banyak hal tentang hidup. Merekalah yang menyimpan pahit getir sisi gelap mereka lalu mencahayai agar melihatku tersenyum. Satu pelajaran besar yang mereka ajarkanku adalah bagaimana berbahagia dengan cara-cara sederhana.

Surabaya, 28-November-2013


Futri Zakiyah Darojat

Selasa, 21 Januari 2014

Selamat Ulang Tahun Khal (:


Selamat Ulang Tahun Khal (:

Diamlah, aku bahkan tidak memintamu untuk sekedar berucap terima kasih. Jangan salahkan keadaan, waktu sudah berbaik hati memperkenalkanmu padaku, itu lebih dari cukup.
Ini, seikat seruni putih. Kau tahu, kisah roman pada umumnya selalu menceritakan seorang laki – laki datang dengan lily yang indah untuk kekasihnya, tapi kenapa hari ini harus aku yang datang padamu.
Hari ini aku tidak akan menangis Khal. Seperti yang selalu kulakukan sejak kau tak pernah menjawab kata – kataku lagi. Tidak Khal, kau akan mengejekku jika aku menangis.
Di luar hujan Khal, gerimis. Biasanya pelangi akan muncul setelah ini. Bangunlah, untuk berdebat sebentar denganku. Kau pasti akan bilang pelangi itu seperti mangkuk jepara, dan bagiku itu lebih seperti kue pukis yang hangat dan menggoda selera. Bangunlah Khal, sebentar saja. Atau jawablah kau sedang malas bangun seperti yang selalu kau tulis pada pesan singkat pagi – pagi.
Khal, apakah kau disana menemukan orang sepertiku hingga kau tak kunjung – kunjung kembali. Adakah yang mengingatkanmu untuk tidak terlalu banyak makan cabe. Adakah yang memelototimu saat matahari sudah sepenggalah tapi kau baru membuka mata. Adakah Khal? Sekedar kau jawab ‘ada’ pun aku sudah tenang.
Tuhan punya banyak cara untuk menyayangi kita Khal. Entah cara itu kita sukai atau benci. Dia memiliki agen rahasia yang tak akan menceritakan missi langit pada kita. Tapi Khal, aku tahu para agen rahasia itu akan selalu memperlakukan Khal-ku dengan baik. Mereka hanya menculikmu, untuk mengembalikanmu suatu saat padaku. Ini hanya masalah waktu Khal.Bertahanlah, aku selalu merindukanmu.

Berlari, sunyi.
Entah Ini hari keberapa sejak seluruh perawat dan dokter rumah sakit itu memasang peralatan elektronik di tubuh pemuda itu. Gadis itu selalu datang ke ruangan itu, meletaskan setangkai bunga pada vas, berbicara sendiri, lalu meninggalkan ruangan itu dengan berlari menahan tangis. Aku mendengar, pemuda itu tunangannya yang kehilangan kesadaran hingga kini. Tanpa tahu penyebabnya. Pun dokter.

*menemukan ini dan cerita-cerita sejenis di tumpukan file2 harta karun, jadi merasa lucu ((:

Surabaya 21 Januari 2014 
Futri Z. Darojat