Ini untuk teh Ois dan Kang Sam. Meskipun dalam hati aku pernah tak setuju dengan model cinta kalian, tapi jujur, belakangan aku sering iri ketika kalian merayakan apa pun yang sederhana hingga menjadi istimewa. Semoga ini kado pernikahan yang baik. Jika cinta itu memberi, maka sementara cerita sederhana ini yang bisa kuberikan.
LELAKI-LELAKI PURNAMA
“Hanya
laki-laki purnama, yang datang malam-malam untuk memastikan kamu tidak
kesepian. Hanya laki-laki purnama, yang cukup dengan cintanya, kamu akan
bahagia.”
Cinta bukan perkara dia memiliki apa,
tapi pastikan kau memberi semua yang kau punya. Sama halnya dengan jika kau
ingin kaya. Berpura-pura lah berharta, bersedeqah lah yang banyak, maka kau
akan benar-benar merasa kaya. Kalimat itulah yang digaung-gaungkan Ayah,
diulang-ulang seperti relawan gerakan pelestarian hutan dengan green and
cleannya.
Hingga kini, aku belum menemukan
guru yang lebih baik dari Ayah. Meskipun saat itu kami miskin, pantang bagi
Ayah jika kami (putra-putrinya) tidak merasa bahagia. Karena itu, sedapat
mungkin dengan cara apa pun, Ayah selalu memenuhi keinginan kami.
“Kau ingin membelinya? Ambilah.”
Kata Ayah suatu sore di toko buku favorit kami. Aku tak berniat meminta
dibelikan, aku hanya tertarik melihat sampul buku puisi berjudul “Hujan Bulan
Juni” itu. Begitulah Ayah, selalu memberi sesuatu yang bahkan belum sempat
kami minta. Namun ternyata, terlambat kusadari ketika pulang, Ayah tak jadi
membeli apa pun. Padahal aku tahu, Ayah ingin membeli buku Siroh Nabi yang
beliau idamkan lama-lama.
Hingga
datanglah suatu sore yang gerimis, saat usiaku bukan kanak-kanak lagi, saat
perekonomian keluarga kami membaik, bahkan karena kerja keras Ayah, garasi yang
dahulu kosong kemudian berhias dua mobil. Saat aku tak pernah lagi meminta
sesuatu dengan merengek, karena kami berkecukupan. Datanglah seorang laki-laki
ke rumah kami. Awalnya, aku tak begitu kaget. Meskipun usianya tak muda lagi,
banyak rekan bisnis Ayah yang seusia denganku. Yang menyentakku, sepulang
lelaki itu dari rumah, Ayah berkata dengan nada khasnya yang tegas nan lembut,
“Ayah
ingin kau menikah dengannya.”
Kalian
tahu, mendengar kata-kata Ayah itu seperti menelan bulat-bulat apel batu
seukuran kepalan tangan, mencekik. Aku benar-benar tersudut kata-kata Ayah. Pasalnya,
Mas Haris, laki-laki tamu sore itu bukan gambaran laki-laki yang kubayangkan
untuk menjadi suamiku. Mas Haris datang ke rumah menggunakan bemo (kendaraan
umum sejenis angkot). Hanya kacamatanya yang menghasilkan nilai plus di
mataku,terlihat bijaksana.
Aku
diam, berdiam beberapa hari dan tepatnya bingung untuk menanggapi permintaan
Ayah. Mengapa, mengapa Yah? mengapa satu hal yang kau minta harus ini.
“Ayah
tidak menyuruhmu menikah dengannya. Ayah hanya bilang, Ayah ingin kau menikah
dengannya.”
Saat
itu, kutahan benar-benar air mataku agar tak rompal berjatuhan. Ya Tuhan,
mengapa aku harus bimbang atas permintaan seorang laki-laki yang belum pernah
berkata tidak padaku. Otakku berpikir keras, keras sekali. Banyak bayangan
berkelebat, tentang mimpi masa muda, tentang calon suami dengan mobil
mentereng, tentang bulan madu ke luar negeri. Kemudian, aku berlari ke arah
Ayah dan memeluknya erat-erat.
“Aku
akan menikah dengannya,Yah.” Kataku sambil terisak di pelukan Ayah.
“Ayah
tak memaksa atau bahkan sekedar memintamu menikah dengannya, tidak. Tapi jika
kau ingin melihat Ayah bahagia dengan melihatmu menikah dengannya, berjanjilah
kau akan berusaha mencintainya seperti caramu mencintai Ayah.” Jawab Ayah
sembari mengusap kepalaku.
***
Detik
behimpun menjadi menit, menit berdentang menjadi jam, terakumulasi dalam
hari-hari, lalu menjelma lah aku menjadi istri seorang petani. Iya, aku
akhirnya benar-benar menikah dengan Mas Haris. Itu berarti juga, kemiskinan
masa kecil kami terulang lagi. Hari-hariku tidak jauh dari sawah,padi,matahari
dan keringat. Awalnya, ini terasa begitu sulit karena mungkin aku sudah lupa
cara hidup susah. Tapi aku sudah berjanji pada Ayah untuk mencintai suamiku
dengan baik.
Aku
tahu, wajah Mas Haris tersirat ketidak tegaan ketika melihatku berpanas – panas
memetik buah jagung, ada rasa bersalah yang mungkin terlalu sulit ia
sembunyikan setiap matanya menangkapku mengusap peluh. Karena itu, aku
sedapatnya berusaha tersenyum ketika mendapatinya memandangiku. “Aku tidak
apa-apa.” Kataku menjawab tatapannya.
Begitulah, hari-hari kulalui dengan berepot-repot memaksa diriku
untuk tidak menangis, tidak mengeluh di depan Mas Haris. Kalian tahu, itu
bahkan lebih sulit dari berjalan di atas tanah sawah yang berlumpur. Sekuat
tenaga aku mencoba mengangkat diriku agar tak terperosok. Hingga hitungan bulan
pernikahan kami, aku belum bisa mengajak diriku mencintai suamiku sepenuhnya.
Aku masih melakukan semua hal demi Ayah.
“Maaf, semua ini mungkin terlalu keras utkmu." Kata Mas
Haris suatu malam. "Tapi aku tak menyangka, kau setangguh ini."
Lanjutnya. Lantas tersenyum.
Entah kenapa, selanjutnya pegal di kaki dan tanganku tiba-tiba meluruh. Gundukan-gundukan beban di tengkuk setelah seharian menjemur jagung, terangkut sudah mendengar kata-kata pujiannya. Aku hanya tersenyum menjawabnya.
"Aku ingin tahu, apakah kau mencintaiku?" Tanya Mas Haris selanjutnya. Aku hanya diam, menatap wajah suamiku dari keremangan lampu teras rumah kecil kami. Lalu kuputuskan untuk mengangguk. Dia, suamiku tersenyum. Aku tiba-tiba terseret untuk tersenyum juga. Entah mengapa, malam itu. Aku memiliki alasan untuk menatap senyumnya lama-lama.
Entah kenapa, selanjutnya pegal di kaki dan tanganku tiba-tiba meluruh. Gundukan-gundukan beban di tengkuk setelah seharian menjemur jagung, terangkut sudah mendengar kata-kata pujiannya. Aku hanya tersenyum menjawabnya.
"Aku ingin tahu, apakah kau mencintaiku?" Tanya Mas Haris selanjutnya. Aku hanya diam, menatap wajah suamiku dari keremangan lampu teras rumah kecil kami. Lalu kuputuskan untuk mengangguk. Dia, suamiku tersenyum. Aku tiba-tiba terseret untuk tersenyum juga. Entah mengapa, malam itu. Aku memiliki alasan untuk menatap senyumnya lama-lama.
Aku pikir, suatu saat aku akan bosan dengan segala aktivitas itu.
Bagaimana tidak, aku hanya punya sedikit waktu untuk beristirahat atau membaca
buku. Menghabiskan seharian di sawah menemani suamiku. Tapi nyatanya tidak. Aku
heran, aku menikmatinya. Menikmati ketika ia menggodaku dengan tiba-tiba
menghilang di tengah belantara pohon jagung yang rimbun, lalu
terpingkal-pingkal ketika melihatku panik. Atau mencipratkan air pematang di
mukaku, atau saling melempar tanah berlumpur. Aku menikmati semua itu,
menikmati saat merasa tersipu ketika mendengar ia memanggilku pertama kali
dengan kata “Dinda.”. Menikmati melihatnya makan dengan lahapnya nasi
jagung dengan sayur pepaya buatanku. Aku seperti menemukan cara untuk selalu
bahagia tanpa banyak alasan.
“Apakah kau mencintaiku?” Tanyanya suatu hari sembari
membersihkan kaki dengan air pematang.
“Kau sudah pernah menanyakannya.” Jawabku singkat.
"Aku
ingin tahu setelah lama kau merasakan, bahwa hidup dengan petani sepertiku
tidak mudah,"
"Seharusnya, Mas Haris tidak perlu menanyakan ini. Karena aku sulit menjelasknnya. Bila dulu alasanku satu-satunya menikah denganmu adalah demi membuat Ayah bahagia. Sekarang alasanku satu-satunya tetap berada di sisimu adalah membuat diriku bahagia, Aku tidak tahu perasaan apa ini, hanya saja aku tidak yakin apabila tidak denganmu aku akan tetap bahagia.”
"Seharusnya, Mas Haris tidak perlu menanyakan ini. Karena aku sulit menjelasknnya. Bila dulu alasanku satu-satunya menikah denganmu adalah demi membuat Ayah bahagia. Sekarang alasanku satu-satunya tetap berada di sisimu adalah membuat diriku bahagia, Aku tidak tahu perasaan apa ini, hanya saja aku tidak yakin apabila tidak denganmu aku akan tetap bahagia.”
Aku pikir Mas
Haris akan tersenyum. Tapi kali ini dia hanya tertunduk, menempelkan dagu ke dadanya. Kemudian kusadari, butiran-butiran
bening menggantung di dagunya, suamiku menangis. Ini pertama kali aku
melihatnya menangis selain ketika shalat,
"Aku
menyinggungmu.?" Tanyaku kemudian. Mas Haris menggeleng. "Lalu?"
"Ini caraku bersyukur, untuk memiliki seseorang sepertimu. Terima kasih sudah bertahan Mas berjanji akan bekerja keras agar kau tak perlu menderita." Kemudian tenggelamlah aku dipelukannya.
"Ini caraku bersyukur, untuk memiliki seseorang sepertimu. Terima kasih sudah bertahan Mas berjanji akan bekerja keras agar kau tak perlu menderita." Kemudian tenggelamlah aku dipelukannya.
Jadilah senja
itu, di pematang tepian sawah aku menemukan sebuah perasaan yang muncul dari
dalam dada tentang benar-benar rasa takut kehilangan seseorang, tentang
ketakutanku untuk melihat seseorang yang ku sayang bersedih. Ada janji pada
diriku sendiri untuk membuatnya bahagia
seperti caraku membuat Ayah bahagia. Mereka Ayah, dan suamiku. laki-laki
purnama yang mengajarkan banyak hal tentang hidup. Merekalah yang menyimpan
pahit getir sisi gelap mereka lalu mencahayai agar melihatku tersenyum. Satu
pelajaran besar yang mereka ajarkanku adalah bagaimana berbahagia dengan
cara-cara sederhana.
Surabaya,
28-November-2013
Futri Zakiyah
Darojat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar