Selasa, 18 Maret 2014

Menjejak Lekok


Perjuangan bukan untuk meninggalkan zona nyaman, tapi memperluas zona nyaman – Jamil Azzaini

Cerita ini disponsori oleh peraturan kampus saya, dimana barang siapa yang mendapat beasiswa wajib menyerahkan proposal Program Kreativitas Mahasiswa (mungkin di kampus orang lain juga begini, entahlah). Jadilah, mahasiswa-mahasiswa dengan sungguh-sungguh (terpaksa) membuat berbagai tawaran program. Begitu juga saya, dan adik-adik di kontrakan. Oke jujur, kami membuat PKM demi itu.
Tapi Begitulah Allah, selalu saja ada cara mendidik saya. Mungkin ini salah satu dari sekian alasan saya tak diizinkanNya wisuda Maret ini, mungkin. Walau mungkin secara sengaja cara ini tak begitu saya suka. Ceritanya, dari proyek (agak terpaksa) itu ternyata proposal kami lolos dan mendapat hibah dana sekian juta dari DIKTI. Sebenarnya ini tidak begitu saya kehendaki, karena saya sudah tergabung dalam organisasinya si Sam, HIMATAI (Himpunan Mahasiswa Tingkat Akhir tapi Imut) jadi pikiran nggak mau jauh-jauh dari skripsi. Tapi setelah saya pikir lagi LOLOS PKM adalah masuk dalam gabungan jajaran daftar mimpi yang saya tempel dengan tangan sendiri di mading kamar. Ohh?!? Allah ingin saya mencoretnya.
To the point. Seperti perkiraan, PKM kami akan sulit. Kami mengajukan dana sekian juta untuk turut serta mengajar masyarakat buta aksara di daerah Lekok Kabupaten Pasuruan, ada yang tahu? saya ragu ada yang tahu. Itu daerah sedikit terpencil lebih terpencil berkali-kali dari rumah saya yang saya pikir sudah amat terpencil. Itu sebenarnya bukan apa-apa, yang apa-apa itu ketika kami mendengar kepala UPT P&K Lekok Pak Dasuki (Hai Pak !!) mengatakan “Tapi perlu saya informasikan Mbak, keaksaraan fungsional ini akan sedikit sulit karena penduduk di sini tidak bisa bahasa Indonesia atau pun bahasa Jawa tapi madura” *Pingsan. “Jadi mungkin nanti yang sabar saja, karena sebenarnya mereke juga merasa tidak butuh membaca, bagi mereka yang penting itu ngaji, membaca tidak dibawa ke akhirat” *kejangkejang
Terlanjur basah apa lagi yang harus kami lakukan kecuali meneruskan. Dengan menyewa tutor sekaligus translator bernama Bu Khot (Mari Bu.. !!!*ngangguk), kemarin 14/03 akhirnya kami (saya, kania, dan nova) memulai perjuangan itu.
Cerita kami berjalan sangat lucu karena kemudian kami seperti berada di luar negeri. Semua orang ngomong apa? semua orang ngomong apa? Mereka tahu maksud kita (ketika kita bericara pelan dengan Bahasa Indonesi) tapi tidak bisa menimpali, hanya dengan “Ya Bu..Ya Bu…” dengan logak yang sangat lucu. Mungkin inilah titik juangnya. Mungkinlah ini letak ‘seru’nya. Mungkin ini yang ingin Allah ajarkan pada saya. Untuk menjadi padi yang semakin berisi semakin merunduk.
Mereka berusia 30-50an tahun. Sama sekali tidak mengerti huruf. Karena dearah Lekok adalah pesisir, yang mereka tahu hanya menangkap dan menjemur ikan. Awal ini pun, dengan bantuan Bu Khot pun kami merasa sangat sulit atau tepatnya sangat bodoh. Bayangkan, untuk mengisi data diri pun ketika kami tanya usia tidak ada yang mengerti, semua taksiran!. Bahkan ada nenek-nenek yang ngeyel usianya 30 an sekian. *Errrrr
Tapi sejauh itu, bersama mereka sangat menyenangkan. Mereka menerima kami dengan bersemangat berbondong ke balai desa. Menyalami dan memanggil kami ‘Ibu guru’ *hiks terharu. Kami harap, meskipun sedikit adalah kebaikan yang kami bawakan untuk mereka. Semoga inilah yang dinamakan subuah ilmu yang barakah, yang bermanfaat bagi orang lain. Aamiin
salah seorang wb (warga belajar)


L to R: kania, nova


kami dan para wb (warga belajar)

Pasuruan, 150314
Futri Zakiyah Darojat

Tidak ada komentar: