Perjuangan bukan untuk meninggalkan zona nyaman, tapi
memperluas zona nyaman – Jamil Azzaini
Cerita ini disponsori oleh peraturan kampus saya, dimana
barang siapa yang mendapat beasiswa wajib menyerahkan proposal Program
Kreativitas Mahasiswa (mungkin di kampus orang lain juga begini, entahlah).
Jadilah, mahasiswa-mahasiswa dengan sungguh-sungguh (terpaksa) membuat berbagai
tawaran program. Begitu juga saya, dan adik-adik di kontrakan. Oke jujur, kami
membuat PKM demi itu.
Tapi Begitulah Allah, selalu saja ada cara mendidik saya. Mungkin
ini salah satu dari sekian alasan saya tak diizinkanNya wisuda Maret ini,
mungkin. Walau mungkin secara sengaja cara ini tak begitu saya suka. Ceritanya,
dari proyek (agak terpaksa) itu ternyata proposal kami lolos dan mendapat hibah
dana sekian juta dari DIKTI. Sebenarnya ini tidak begitu saya kehendaki, karena
saya sudah tergabung dalam organisasinya si Sam, HIMATAI (Himpunan Mahasiswa
Tingkat Akhir tapi Imut) jadi pikiran nggak mau jauh-jauh dari skripsi. Tapi
setelah saya pikir lagi LOLOS PKM adalah masuk dalam gabungan jajaran daftar
mimpi yang saya tempel dengan tangan sendiri di mading kamar. Ohh?!? Allah
ingin saya mencoretnya.
To the point. Seperti perkiraan, PKM kami akan sulit. Kami
mengajukan dana sekian juta untuk turut serta mengajar masyarakat buta aksara
di daerah Lekok Kabupaten Pasuruan, ada yang tahu? saya ragu ada yang tahu. Itu
daerah sedikit terpencil lebih terpencil berkali-kali dari rumah saya yang saya
pikir sudah amat terpencil. Itu sebenarnya bukan apa-apa, yang apa-apa itu
ketika kami mendengar kepala UPT P&K Lekok Pak Dasuki (Hai Pak !!)
mengatakan “Tapi perlu saya informasikan Mbak, keaksaraan fungsional ini
akan sedikit sulit karena penduduk di sini tidak bisa bahasa Indonesia atau pun
bahasa Jawa tapi madura” *Pingsan. “Jadi mungkin nanti yang sabar saja,
karena sebenarnya mereke juga merasa tidak butuh membaca, bagi mereka yang
penting itu ngaji, membaca tidak dibawa ke akhirat” *kejangkejang
Terlanjur basah apa lagi yang harus kami lakukan kecuali
meneruskan. Dengan menyewa tutor sekaligus translator bernama Bu Khot (Mari
Bu.. !!!*ngangguk), kemarin 14/03 akhirnya kami (saya, kania, dan nova) memulai
perjuangan itu.
Cerita kami berjalan sangat lucu karena kemudian kami seperti
berada di luar negeri. Semua orang ngomong apa? semua orang ngomong apa? Mereka
tahu maksud kita (ketika kita bericara pelan dengan Bahasa Indonesi) tapi tidak
bisa menimpali, hanya dengan “Ya Bu..Ya Bu…” dengan logak yang sangat
lucu. Mungkin inilah titik juangnya. Mungkinlah ini letak ‘seru’nya. Mungkin
ini yang ingin Allah ajarkan pada saya. Untuk menjadi padi yang semakin berisi
semakin merunduk.
Mereka berusia 30-50an tahun. Sama sekali tidak mengerti
huruf. Karena dearah Lekok adalah pesisir, yang mereka tahu hanya menangkap dan
menjemur ikan. Awal ini pun, dengan bantuan Bu Khot pun kami merasa sangat
sulit atau tepatnya sangat bodoh. Bayangkan, untuk mengisi data diri pun ketika
kami tanya usia tidak ada yang mengerti, semua taksiran!. Bahkan ada
nenek-nenek yang ngeyel usianya 30 an sekian. *Errrrr
Tapi sejauh itu, bersama mereka sangat menyenangkan. Mereka
menerima kami dengan bersemangat berbondong ke balai desa. Menyalami dan
memanggil kami ‘Ibu guru’ *hiks terharu. Kami harap, meskipun sedikit adalah
kebaikan yang kami bawakan untuk mereka. Semoga inilah yang dinamakan subuah
ilmu yang barakah, yang bermanfaat bagi orang lain. Aamiin
salah seorang wb (warga belajar) |
L to R: kania, nova |
kami dan para wb (warga belajar) |
Pasuruan, 150314
Futri Zakiyah Darojat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar