Senin, 17 Maret 2014

Dua puluh menit bersama kakek ajaib


Ini kisah lain tentang alien-alien baik hati, sepertinya saya baru paham mengapa Allah menakdirkan saya harus kuliah jauh-jauh ke Surabaya, biar saya sering pulang naik kereta *bisa jadi?. Biar saya banyak belajar dari orang-orang asing. Begitu kali ya. Semester awal, ketika hampir tiap minggu pulang, paling-paling saya cuman diam ketika di kendaraan umum, berbagi pertanyaan klasik “turun dimana?” lalu menyibukkan diri dengan tidur, makan tahu, makan donat, baca novel, surfing di dunia maya. Sudah. Entah sejak kapan, saya punya hobi, kalau naik kereta ingin kepo-in hidupnya orang ^^. Oh saya ingat, mungkin saya jadi begitu gegara Bu Diana, dosen kelas klinis yang cantik itu bilang. Kalian calon psikolog, laboratorium kalian adalah dunia, setiap orang yang kalian temui adalah sasaran belajar kalian, baca dan coba pahami mereka. Iya, gara-gara Bu Diana semua ini *peluk Bu Diana.
Pembuka yang kemana-mana banget yah ^^? Jadi gini, sore kemarin (28/02), selalu saya pergi dalam keadaan lapar. Setelah membeli sariroti di toko dalam stasiun, saya duduk sembarangan di bangku kosong. Lumayan banyak bangku kosong. Setelah habis roti sebungkus, saya baru noleh, sebelah kanan kakek sepuh sekali, sebelah kiri, seorang nenek tak kalah sepuhnya. Waah kacau, saya takut mereka tak bisa bahasa Indonesia. akhirnya saya cuman berbagi senyum gratis ke mereka. “Mau kemana, Dek?” si Kakek responnya bagus. Blitar. Oh Jauh ya?. Iya, Bapak?. Jombang. Oooh.
Luar Biasa sekali ternyata Kakek di sebelah saya. Bayangkan bayangkan, awalnya saja saya mengira beliau tidak bisa bahasa Indonesia, tapi ternyata pensiunan perusahaan kontraktor ternama (saya lupa namanya). Saya mulai merantau di Surabaya saat SMP Dek, tahun 1947an. Saya tidak tamat, tapi saya kutu buku. Jadi saya tahu dunia bisnis, dunia saham, dan bahasa. Jadi saya bisa bahasa Jepang. Dan kemudian si kakek ngecipris pake bahasa  jepang, sayangnya saya lagi nggak sama Nita, tahu gitu kan lebih seru. Karena saya nggak ngedong si Kakek bilang apa, ya saya cuman ketawa ketiwi aja.
“Anak saya yang satu karyawan pertamina (*Wauww, batin saya), yang satunya dosen Unair. Alhamdulillah sudah sukses, kunci sukses itu hanya dua Dek, tekun sama taat. Kalau itu sudah dipenuhi, pasti sukses.”
Si Kakek ini ajaib sekali sih, batin saya. Biasanya, terutama di desa saya. Kalau sudah usia delapan puluh paling-paling pembicaraannya nggak jauh-jauh dari kalau nggak harga tembakau ya jadwal panen. Tapi si Kakek di depan saya berbicara kiat sukses, investor, sampai manfaat banyak baca buku. “Saya suka baca Dek, itu di tas ada majalah sama koran. Biasanya kalau orang sebelah saya ndak mau mau ngobrol, kan ada orang tertutup atau pemalu. Biasanya kalau sudah gitu saya baca.” Ihh mirip banget kebiasaan Kakek sama saya, baca atau ngobrol. Jangan-jangan cucunya kakek jodoh saya? *apa banget?
Sayang sungguh sayang kesempatan saya mendengarkan cerita kakek itu hanya duapuluh menit, karena selepas itu kereta kesayangan saya datang dengan gagah berani menjemput sang puteri. Namun lumayan, dari duapuluhmenit itu saya bisa belajar bahwa inti dari segala perubahan menuju lebih baik adalah belajar. Adalah melakukan, adalah tidak hanya tinggal diam. Membaca, melakukan perjalanan, berbicara dengan banyak orang adalah sekian dari banyak cara belajar. Dan yang terpenting, inti dari elajar bukan sekedar tahu, tapi paham. Sehingga belajar yang berhasil adalah yang menghasilkan perubahan (tentu ke arah yang leih baik)

*a late post* Futri Zakiyah Darojat

Tidak ada komentar: