Senin, 26 November 2012

Izinkan aku meminjam cintamu, wahai Salman (1)


 
Apakah arti cinta bagimu?
Seseorang menjawab,  “cinta adalah persahabatan.”
Apakah arti cinta bagimu?
“Cinta adalah katika kau merasa cemburu jika yang kau cintai mendua, cinta adalah rindu jika lama tak bersua.”  Jawab yang lainnya.
Cinta. Apa itu cinta?
Coba Tanya pada sahabat Rasulullah Salman Alfarisi. Kita akan memperoleh jawaban yang tidak pernah kita kira.
            Pemuda tampan keturunan Persia itu adalah Salman. Saat ini ia sedang jatuh hati pada seorang akhwat Madinah (mungkin akhwatnya bisa digambarkan seperti saya *plaaaak). Bagi Salman, tidak ada ikatan lain yang diridhoi Allah kecuali pernikahan. Namun ada sesuatu yang merisaukan hatinya. Dia adalah pendatang di negeri Madinah, mana mungkin ia berani dengan lancang melamar gadis pribumi. Itu bukan aral besar, Salman bisa membuktikan jiwa pemberani sebagai lelaki sejati. Ia mendatangi sababatnya dari golongan Anshar (orang Madinah). Sebutlah dia Abu Darda’. Seorang ahli ibadah yang tidak diragukan lagi.

“Subhannallah wal Hamdulillah ! Ayo saudaraku, mari ku antar menemui ayah gadis itu.” Girang Abu Darda’ menyambut niat Salman. 
Setelah menyelesaikan beberapa persiapan, dua sahabat itu segera mendatangi rumah gadis tersebut.
”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia.  Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abu Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah member isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Haaa what,????  lihat saudara saudara, bagaimana perasaan kita, jika seorang yang kita suka, kemudian dengan mengerahkan seluruh keberanian kita beranikan diri mengatakan cinta , bahkan dibela – belain minta bantuan teman. Dia menolak dan mengatakan, “Jika temanmu yang melamar, maka jawabannya adalah Iya.”  Saya tahu, mungkin rasanya seperti jatuh dari gunung merapi, terlempar ke semudera hindia, dan tersesat di dalam istana roro kidul. sakit sakit sakit. Tapi tunggu dulu!! bagaimana reaksi Salman?
”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi
pernikahan kalian!”
???
ckckckck Subhannallah, terbuat dari apa hati Salman itu ya Allah, bukan hanya merelakan orang yang ia cintai, namun direlakannya pula mahar dan persiapan pernikahan. Salman…bagaimana ia mengartikan cinta itu sebagai Ta’liful Qulub (ikatan hati) yang bukan karena nafsu ingin memiliki. Bukan ajang hebat – hebatan karena telah berhasil mendapatkan hati sang terkasih, bukan. Ia mengutamakan ukhuwah, mengutamakan Allah. Bahkan kita tidak tahu bagaimana hatinya sedemikian ia tata, ia bahkan memberikan maharnya untuk sahabatnya. Oh Tuhan…Adakah Salman akhir zaman.
Marilah kawan kita tanamkan cinta semurni cinta Salam di hati kita, cinta yang mengutamakan redha Allah. Hal ini bukan hanya untuk lawan jenis, cinta pada saudari kita pula…Cinta yang redha jika yang dicintainya bahagia, cinta yang berkorban bukan menuntut pengorbanan. Salman, saya ingin memiliki cinta seperti cintamu, maka Salman, pinjimi aku cintamu…untuk ikhlas, untuk redha, untuk mengatakan, “aku mencintaimu benar karena Allah” :))


Minggu, 25 November 2012

Kepada Allah



Allah...aku mencintaiMu
karena itu Kumohon cintailah aku
Allah...cintai bapak ibuku seperti mereka mencintaiku...
Allah...aku penuh dosa, aku tahu..
hatiku kotor dan sifatku jauh dari mulia...
Tapi Allah...jangan biarkan aku berjalan sendiri..
Terangi lankahku dengan sinarmu..
Allah...pundak terasa berat untuk memikul..
karena itu...atas kebesaranMu, kokohkanlah aku..
Aku bodoh ya Allah..anugerahi aku...
cerdaskan aku seperti kau memberi kelebihan pada Ali putra Abu thalib
Aku lemah ya Allah..asa dalam hati sering terkulai..
karena itu, teguhkan aku seperti hambaMu yang bernama Muhammad Al Fatih
ya Allah...aku tahu jiwaku kerdil, dunia begitu besar untuk kutakhlukkan..
tapi ya Allah, izinkan aku untuk meminta...
Biarkan aku seberani Thariq Ibn Ziad...
ya allah...ku sadari, setua ini, apa yang bisa ku beri untukMu...untuk agamaMu..
aku ingin cinta ya Allah...aku ingin mencintai jalanMu...
seperti Khalid bin Walid mencintai sahid ya Allah...
Oh Allah...ampuni aku ya Allah..
sepanjang ini..aku hanya meminta...
sedang apa yang bisa kuberi untukMu...
untuk agamaMu...
Allah... ampuni hamba yang penuh dosa ini..
Amin :))

Jumat, 23 November 2012

Here I am !





All night, a man called “Allah
Until his lips were bleeding.
Then the Devil said, “Hey! Mr Gullible!
How comes you’ve been calling all night
And never once heard Allah say, “Here, I am”?
You call out so earnestly and, in reply, what?
I’ll tell you what. Nothing!”

The man suddenly felt empty and abandoned.
Depressed, he threw himself on the ground
And fell into a deep sleep.
In a dream, he met Abraham, who asked,
“Why are you regretting praising Allah?”

The man said, “I called and called
But Allah never replied, “Here I am.”
Abraham explained, “Allah has said,
Your calling my name is My reply.
Your longing for Me is My message to you.
All your attempts to reach Me
Are in reality My attempts to reach you.
Your fear and love are a noose to catch Me.
In the silence surrounding every call of “Allah
Waits a thousand replies of “Here I am.”


—Jalaluddin Rumi, “Here I Am”

Kamis, 22 November 2012

Save Palestin, save Al - Aqsha



Saya bertanya pada Ibu
"Ibu...restu kah kau, jika putrimu hendak terbang ke sana, ke sana menuju tempat dimana saudara - saudaraku berpijak menghitung detik - detik syahid."

Ibu menjawab :
"Pergilah putriku....Tiada sesuatu yang ibu punya untuk menghalangimu. Pergilah putriku...hanya dengan doa ibu akan membekalimu..."


Andai kata itu benar berani kuucapkan, andai benar seperti itu jawaban ibuku...Sedang di sini, aku hanya bermalu - malu karena tak ada yang bisa kulakukan untuk saudaraku. Aku hanya menangis pada Allah, "Selamatkan saudaraku ya Allah, hancurkan Israel laknatMu"

Andai tentara berjilbab itu adalah aku...wahai saudaraku, ingin rasanya bersua, membentangkan jalan menyeru umat pada Allah. Indah pastinya...
Wahai saudaraku, sunggug aku malu. melihat diri disini, pada ruangan hangat nyaman dengan perut penuh isi...Aku malu karena kau sedang sibuk melempari tank - tank musuh sedang aku hanya terlentang bermain laptop.
Ya Allah....Jaga Saudaraku...
Ya Allah...Dekatkan kemenangan itu...
Hancurkan Israel laknatMu...


*saya malu...sedang saudara saya tidur dibawah naungan dentuman bom. dan saya hanya mengeluh tentang tugas kuliah yang tak seberapa :'(

Kamis, 15 November 2012

Tentara Kavaleri : Khaleed Ibn Waleed


Wajahnya tersingkap sorban putih, debu dan kilau matahari semakin menghalangi pandanganku.
Aku melihat dari jauh, pimpinan pasukan berkuda, Khalid putra Al-Walid. Seperti biasa, ia memegang tali kekang kuda dengan kuat, berdiri pada garda depan, tanpa sedikit pun sirat gentar. Sekali – sekali ia kumandangkan, “Allahu Akbar. Berhembuslah angin surga !”.
Khalid, ada bekas luka pada punggung tangan dan wajahnya, yang entah kenapa semakin membuatku terpesona. Ia tak tak setampan Mush’ab Ibn Umair, tapi entah apa yang salah pada mataku. Aku lebih suka memperhatikannya. Khalid, ia jarang bahkan hampir tidak pernah terlihat tanpa debu. Wajah dan pakaiannya, selalu seolah mengabarkan bahwa ia sepulang dari perang. Tapi bagiku, debu itu membuatnya terlihat lebih jantan. *plakk. Ku pukul kepalaku yang bodoh, aku segera beralih pikiran.
Khalid, ia cerdas. meski tak secerdas Ali Ibn Khatab. Tapi ia sangat ahli menyusun siasat perang. Hampir semua perang yang dipimpinnya menuai kemenangan. Yang kemudian, hal inilah yang membuatku jatuh hati *plaakk kedua.
Suatu saat, aku menemukan tubuh kokohnya terduduk ringkih. Entah apa yang dipikirnya. Seperti biasa -dan memaag harus seperti biasa- aku hanya diam melaluinya (maklum, kami tak saling kenal). Hanya saja, aku menangkap siluet berpantul yang tak begitu jelas, ia menangis. Dalam diam. Khalid, apa yang merisaukan hatimu? apa gerangan masalah yang membuat panglima perang yang gagah berani itu, terduduk ringkih dan menangis dalam diam. Ini sisi berbeda yang akhirnya bisa kulihat darinya. Di satu sisi, ia mampu berdiri dengan suara bergempita di medan perang, dengan wajah melegam yang memancar aura, di sisi lain, ia lembut seperti awan. Terduduk ringkih seolah tak berdaya. Duhai Khalid, izinkan aku meminjamkan pundakku untukmu bersandar, ceritakan padaku gumpalan yang menyesak dalam dadamu.
Hari kedua, aku masih mehatnya dari kejauhan. Dengan ekspresi tak berbeda, hanya saja ia tampak lebih tenang, tanpa getaran menahan tangis. “Assalamualaykum ya Khalid.” *Hah, aku berani menyapanya? “Waalaykumussalam.” Sesaat ia memandangku, lalu ia memalingkan pandangannya kea rah mata kakinya. Hanya itu, apakah itu patut aku sebut perkembangan. Aku mampu mengucapkan salam di depannya. Meski setelah itu, aku hanya berlalu. Apakah aku pantas untuk bangga, sementara orang lain telah terbiasa melakukan hal itu pada sang panglima perang. Ini kacau (batinku).

*Kisah ini hanya rekaan seorang bocah yang jaringan otaknya sedikit kusut, tidak diambil dari siroh sahabat (ya iyalah jelas *plaaakkk).

Sabtu, 10 November 2012

belum Depresi

Well. ada sedikit kerusakan pada otak saya hari ini. Entah mungkin gangguan depresi kecil - kecilan...Atau mungkin suatu bentuk protes sebagian hatiku pada sebagian hatiku yang lain. Saya memang tak ada henti - henti mematut Screen lappy hingga peninglah mata dan kepala. Tapi sejauh itu...saya tidak mendapat apa - apa. Jangankan telah memulai dari empat project, hanya satu yang terselesaikan latar belakangnya.*Tragisssssssss :'(
Saya sudah berusaha ya Allah....menjernih - jernihkan otak agar ide itu muncul, agar kalimat - kalimat itu dengan mundah saya pancing dan terkait pada kail. Tapi ya Allah...rasanya ingin mengadu kepadamu..."Maaf saya belum bisa memberi yang terbaik. Maaf ya Allah sepertinya saya akan menyerah."
Entah apa yang ada pada otak saya. Saya harap saya tidak salah jika ingin menjadi lebih baik dari teman - teman saya. Saya hanya ingin memulai lebih awal dan mengerahkan tenaga yang saya punya untuk beberapa tugas saya. Tapi....saya berujung depresi mengenaskan...
Saya butuh charger...saya membutuhkan sesuatu untuk menganggat dagu saya agar tak selalu menunduk loyo. Saya ada niat ya Allah. Saya Ingin. Saya Mau. Tapi saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Kalau seperti ini rasanya engin kurobek tempelan - tempelan pada dinding kamar yang sekarang lebih terlihat menghina. "Apa kamu...loyo...useless...pergi sana dengan boneka beruangmu." T.T
ya Allah...beberapa kata kunci saya temukan dari kata - kata seorang teman, bahwa kesuksesan adalah kesabaran dalam bertahan. Aku tahu, ini hanyalah sepotong kecil kerikil yang menghalangi langkahku...Tapi ya Allah, bertahan itu membutuhkan kekuatan, dan kekuatanku hanya datang darimu. ya Allah, Engkau satu yang bisa kupercaya. Jaga hamba...


*maaf untuk beberapa pihak yang terkena semprot akibat ke-depresi-an saya :(


.Dalam Kerinduan :D :D

Ketika orang tertidur kamu ter bangun, itulah susahnya.
Ketika orang menikmati kamu menciptakan, itulah rumitnya
Ketika orang mengadu kamu bertanggung jawab, itulah repotnya
Ketika orang menikmati pagi dengan santai kamu malah ikut syuro', itulah godaannya
Ketika orang menikmati akhir pekan dengan liburan kamu ikut dauroh, itulah sulitnya.
Maka tidak banyak orang bersamamu di sini..
Tetapi Allah telah terlanjur memilihmu saudaraku...
Dan jika kau tak bisa menikmati itu semua,
Maka perhatikanlah kondisi dan suasana dirimu. Karena...
"Bila hatimu tak ada kelezatan yang bisa kamu dapatkan dari amal yang kamu lakukan, maka curigailah hatimu," Begitu kata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.

#Dalam keinduan syuro' :D :D

Jumat, 09 November 2012

Jundi kecil

Ini dia.



Jundi kecil kami.




Ahmad Syahdan Alkahfy. Akrab disapa Dek Dan....tapi mbak Put suka panggilnya Tutil :D




masih 8 tahun sudah hafal At-Taqwir lo.




cita - citanya kuliah di Spanyol jurusan olahraga, biar ketemu David Villa katanya




sukanya nge-game, photo - photo, sama main sepak bola.


mbak Put sayang dek Dan :*



Kamis, 08 November 2012

Pria Sejuta Pesona

-->


Entah, ada sesuatu yang menyentuh sisi hatiku saat Abi mengatakan kalimat “Mbak,……………..” atau “……………………………,Mbak.” Disana seperti ada berkas tersirat yang hendak beliau sampaikan. Yang urung karena menatap wajahku yang lebih sering tampak memelas manja. Ah…aku selalu sulit mendewasa.
…………….
Masih ingat saat gaji terbanyak pertama kuserahkan pada beliau, “Buat abi.”  Beliau menatapku dua jenak lalu tertawa. Bukan, aku yakin maksud abi bukan menghina uang dalam amplop putih itu yang tak seberapa. Entah, seperti pias – pias haru melihat putrid sulungnya yang manja menghabiskan masa liburan di kota orang.. “Ditabung saja mbak, katanya mau kuliah di Sydney.” Abi, rasanya ingin memeluk abi saat itu.
…………..
Aku selalu ingat percakapan sore itu di ruang tamu,
“Mbak Rois, Mbak upik sudah menikah. Nggak ingin menikah juga mbak.” Aku tahu, Abi hanya memancing reaksiku.
“Menikah? sekarang? boleh Bi?.” jawabku pura – pura bersemangat.
“Boleh.”
“Calonnya? aku nyari sendiri?.”
“Boleh.”
“Boleh?”
“Boleh. asal ngaji.”
Aku tahu ada satu harap yang disampaikan abi disini, bukan sekedar ngaji (mengaji al-qur’an). Ada harap yang selalu beliau titipan lewat kata – kata sederhana beliau.
……………..
“Kalau aku kuliah di Sydney, boleh nggak Bi.?” Di depan TV 14 inci milik kami, kucoba alihkan perhatian ayah tercintaku ini.
“Boleh, asal Abi ikut kesana.”
-Sulit sekali mencerna bagian yang ini-
………..
“Dua bulan abi ndak kirim uang, kenapa Bi. Padahal katanya tokonya lancar. Gitu kok anaknya ndak kecipratan.”
“Sempat kelaparan ndak dua bulan kemarin.”
Kujawab dengan gelengan.
“Yah….kelaparan aja ndak sampe, minta cipratan.”
Begitulah abi, caranya unik mendidikku. Untuk tak manja lagi, untuk belajar mencari bukan hanya meminta. Meski pun pada akhirnya beliau mengganti uang jatahku dengan membelikanku cincin. Tapi begitulah, (Mungkin beliau tahu, kalau aku banyak uang. Aku juga semakin banyak belanja sesuatu yang tak penting)
Pernah suatu kali.
“Apa itu Mbak?”
“Baju baru. Bagus tapi murah lo Bi, lagi diskon soalnya”
“Baju yang kemarin di kasihkan Lia saja.” Lia itu anak tetangga.
“Loh kenapa?”
“Kan sudah punya baju baru. Buat apa yang lama.”
Ahh abi…..
……………………………..
“Bi, banyak mbak – mbak asrama yang jadi guru di SDIT.”
“jangan jadi guru mbak.”
“Loh knapa?”
“Banyak orang baik yang jadi guru, jadi orang baik di tempat lain saja.”
Abi selalu menginginkanku berbeda dari orang lain. Lebih baik tentunya, seperti saat beliau menetahku, gadis 14 tahun waktu itu, menghadap kepada sekolah sembari mengatakan “Ibu kepala sekolah, saya akan menerima akibat apa pun asal saya diizinkan menggunakan jilbab pada saat foto ijazah.” “Kalau ijazahnya di tahan sekolah Bi.” “InshaAllah ndak.” Cuma itu. Tapi itu membuatku cukup berani, membuatku kuat meski dari 391 siswa, hanya aku, satu yang berbeda.
……………
“Bi, kenapa sih kita harus repot – repot ke rumah budhe ini, budhe itu, pak puh ini itu, mbah sana sini. Aku juga ingin bersilaturrahmi dengan teman teman Bi.”
“Biar cepat kaya. Mau cepat kaya ndak.” Huff selalu sesimpel itu, selalu sedalam itu. Abi selalu menemukan cara bagaimana membuatku diam. Bagaimana membuatku sadar tanpa harus mengatakan kalimat larangan atau perintah. Ahh Abi selalu tampil memesona, meski dengan celana kain dan kemeja yang kadang tidak matching. Abi pria tertampan yang aku tahu, meski rona hitam jejak matahari melekat pada kulit wajah dan tangan beliau, Abi selalu terlihat tegas dengan kelembutan. Abi, dialah pria sejuta pesona. Yang membayar hafalan surat – surat pendekku dengan es krim. Yang menatapku tajam karena aku pulang larut dari bermain.
…………..
Ayah, terima kasih…
ananda haturkan kepadamu…
yang telah mendidik dan membesarkanku
bersama ibu..
ayah engkaulah guruku…
yang terbaik sepanjang usiaku…
yang telah membimbing masa kecilku
menuju jalan Tuhanku… -Suara persaudaraan_Kenangan bersama ayah-

ini Abi ketika Mukhoyam Pandu Keadilan di Nganjuk, Jawa Timur


the most romantic couple in the world :D suit suit


sayang kalian :*

Rabu, 07 November 2012

Kusut

aku harap. kita akan berbagi.
seperti labu kuning dan petani pepaya.
aku harap kita akan berbagi.
beban di pundak. yang seolah membuat tubuhku menyusut.
air. kau masih ingat aku suka air.
bagaimana deru itu.
indah, menenangkan. mensucikan.
ku harap kau selalu takjub.
pada apa yang ku suka.
konyolnya. kau selalu tertawa pada apa yang kubanggakan
masalah muncul. kau selalu menantang. padahal kau tau. aku tak akan pernah mengalah.
Diam.


*titipan dari princess untuk rakyatnya yang bernama phillips

Senin, 05 November 2012

Girang


*terbaik 1 dalam Pekan Islami dan Achievement Motivation Training Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya

 persembahan untuk kakak perempuanku, aku tahu kau akan membuktikan kata - katamu, bahwa dengan menikah, kau akan menjadi kaya.

GIRANG
Andai Malaikat lalai tak menulis dosaku……
Andai perbuatanku kan terhapus, seperti karet melenyapkan goresan pensil…
Dan jika waktu dapat berputar ulang…..
Pasti aku tak kan memilih jalan itu….
Harga diri terlalu mahal tuk diperjual belikan….
Betapa bodohnya aku…
Aku tak kan membiarkan hal itu menimpa GIRANG sedikit pun…
Tak akan kubiarkan….
Maafkan Bunda sayang atas kebohongan ini..

Kucerna hati – hati barisan kata pada kertas usang itu.Apa maksud dari semua ini? Kebohongan? kebohongan apa?. Hatiku menyimpulkan, ini sebuah rahasia yang besar. Ya, aku pikir tulisan ini tentang ayahku. Bunda tidak pernah menceritakan apa – apa perihal ayah. “Ayah Girang itu pahlawan, dia tentara Indonesia, tapi sayang, Allah begitu cepat memanggil Ayah Girang” Hanya kata – kata itu yang berulang kali kudengar ketika berpuluh – pulah kali kutanyakan tentang ayahku. Rasa penasaranku mencapai titik beku. Harus kutanyakan pada siapa tentang hal ini. Apa harus menunggu Kak Fahmi pulang.Hatiku tak tahan menunggu Kak Fahmi hingga setahun lagi.Karena baru dua hari yang lalu Adik Bunda itu berangkat ke Yogyakarta mengurus proyek barunya.      
            Senja itu hatiku tergerak membaca Al-Qur’an Bunda yang mungkin hampir lima tahun tak tersentuh. Sejak Bunda meninggal, benda kesayangan Bunda ini hanya menjadi pajangan dalam almari kaca. Dan hanya akan keluar ketika Mbok Rodi membersihkan almari. Kak Fahmi pun tak pernah membaca Al-Qur’an Bunda, sulit katanya. Mungkin karena warna kertasnya coklat kekuningan.Tapi  seolah digerakkan kekuatan Malaikat, senja itu kuambil dan kubuka halaman perhalaman sebelum memulai membacanya. Tanganku terhenti ketika menemukan selembar kertas warna merah yang membatasi lembaran dalam Al-Qur’an. Setelah kubaca.Aku menjadi bingung.Apa sebenarnya maksud semua ini.
            “Mbak Girang sedang apa kok ngelamun,nanti kesambet lho..”Suara Mbok Rodi mengagetkanku.Seolah terbangun dari tidur panjang segera kuedarkan pandanganku seisi ruangan.Mbok Rodi tampak duduk di depanku.Wanita paruh baya itu tersenyum menatapku.
            “Eh Mbok…enggak kok cuma kangen aja sama bunda.” Kututup Al-Qur’an dan  kuletakakan kertas itu di tempat semula.Semoga saja Mbok Rodi tidak melihat kertas ini.
            “Kalau kangen itu ya didoain Mbak.. biar Bunda bangga punya anak kayak Mbak Girang.”Tangan Mbok Rodi menyentuh kemudian mengelus pundakku.
            “Iya Mbok,lama sekali Girang gak doa buat Bunda,pasti Bunda kangen sama Girang.”
            “Agih..sekarang sudah magrib sholat dulu..”Mbok Rodi mengembangkan pipi keriputnya,tersenyum padaku.

                                    **********************************
            “Girang mau kemana..?” Bunda berkata halus sambil terus mengikutiku ke arah sungai.
            “Mau jalan - jalan Bun…ke tepi sungai melihat matahari…” tariakku sambil berlari kecil.Tapi sesampainya di tepi kakiku terperosok ke dalam lumpur di tepi sungai.Dan semakin terperosok. “Bunda…..Bunda..tolong Girang Bunda…”
            “Girang…..Hati – hati sayang,Bunda akan ke situ.”Bunda berlari ke arahku.
            “Bunda Girang takut..Bunda.” Aku mulai menangis disaat lumpur itu menjerat lututku.
            “Sini sayang pegangan tangan Bunda…”Bunda mengulurkan tangan kanannya, dan tangan kirinya berpegangan pada ranting pohon.
            “Bunda, Girang takut…”Tangisku semakin menjadi dan membuat Bunda semakin panik.
            “Pegangan yang kuat sayang..Bunda akan menarikmu..”Bunda menarik tanganku hingga tubuh terangkat keatas hingga ke tanah.Tapi apa yang terjadi,pohon tempat Bunda berpegangan pada rantingnya tumbang ke arah sungai dan Bunda terhanyut bersama onggokan pohon itu.Perasaanku kacau.Aku bingung tak tahu apa yang harus kulakukan. Dan aku menangis sekeras – kerasnya.
            “Bunda….Bunda…” Tangisku sejadinya membuatku terduduk di tepi sungi itu.
            “Bunda..Bunda..”
            “Mbak Girang..bangun Mbak sudah subuh..ayo sholat….”Suara Mbok Rodi samar di sela tangisku.
            “Bunda..”
            “Mbak…Mbak Girang Cuma mimpi.” Mbok Rodi berkata sedikit berteriak hingga membuatku tersadar.
            “Mbok..Bunda,Mbok…Bunda..Girang takut kehilangan Bunda.”Kupeluk erat Mbok Rodi yang duduk di tepi ranjangku.
            “Sabar..Mbak.Bunda sudah enggak ada.Mbak Girang tenang saja di sini ada Mbok…” Mbok Rodi mencoba melepas pelukanku,tapi aku tak mau aku tetap memeluk erat tubuh Mbok Rodi.
            “Mbok…Girang kangen sama Bunda. Girang pengin ketemu Bunda…Girang pengin nyusul Bunda.”
            “Huss…Mbak enggak boleh bilang begitu..”Mbok Rodi melepas pelukanku dan menghapus air mataku.”Sekarang Mbak Girang sholat ya…ayo Mbok antar ambil air wudlu.
            Mbok Rodi menuntunku menuju kamar mandi,saat ini pikiranku kosong,hati serasa disayat.Aku benar- benar merindukan Bunda.rasanya ingin mati demi bertemu Bunda.
                                                *************************
            Sejak peristiwa itu,Mbok Rodi semakin perhatian padaku. Membangunkanku tepat waktu,menyiapkan sarapan bahkan mencarikan Taksi untuk ke kampus. Sedikit pun Mbok Rodi tak membiarkanku sendirian, Beliau takut jika aku mencoba bunuh diri. Mungkin karena mendengar kata - kata ‘Girang pengin nyusul Bunda’. Ahh...itu hanya keinginanku sesaat, karena masih ada iman yang meyangga batinku. Tapi yang membuatku benar – benar bingung, Kak Fahmi pulang padahal baru beberapa hari di Jogja.
            “Girang….bukan begini caranya kalau Girang kangen sama Bunda. Kasihan Mbok Rodi. Cemas mikirin Girang.” Teryata Mbok Rodi  mengadu pada Kak Fahmi. Aku teringat ucapan Kak Fahmi waktu itu. Dia tak akan memaafkan dirinya sendiri. Aduh..aku jadi merepotkan semua orang.
            “Girang…lha wong ditanya kok malah nglamun.Udah dong Girang…”Tangan Kak Fahmi menari- nari di depan mataku.
            “Maafkan Girang Kak, Girang nggak bermaksud bikin khawatir Kak Fahmi. Perasaan Girang menjadi tak karuan begini sejak membaca selembar kertas yang terselip dalam Al-Qur’an Bunda.Tulisan di kertas itu seolah terus menghantui Girang. Girang sendiri juga gak ngerti kenapa.”
            “Selembar kertas apa?” kak Fahmi terlihat bingung mendengar jawabanku. Ku ambil kertas itu dan kuserahkan kepada Kak Fahmi.
            “Kakak tau apa maksudnya?” Kak Fahmi hanya terdiam setelah membaca surat itu, dan ketika Seperti sibuk dengan pikirannya. “Kak Fahmi jujur dong sama Girang, apa maksud tulisan itu, Girang yakin Kak Fahmi tau semuanya.”
            “ Girang janji nggak akan marah sama Bunda jika Kak Fahmi cerita sama Girang?”
            “Girang sayang sama Bunda, seperti apa pun Bunda, Girang akan tetap sayang sama Bunda.” Aku meyakinkan Kak Fahmi.
            “Girang sebenarnya, Ayah Girang belum meninggal. Ayah Girang masih ada, dan Girang kenal siapa ayah Girang. Tapi Sayang…sudah lah lupakan semua.” Kata – kata Kak Fami benar membuat jantungku berdetak kencang. Siapa yang di maksud Ayah Girang yang masih hidup, dan Girang mengenalinya.Siapa…
            “Siapa Ayah Girang Kak Fahmi?” Suaraku tergetar lemah hampir tak keluar.
            “Bunda Girang pernah bilang kepada Kak Fahmi kalau Girang tidak boleh tau semua ini, maafkan Kakak sayang…” Kak Fahmi masih menunduk, seperti menekan rasa bersalah.
            “Bunda sayang sama Girang, Bunda pasti seneng bila Girang seneng, Demi Girang, ayo lah Kak Fahmi.”
“Girang janji akan melupakan semua ini jika kakak beri tau,?” Kegusaran kak fahmi berkata - kata membuatku semakin penasaran. Ia meletakkan kedua tangannya pada pundakku seolah aku gadis usia TK yang minta dibelikan petasan. “Ayah Girang adalah, Pak Broto.”
“Apa……..!!!!” Seperti ada sebuah batu jatuh tepat di kepalaku, aku benar – benar tak menyangka kak fahmi akan menyebut nama itu. Nama yang begitu kubenci. Nama yang kini tertulis dalam catatan kejahatan sebagai bandit sodomi. Jantungku serasa lemah untuk berdetak.
Subrata adalah rentenir kaya yang mempunyai segudang istri. Sekitar tuju tahun lalu masih terlihat jelas ia menampar pipi bunda hingga bunda tersungkur saat kami telat membayar utang.. dan yang semakin membuatku benci padanya, Ia melakukan hal senonoh pada Abid, sahabat masa kecilku.   Aku benar – benar tak menyangka, Iblis itu adalah ayahku.Tidak!!!
Sore ini aku duduk di tepi sungai, bayang – bayang berkelebatan pada pikiranku, bunda, Abid yang hingga kini mengalami gangguan jiwa, dan si bandit yang tengah merengkuh di penjara. Tuhan begitu tak adil memilihkan Ia untuk ayahku. Seburuk itukah darah yang telah mengalir dalam tubuhku.
******************************
Siang ini, aku berjalan lunglai meninggalkan kampus, hari ini aku akan ke sebuah tempat yang hingga umurku sembilan belas  tahun ini belum pernah menginjakkan kakiku di lantainya. Ya…rumah tahanan. Aku benci sebenarnya datang kesini, tapi hati kecilku memaksakan langkah kakiku. Begitu sampai, aku berbicara sedikit pada polisi tua dan mengatakan ingin mengunjungi Subrata, merinding rasanya mendengar nama itu. Aku masih belum mengakui jika dia adalah ayahku. Polisi itu mengantarkanku menuju ruang kotak – kotak tempat para residivis terkurung dalam sangkar besi. Subrata menatapku tajam, aku yakin ia tak mengenaliku. Aku memantapkan mataku seolah tak gentar meski  jantungku berdetak berantakan. Aku harap Kak Fahmi berbohong jika pria gendut berkumis tebal dan penuh tato diseluruh tubuhnya ini adalah ayahku. Aku sedikit bergidik.
“Anak kecil, ada ursuan apa kau mencariku.” Gayanya masih angkuh, matanya jelalatan memandangiku dari ujung rok panjang hingga jilbab putihku.
“Maaf , mengganggumu tuan Subrata terhormat, aku hanya menanyakan padamu perihal Santi. Gadis yang pernah kau beli dari ayahnya karena tak bisa membayar utang padamu.” Aku menatapnya penuh kebencian.
“Santi....ha,,,,ha,,.haa....ada urusan apa kau dengan santi, tubuhnya sudah lama membusuk digerogoti cacing tanah. Ha….” Ia tertawa menggelegar, ingin rasanya menyobek mulutnya yang bau itu.
“jaga mulutmu bandit sodomi, jangan pernah menghina ibuku.”
“Ibumu?” Ia terkejut mengucapkan itu lalu kembali terbahak – bahak membuat polisi penjaga memerhatikan kami. “Bararti kau anakku, cantik juga kau, meski tubuhmu terbungkus seperti pisang rebus tapi wajahmu terlihat manis.” Ia nyaris menyentuh pipiku dari celah – celah besi. Aku mundur dan menghindar. Ia tertawa melihat ketakutanku dan berteriak memanggilku “Santi kecil kemana kau, di sini dulu aku merindukanmu.” Ia kembali tertawa membahana.
Dalam perjalanan pulang, sampai rumah, mandi, hingga makan siang aku tetap merasakan takut yang sangat. Sup cakar ayam di depanku hanya ku aduk tanpa sekalipun kucicipi. Suasana hatiku belum netral.Entah karena apa aku teringat Abid, sahabat kecilku, sekarang bagaimana kabarnya. Dulu kami selalu bersama, membakar singkong di tepi sungai, bermain layang – layang, bahkan mencuri mangga di rumah Subrata. Namun itu dulu sebelum kejadian pahit itu menimpanya, dan dia pergi meninggalkan kota ini, aku menjadi ikut merasa bersalah.
“Mbak...udah to, dimakan supnya, lha wong udah nggak panas.” Mbok rodi berkata namun pandangannya pada arah TV di ruang tengah.
“Eh iya mbok….Mbok, Girang mau tanya. Mbok tau kabarnya Abid nggak.” Aku berkata hati – hati. Mbok rodi menatapku aneh.
“Mbak Girang nggak tau kalau mas abid sudah pulang, sudah jadi ustad di TPA di ujung gan itu lo, sekarang jadi cakep lo Mbak…makin putih setelah pulang dari pesantren.
“Masa sih…(bukannya dia di RSJ?)” aku sedikit terkejut mendengar itu, mbok Rodi terus bercerita, Abid kembali, tapi mengapa tak mencariku, bukan kah dia sahabatku. Apa karena dia sudah tau aku adalah anak Subrata. Ahh….
****
Sore itu aku duduk menyendiri di atas kayu di tepi sungai. Begitu banyak kenangan yang terukir dari tempat ini. Dalam sunyi hanya riak sungai yang terdengar mengicir. Samar ku dengar suara dari jalan setapak di belakangku. Suara anak - anak kecil berceloteh riang, bersepeda menuju sungai. Salah satunya berkata “Kak ustad bolehkan kita main di tepi sungai.” “Iya tapi hati – hati ya...” Kubalikkan badanku. “Abid?” Aku kikuk melihatnya. “Girang, apa kabar.?” Suaranya lembut bijaksana, memang benar semua yang diceritakan Mbok rodi, ia terlihat tampan. “Baik.” Kuulurkan tanganku untuk berselaman. Ia hanya mengangguk tak membalas tanganku. Aku berbengong. “Kita belum muhrim girang.” Ia berkata mantap tanpa memandangku sedikit pun. “adek – adek yo cepat kembali, Girang duluan ya..” Abid, sosok kecil yang dulu begit akrab, sekarang berbeda. Ia menghilang dalam sekejap, dan kembali menemuiku dalam sekejap pula.
Mentari perlahan bergeser turun, sinar keemasannya mengiringi langkahku menyusuri gang sempit menuju jalan pulang. Tiba di tikungan pertama, aku menjadi was – was, dua rumah lagi akan kulewati rumah mewah milik Subrata, hatiku getir menyebutnya ayahku. Hari ini rumah mewah itu tampak ramai, beberapa mobil bermerek berpararel di halaman. “Heh...anakku, kemarilah kau, ayahmu pulang.” DEG, teriakan Brata menghentikan langkahku, bagaiman bisa dia lolos secepat ini dari penjara. Dia tampak berpesta entah alkohol atau hanya minuman biasa bersama beberapa lelaki yang mungkin anak buahnya. Aku merinding mendengar tawa mereka. Kugerakkan kakiku segera berlari, tapi celaka, aku mendengar gerap kaki mengikuti lariku, anak buah Brata mengejarku, nyaliku semakin ciut, tenagaku kukerahkan habis – habisan. “Kena kau....ha,,ha...” Salah satu dari mereka mencengkram lenganku, aku mencoba memberontak tapi sia – sia. Mereka menyeretku ke rumah Brata, aku berusaha merintih meminta tolong tapi orang – orang disekitarku mengacuhkan. Akhirnya aku hanya menangis.
Mereka melemparkanku hingga tersungkur di bawah kaki Brata. Rasanya ingin kuludahi kaki gajahnya itu. Tawanya menggelak melihatku, tercium aroma alkohol yang memualkan. Brata mengulurkan tangannya menawarkan bantuan dengan senyum mengejek. Kutepis dengan tatapan tajamku. Ia terlihat tersinggung. “Heh anak haram, apakah Santi tak pernah mengajarkanmu sopan santun.” Kalimatnya geram sambil mengangkat kedua pipiku dengan tangan kanannya, Aku meringis menahan sakit. “Bawa dia ke kamarku, gadis ini perlu mendapat pelajaran.”  Teriaknya seraya mendorongku ke arah seorang anak buah hitam. Aku dikunci di sebuah kamar mewah, persis mewahnya dengan kamar pada sinetron yang pernah kulihat. Aku muak, rasanya aku ingin mengobrak – abrik tempat ini. Aku tak bisa membayangkkan apa yang akan terjadi padaku setelah ini. Mbok rodi pasti mencemaskanku. Aku harus mencari cara keluar. Kudekati jendela kaca bertirai. Tak mungkin, dua orang perjaga di bawah sana, satu – satunya caraku adalah bersembunyi di kamar mandi dan menguncinya.
Brakkk....dobrakan pintu itu membangunkanku. Aku tersadar, aku tertidur di lantai kamr mandi. Brata memandangku murka, matanya seolah menyala, gerahamnya gemeletuk. Keringat dingin membasahi kaus dan jilbabku. Tangan kuat Brata menarik ujung jilbabku hingga lepas, hanya jilbab kecil penutup kepala yang kini kukenakan. Rasanya aku ingin menangis, tapi kutahan. Kubalas tatapan sadisnya. “Aku tak takut padamu, sama sekali tidak.” Bibirku berucap tegas meski jantungku porak poranda, kakiku lemas, tapi aku masih bertahan. Brata tertawa lepas mendengungkan telinga. Sesaat ia menyeretku dan melemparkanku ke ranjang, aku bangkit. “Jangan pernah menyentuhku Brata” suaraku gemetar, Brata mendekat hingga beberapa senti saja wajahnya dari wajahku. Aku tetap menatapnya tajam. Brata mendorongku lagi keranjang, sekilas kutangkap bayangan datang. Jeprakk....suara kayu menghantam kepala Brata hingga ia tersungkur. Dan tangan Abid diujung kayu itu, napasnya tersenggal,  memar di pipi dan dahinya, matanya memerah, darah mengalir dari sudut bibirnya. Mungkin dia telah menghabisi anak buah Brata di bawah.
“Girang cepat telepon polisi.” Abid melemparkan handphone, tanganku respek menangkapnya. Sesaat kemudian perhatiannya beralih pada Brata. Aku menelpon polisi. Suaraku terbata. Ada rasa kasihan hinggap ketika Abid melemparkan tendangan di perut Brata yang sudah tak berdaya. Melihat kakinya akan terjun kembali perut brata, aku menjerit. “Hentikan abid, jangan bunuh ayahku.” Isakku menolehkan tatapan tajam Abid, Entah ia terheran atau marah kutak tau. Abid terdiam sejenak kemudian pergi. Aku hanya terisak.
*************************
Peristiwa di rumah brata itu benar - benar menyiksaku. Sejak itu tak sesuap nasi pun melewati kerongkonganku. Tubuhku memanas. Mbok rodi kebingungan, lagi – lagi hal ini mengundang kak Fahmi untuk pulang. Aku dibawa ke rumah sakit. Sepertinya kondisiku tak membaik. Aku pikir inilah yang disebut somaform, hasil diagnostic dokter negative. Aku tak merasakan sakit di tubuhku yang melemah, namun ngilu meradang di ulu hatiku. Malam ini dokter merujukku ke rumah sakit pusat. Kondisiku semakin labil, berkali – kali memuntahkan cairan kuning yang pahit.
Aku terduduk lemas di atas kursi roda yang berjalan pelan menuju ambulan. Tatapanku hampa, mbok rodi berulang kali mengelus jilbabku. Aku tak berdaya. Nyaris kak fahmi dan seorang perawat mengangkatku ke atas ambulan, terdengar suara, nadanya seperti memburu. “Tunggu,” suaranya lantang membuat kepala lunglaiku menoleh. Semua ikut menoleh. Abid di sana, dengan kemeja putih, celana hitam dan tas ranselnya. Ia tersenyum membuatku ikut tersenyum. Kak fahmi dan mbok Rodi terheran melihat ekspresiku. “Kak fahmi izinkan aku bicara padamu sejenak.” Kenapa kak Fahmi. Kenapa Abid tidak mencariku. Kemudian sejenak mereka brbisik lalu tertawa. Aku semakin bingung dengan mereka, di saat yang sama kurasakan lapar yang beberapa hari ini tak pernah muncul meski aku tak makan. Dan radang di ulu hatiku perlahan menghilang. Kak Fahmi mendekatiku, Abid mengikutinya dari belakang. “Girang ada yang menahanmu sebelum ke rumah sakit pusat.” Kak fahmi membuatku tak mengerti, aku bingung kutatap matanya, lalu adik ibuku ini tersenyum, Abid meunduk seperti malu. “maksudnya.”  suaraku masih lemah. “Abid melamarmu.”  TESS, hatiku seperti dihujani bunga – bunga salju. Aku melirik Abid yang semakin menunduk. Lalu kukembangkan senyumku dan semua tertawa.#
                       

                                                                                                By. Futri Zakiyah Darojat