“Cinta adalah katika kau merasa
cemburu jika yang kau cintai mendua, cinta adalah rindu jika lama tak bersua.”Jawab yang lainnya.
Cinta. Apa itu cinta?
Coba Tanya pada sahabat Rasulullah
Salman Alfarisi. Kita akan memperoleh jawaban yang tidak pernah kita kira.
Pemuda
tampan keturunan Persia itu adalah Salman. Saat ini ia sedang jatuh hati pada
seorang akhwat Madinah (mungkin akhwatnya bisa digambarkan seperti saya
*plaaaak). Bagi Salman, tidak ada ikatan lain yang diridhoi Allah kecuali
pernikahan. Namun ada sesuatu yang merisaukan hatinya. Dia adalah pendatang di
negeri Madinah, mana mungkin ia berani dengan lancang melamar gadis pribumi.
Itu bukan aral besar, Salman bisa membuktikan jiwa pemberani sebagai lelaki
sejati. Ia mendatangi sababatnya dari golongan Anshar (orang Madinah). Sebutlah
dia Abu Darda’. Seorang ahli ibadah yang tidak diragukan lagi.
“Subhannallah wal Hamdulillah ! Ayo
saudaraku, mari ku antar menemui ayah gadis itu.” Girang Abu Darda’ menyambut
niat Salman.
Setelah menyelesaikan beberapa
persiapan, dua sahabat itu segera mendatangi rumah gadis tersebut.
”Saya adalah Abu Darda’, dan ini
adalah saudara saya Salman seorang Persia.Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan
Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi
Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai
ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda
untuk dipersuntingnya.”, fasih Abu Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang
paling murni.
”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap
tuan rumah, ”Menerima Anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah
kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang
utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.”
Tuan rumah member isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti
dengan segala debar hati.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang
ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang,
maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak
pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama,
maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Haaa what,???? lihat saudara saudara, bagaimana perasaan
kita, jika seorang yang kita suka, kemudian dengan mengerahkan seluruh
keberanian kita beranikan diri mengatakan cinta , bahkan dibela – belain minta
bantuan teman. Dia menolak dan mengatakan, “Jika temanmu yang melamar, maka
jawabannya adalah Iya.” Saya tahu,
mungkin rasanya seperti jatuh dari gunung merapi, terlempar ke semudera hindia,
dan tersesat di dalam istana roro kidul. sakit sakit sakit. Tapi tunggu dulu!!
bagaimana reaksi Salman?
”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua
mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan
aku akan menjadi saksi
pernikahan kalian!”
???
ckckckck Subhannallah, terbuat dari
apa hati Salman itu ya Allah, bukan hanya merelakan orang yang ia cintai, namun
direlakannya pula mahar dan persiapan pernikahan. Salman…bagaimana ia
mengartikan cinta itu sebagai Ta’liful Qulub (ikatan hati) yang bukan karena
nafsu ingin memiliki. Bukan ajang hebat – hebatan karena telah berhasil
mendapatkan hati sang terkasih, bukan. Ia mengutamakan ukhuwah, mengutamakan
Allah. Bahkan kita tidak tahu bagaimana hatinya sedemikian ia tata, ia bahkan
memberikan maharnya untuk sahabatnya. Oh Tuhan…Adakah Salman akhir zaman.
Marilah kawan kita tanamkan cinta semurni
cinta Salam di hati kita, cinta yang mengutamakan redha Allah. Hal ini bukan
hanya untuk lawan jenis, cinta pada saudari kita pula…Cinta yang redha jika
yang dicintainya bahagia, cinta yang berkorban bukan menuntut pengorbanan.
Salman, saya ingin memiliki cinta seperti cintamu, maka Salman, pinjimi aku
cintamu…untuk ikhlas, untuk redha, untuk mengatakan, “aku mencintaimu benar
karena Allah” :))
All night, a man called “Allah”
Until his lips were bleeding.
Then the Devil said, “Hey! Mr Gullible!
How comes you’ve been calling all night
And never once heard Allah say, “Here, I am”?
You call out so earnestly and, in reply, what?
I’ll tell you what. Nothing!”
The man suddenly felt empty and abandoned.
Depressed, he threw himself on the ground
And fell into a deep sleep.
In a dream, he met Abraham, who asked,
“Why are you regretting praising Allah?”
The man said, “I called and called
But Allah never replied, “Here I am.”
Abraham explained, “Allah has said,
“Your calling my name is My reply. Your longing for Me is My message to you.
All your attempts to reach Me
Are in reality My attempts to reach you.
Your fear and love are a noose to catch Me.
In the silence surrounding every call of “Allah”
Waits a thousand replies of “Here I am.”
Saya bertanya pada Ibu
"Ibu...restu kah kau, jika putrimu hendak terbang ke sana, ke sana menuju tempat dimana saudara - saudaraku berpijak menghitung detik - detik syahid."
Ibu menjawab :
"Pergilah putriku....Tiada sesuatu yang ibu punya untuk menghalangimu. Pergilah putriku...hanya dengan doa ibu akan membekalimu..."
Andai kata itu benar berani kuucapkan, andai benar seperti itu jawaban ibuku...Sedang di sini, aku hanya bermalu - malu karena tak ada yang bisa kulakukan untuk saudaraku. Aku hanya menangis pada Allah, "Selamatkan saudaraku ya Allah, hancurkan Israel laknatMu"
Andai tentara berjilbab itu adalah aku...wahai saudaraku, ingin rasanya bersua, membentangkan jalan menyeru umat pada Allah. Indah pastinya...
Wahai saudaraku, sunggug aku malu. melihat diri disini, pada ruangan hangat nyaman dengan perut penuh isi...Aku malu karena kau sedang sibuk melempari tank - tank musuh sedang aku hanya terlentang bermain laptop.
Ya Allah....Jaga Saudaraku...
Ya Allah...Dekatkan kemenangan itu...
Hancurkan Israel laknatMu...
*saya malu...sedang saudara saya tidur dibawah naungan dentuman bom. dan saya hanya mengeluh tentang tugas kuliah yang tak seberapa :'(
Wajahnya
tersingkap sorban putih, debu dan kilau matahari semakin menghalangi
pandanganku.
Aku melihat
dari jauh, pimpinan pasukan berkuda, Khalid putra Al-Walid. Seperti biasa, ia
memegang tali kekang kuda dengan kuat, berdiri pada garda depan, tanpa sedikit
pun sirat gentar. Sekali – sekali ia kumandangkan, “Allahu Akbar. Berhembuslah angin surga !”.
Khalid, ada
bekas luka pada punggung tangan dan wajahnya, yang entah kenapa semakin
membuatku terpesona. Ia tak tak setampan Mush’ab Ibn Umair, tapi entah apa yang
salah pada mataku. Aku lebih suka memperhatikannya. Khalid, ia jarang bahkan
hampir tidak pernah terlihat tanpa debu. Wajah dan pakaiannya, selalu seolah
mengabarkan bahwa ia sepulang dari perang. Tapi bagiku, debu itu membuatnya
terlihat lebih jantan. *plakk. Ku pukul kepalaku yang bodoh, aku segera beralih
pikiran.
Khalid, ia
cerdas. meski tak secerdas Ali Ibn Khatab. Tapi ia sangat ahli menyusun siasat
perang. Hampir semua perang yang dipimpinnya menuai kemenangan. Yang kemudian,
hal inilah yang membuatku jatuh hati *plaakk kedua.
Suatu saat,
aku menemukan tubuh kokohnya terduduk ringkih. Entah apa yang dipikirnya.
Seperti biasa -dan memaag harus seperti biasa- aku hanya diam melaluinya (maklum,
kami tak saling kenal). Hanya saja, aku menangkap siluet berpantul yang tak
begitu jelas, ia menangis. Dalam diam. Khalid, apa yang merisaukan hatimu? apa
gerangan masalah yang membuat panglima perang yang gagah berani itu, terduduk
ringkih dan menangis dalam diam. Ini sisi berbeda yang akhirnya bisa kulihat
darinya. Di satu sisi, ia mampu berdiri dengan suara bergempita di medan
perang, dengan wajah melegam yang memancar aura, di sisi lain, ia lembut
seperti awan. Terduduk ringkih seolah tak berdaya. Duhai Khalid, izinkan aku
meminjamkan pundakku untukmu bersandar, ceritakan padaku gumpalan yang menyesak
dalam dadamu.
Hari kedua,
aku masih mehatnya dari kejauhan. Dengan ekspresi tak berbeda, hanya saja ia
tampak lebih tenang, tanpa getaran menahan tangis. “Assalamualaykum ya Khalid.”
*Hah, aku berani menyapanya? “Waalaykumussalam.” Sesaat ia memandangku, lalu ia
memalingkan pandangannya kea rah mata kakinya. Hanya itu, apakah itu patut aku
sebut perkembangan. Aku mampu mengucapkan salam di depannya. Meski setelah itu,
aku hanya berlalu. Apakah aku pantas untuk bangga, sementara orang lain telah
terbiasa melakukan hal itu pada sang panglima perang. Ini kacau (batinku).
*Kisah ini
hanya rekaan seorang bocah yang jaringan otaknya sedikit kusut, tidak diambil
dari siroh sahabat (ya iyalah jelas *plaaakkk).
Well. ada sedikit kerusakan pada otak saya hari ini. Entah mungkin gangguan depresi kecil - kecilan...Atau mungkin suatu bentuk protes sebagian hatiku pada sebagian hatiku yang lain. Saya memang tak ada henti - henti mematut Screen lappy hingga peninglah mata dan kepala. Tapi sejauh itu...saya tidak mendapat apa - apa. Jangankan telah memulai dari empat project, hanya satu yang terselesaikan latar belakangnya.*Tragisssssssss :'(
Saya sudah berusaha ya Allah....menjernih - jernihkan otak agar ide itu muncul, agar kalimat - kalimat itu dengan mundah saya pancing dan terkait pada kail. Tapi ya Allah...rasanya ingin mengadu kepadamu..."Maaf saya belum bisa memberi yang terbaik. Maaf ya Allah sepertinya saya akan menyerah."
Entah apa yang ada pada otak saya. Saya harap saya tidak salah jika ingin menjadi lebih baik dari teman - teman saya. Saya hanya ingin memulai lebih awal dan mengerahkan tenaga yang saya punya untuk beberapa tugas saya. Tapi....saya berujung depresi mengenaskan...
Saya butuh charger...saya membutuhkan sesuatu untuk menganggat dagu saya agar tak selalu menunduk loyo. Saya ada niat ya Allah. Saya Ingin. Saya Mau. Tapi saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Kalau seperti ini rasanya engin kurobek tempelan - tempelan pada dinding kamar yang sekarang lebih terlihat menghina. "Apa kamu...loyo...useless...pergi sana dengan boneka beruangmu." T.T
ya Allah...beberapa kata kunci saya temukan dari kata - kata seorang teman, bahwa kesuksesan adalah kesabaran dalam bertahan. Aku tahu, ini hanyalah sepotong kecil kerikil yang menghalangi langkahku...Tapi ya Allah, bertahan itu membutuhkan kekuatan, dan kekuatanku hanya datang darimu. ya Allah, Engkau satu yang bisa kupercaya. Jaga hamba...
*maaf untuk beberapa pihak yang terkena semprot akibat ke-depresi-an saya :(
Ketika orang tertidur kamu ter bangun, itulah susahnya.
Ketika orang menikmati kamu menciptakan, itulah rumitnya
Ketika orang mengadu kamu bertanggung jawab, itulah repotnya
Ketika orang menikmati pagi dengan santai kamu malah ikut syuro', itulah godaannya
Ketika orang menikmati akhir pekan dengan liburan kamu ikut dauroh, itulah sulitnya.
Maka tidak banyak orang bersamamu di sini..
Tetapi Allah telah terlanjur memilihmu saudaraku...
Dan jika kau tak bisa menikmati itu semua,
Maka perhatikanlah kondisi dan suasana dirimu. Karena...
"Bila hatimu tak ada kelezatan yang bisa kamu dapatkan dari amal yang kamu lakukan, maka curigailah hatimu," Begitu kata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Entah,
ada sesuatu yang menyentuh sisi hatiku saat Abi mengatakan kalimat “Mbak,……………..”
atau “……………………………,Mbak.” Disana seperti ada berkas tersirat yang hendak beliau
sampaikan. Yang urung karena menatap wajahku yang lebih sering tampak memelas
manja. Ah…aku selalu sulit mendewasa.
…………….
Masih
ingat saat gaji terbanyak pertama kuserahkan pada beliau, “Buat abi.” Beliau menatapku dua jenak lalu tertawa.
Bukan, aku yakin maksud abi bukan menghina uang dalam amplop putih itu yang tak
seberapa. Entah, seperti pias – pias haru melihat putrid sulungnya yang manja
menghabiskan masa liburan di kota orang.. “Ditabung saja mbak, katanya mau
kuliah di Sydney.” Abi, rasanya ingin memeluk abi saat itu.
…………..
Aku
selalu ingat percakapan sore itu di ruang tamu,
“Mbak
Rois, Mbak upik sudah menikah. Nggak ingin menikah juga mbak.” Aku tahu, Abi
hanya memancing reaksiku.
“Menikah?
sekarang? boleh Bi?.” jawabku pura – pura bersemangat.
“Boleh.”
“Calonnya?
aku nyari sendiri?.”
“Boleh.”
“Boleh?”
“Boleh.
asal ngaji.”
Aku
tahu ada satu harap yang disampaikan abi disini, bukan sekedar ngaji (mengaji
al-qur’an). Ada harap yang selalu beliau titipan lewat kata – kata sederhana
beliau.
……………..
“Kalau
aku kuliah di Sydney, boleh nggak Bi.?” Di depan TV 14 inci milik kami, kucoba
alihkan perhatian ayah tercintaku ini.
“Boleh,
asal Abi ikut kesana.”
-Sulit
sekali mencerna bagian yang ini-
………..
“Dua
bulan abi ndak kirim uang, kenapa Bi. Padahal katanya tokonya lancar. Gitu kok
anaknya ndak kecipratan.”
“Sempat
kelaparan ndak dua bulan kemarin.”
Kujawab
dengan gelengan.
“Yah….kelaparan
aja ndak sampe, minta cipratan.”
Begitulah
abi, caranya unik mendidikku. Untuk tak manja lagi, untuk belajar mencari bukan
hanya meminta. Meski pun pada akhirnya beliau mengganti uang jatahku dengan
membelikanku cincin. Tapi begitulah, (Mungkin beliau tahu, kalau aku banyak
uang. Aku juga semakin banyak belanja sesuatu yang tak penting)
Pernah
suatu kali.
“Apa
itu Mbak?”
“Baju
baru. Bagus tapi murah lo Bi, lagi diskon soalnya”
“Baju
yang kemarin di kasihkan Lia saja.” Lia itu anak tetangga.
“Loh
kenapa?”
“Kan
sudah punya baju baru. Buat apa yang lama.”
Ahh
abi…..
……………………………..
“Bi,
banyak mbak – mbak asrama yang jadi guru di SDIT.”
“jangan
jadi guru mbak.”
“Loh
knapa?”
“Banyak
orang baik yang jadi guru, jadi orang baik di tempat lain saja.”
Abi
selalu menginginkanku berbeda dari orang lain. Lebih baik tentunya, seperti
saat beliau menetahku, gadis 14 tahun waktu itu, menghadap kepada sekolah
sembari mengatakan “Ibu kepala sekolah, saya akan menerima akibat apa pun asal
saya diizinkan menggunakan jilbab pada saat foto ijazah.” “Kalau ijazahnya di
tahan sekolah Bi.” “InshaAllah ndak.” Cuma itu. Tapi itu membuatku cukup
berani, membuatku kuat meski dari 391 siswa, hanya aku, satu yang berbeda.
……………
“Bi,
kenapa sih kita harus repot – repot ke rumah budhe ini, budhe itu, pak puh ini
itu, mbah sana sini. Aku juga ingin bersilaturrahmi dengan teman teman Bi.”
“Biar
cepat kaya. Mau cepat kaya ndak.” Huff selalu sesimpel itu, selalu sedalam itu.
Abi selalu menemukan cara bagaimana membuatku diam. Bagaimana membuatku sadar
tanpa harus mengatakan kalimat larangan atau perintah. Ahh Abi selalu tampil
memesona, meski dengan celana kain dan kemeja yang kadang tidak matching. Abi
pria tertampan yang aku tahu, meski rona hitam jejak matahari melekat pada
kulit wajah dan tangan beliau, Abi selalu terlihat tegas dengan kelembutan.
Abi, dialah pria sejuta pesona. Yang membayar hafalan surat – surat pendekku
dengan es krim. Yang menatapku tajam karena aku pulang larut dari bermain.
…………..
Ayah,
terima kasih…
ananda
haturkan kepadamu…
yang
telah mendidik dan membesarkanku
bersama
ibu..
ayah
engkaulah guruku…
yang
terbaik sepanjang usiaku…
yang
telah membimbing masa kecilku
menuju
jalan Tuhanku… -Suara persaudaraan_Kenangan bersama ayah-
ini Abi ketika Mukhoyam Pandu Keadilan di Nganjuk, Jawa Timur
the most romantic couple in the world :D suit suit
aku harap. kita akan berbagi.
seperti labu kuning dan petani pepaya.
aku harap kita akan berbagi.
beban di pundak. yang seolah membuat tubuhku menyusut.
air. kau masih ingat aku suka air.
bagaimana deru itu.
indah, menenangkan. mensucikan.
ku harap kau selalu takjub.
pada apa yang ku suka.
konyolnya. kau selalu tertawa pada apa yang kubanggakan
masalah muncul. kau selalu menantang. padahal kau tau. aku tak akan pernah mengalah.
Diam.
*titipan dari princess untuk rakyatnya yang bernama phillips
*terbaik 1 dalam Pekan
Islami dan Achievement Motivation Training Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri
Surabaya
persembahan untuk kakak perempuanku, aku tahu kau akan membuktikan kata - katamu, bahwa dengan menikah, kau akan menjadi kaya.
GIRANG
Andai Malaikat lalai tak menulis dosaku……
Andai
perbuatanku kan terhapus, seperti karet melenyapkan goresan pensil…
Dan jika waktu dapat berputar ulang…..
Pasti aku tak kan memilih jalan itu….
Harga diri terlalu mahal tuk diperjual belikan….
Betapa bodohnya
aku…
Aku tak kan membiarkan hal itu menimpa GIRANG sedikit
pun…
Tak akan kubiarkan….
Maafkan Bunda sayang atas kebohongan ini..
Kucerna hati – hati barisan kata pada kertas
usang itu.Apa maksud dari semua ini? Kebohongan? kebohongan apa?. Hatiku menyimpulkan,
ini sebuah rahasia yang besar. Ya, aku pikir tulisan ini tentang ayahku. Bunda
tidak pernah menceritakan apa – apa perihal ayah. “Ayah Girang itu pahlawan, dia
tentara Indonesia, tapi sayang, Allah begitu cepat memanggil Ayah Girang” Hanya
kata – kata itu yang berulang kali kudengar ketika berpuluh – pulah kali
kutanyakan tentang ayahku. Rasa penasaranku mencapai titik beku. Harus
kutanyakan pada siapa tentang hal ini. Apa harus menunggu Kak Fahmi
pulang.Hatiku tak tahan menunggu Kak Fahmi hingga setahun lagi.Karena baru dua
hari yang lalu Adik Bunda itu berangkat ke Yogyakarta mengurus proyek barunya.
Senja
itu hatiku tergerak membaca Al-Qur’an Bunda yang mungkin hampir lima tahun tak
tersentuh. Sejak Bunda meninggal, benda kesayangan Bunda ini hanya menjadi
pajangan dalam almari kaca. Dan hanya akan keluar ketika Mbok Rodi membersihkan
almari. Kak Fahmi pun tak pernah membaca Al-Qur’an Bunda, sulit katanya. Mungkin
karena warna kertasnya coklat kekuningan.Tapi seolah digerakkan kekuatan Malaikat, senja itu
kuambil dan kubuka halaman perhalaman sebelum memulai membacanya. Tanganku
terhenti ketika menemukan selembar kertas warna merah yang membatasi lembaran
dalam Al-Qur’an. Setelah kubaca.Aku menjadi bingung.Apa sebenarnya maksud semua
ini.
“Mbak
Girang sedang apa kok ngelamun,nanti kesambet lho..”Suara Mbok Rodi
mengagetkanku.Seolah terbangun dari tidur panjang segera kuedarkan pandanganku
seisi ruangan.Mbok Rodi tampak duduk di depanku.Wanita paruh baya itu tersenyum
menatapku.
“Eh
Mbok…enggak kok cuma kangen aja sama bunda.” Kututup Al-Qur’an dankuletakakan kertas itu di tempat
semula.Semoga saja Mbok Rodi tidak melihat kertas ini.
“Kalau
kangen itu ya didoain Mbak.. biar Bunda bangga punya anak kayak Mbak
Girang.”Tangan Mbok Rodi menyentuh kemudian mengelus pundakku.
“Iya Mbok,lama sekali
Girang gak doa buat Bunda,pasti Bunda kangen sama Girang.”
“Agih..sekarang sudah magrib sholat dulu..”Mbok Rodi
mengembangkan pipi keriputnya,tersenyum padaku.
**********************************
“Girang mau kemana..?” Bunda berkata halus sambil terus
mengikutiku ke arah sungai.
“Mau jalan - jalan Bun…ke tepi sungai melihat matahari…” tariakku
sambil berlari kecil.Tapi sesampainya di tepi kakiku terperosok ke dalam lumpur
di tepi sungai.Dan semakin terperosok. “Bunda…..Bunda..tolong Girang Bunda…”
“Girang…..Hati – hati sayang,Bunda akan ke situ.”Bunda
berlari ke arahku.
“Bunda Girang takut..Bunda.” Aku mulai menangis disaat
lumpur itu menjerat lututku.
“Sini sayang pegangan tangan Bunda…”Bunda mengulurkan
tangan kanannya, dan tangan kirinya berpegangan pada ranting pohon.
“Bunda, Girang takut…”Tangisku semakin menjadi dan
membuat Bunda semakin panik.
“Pegangan yang kuat sayang..Bunda akan menarikmu..”Bunda
menarik tanganku hingga tubuh terangkat keatas hingga ke tanah.Tapi apa yang
terjadi,pohon tempat Bunda berpegangan pada rantingnya tumbang ke arah sungai
dan Bunda terhanyut bersama onggokan pohon itu.Perasaanku kacau.Aku bingung tak
tahu apa yang harus kulakukan. Dan aku menangis sekeras – kerasnya.
“Bunda….Bunda…” Tangisku sejadinya membuatku terduduk di
tepi sungi itu.
“Bunda..Bunda..”
“Mbak Girang..bangun Mbak sudah subuh..ayo sholat….”Suara
Mbok Rodi samar di sela tangisku.
“Bunda..”
“Mbak…Mbak Girang Cuma mimpi.” Mbok Rodi berkata sedikit
berteriak hingga membuatku tersadar.
“Mbok..Bunda,Mbok…Bunda..Girang takut kehilangan
Bunda.”Kupeluk erat Mbok Rodi yang duduk di tepi ranjangku.
“Sabar..Mbak.Bunda sudah enggak ada.Mbak Girang tenang
saja di sini ada Mbok…” Mbok Rodi mencoba melepas pelukanku,tapi aku tak mau
aku tetap memeluk erat tubuh Mbok Rodi.
“Huss…Mbak enggak boleh bilang begitu..”Mbok Rodi melepas
pelukanku dan menghapus air mataku.”Sekarang Mbak Girang sholat ya…ayo Mbok
antar ambil air wudlu.
Mbok Rodi menuntunku menuju kamar mandi,saat ini
pikiranku kosong,hati serasa disayat.Aku benar- benar merindukan Bunda.rasanya
ingin mati demi bertemu Bunda.
*************************
Sejak peristiwa itu,Mbok Rodi semakin perhatian padaku. Membangunkanku
tepat waktu,menyiapkan sarapan bahkan mencarikan Taksi untuk ke kampus. Sedikit
pun Mbok Rodi tak membiarkanku sendirian, Beliau takut jika aku mencoba bunuh
diri. Mungkin karena mendengar kata - kata ‘Girang pengin nyusul Bunda’. Ahh...itu
hanya keinginanku sesaat, karena masih ada iman yang meyangga batinku. Tapi
yang membuatku benar – benar bingung, Kak Fahmi pulang padahal baru beberapa
hari di Jogja.
“Girang….bukan begini caranya kalau Girang kangen sama
Bunda. Kasihan Mbok Rodi. Cemas mikirin Girang.” Teryata Mbok Rodi mengadu pada Kak Fahmi. Aku teringat ucapan
Kak Fahmi waktu itu. Dia tak akan memaafkan dirinya sendiri. Aduh..aku jadi
merepotkan semua orang.
“Girang…lha
wong ditanya kok malah nglamun.Udah dong Girang…”Tangan Kak Fahmi menari- nari
di depan mataku.
“Maafkan Girang Kak, Girang
nggak bermaksud bikin khawatir Kak Fahmi. Perasaan Girang menjadi tak karuan
begini sejak membaca selembar kertas yang terselip dalam Al-Qur’an
Bunda.Tulisan di kertas itu seolah terus menghantui Girang. Girang sendiri juga
gak ngerti kenapa.”
“Selembar kertas apa?” kak Fahmi terlihat bingung
mendengar jawabanku. Ku ambil kertas itu dan kuserahkan kepada Kak Fahmi.
“Kakak tau apa maksudnya?” Kak Fahmi hanya terdiam
setelah membaca surat itu, dan ketika Seperti sibuk dengan pikirannya. “Kak
Fahmi jujur dong sama Girang, apa maksud tulisan itu, Girang yakin Kak Fahmi
tau semuanya.”
“ Girang janji nggak akan marah sama Bunda jika Kak Fahmi
cerita sama Girang?”
“Girang sayang sama Bunda, seperti apa pun Bunda, Girang
akan tetap sayang sama Bunda.” Aku meyakinkan Kak Fahmi.
“Girang sebenarnya, Ayah Girang belum meninggal. Ayah
Girang masih ada, dan Girang kenal siapa ayah Girang. Tapi Sayang…sudah lah
lupakan semua.” Kata – kata Kak Fami benar membuat jantungku berdetak kencang.
Siapa yang di maksud Ayah Girang yang masih hidup, dan Girang
mengenalinya.Siapa…
“Siapa Ayah Girang Kak Fahmi?” Suaraku tergetar lemah
hampir tak keluar.
“Bunda Girang pernah bilang kepada Kak Fahmi kalau Girang
tidak boleh tau semua ini, maafkan Kakak sayang…” Kak Fahmi masih menunduk,
seperti menekan rasa bersalah.
“Bunda
sayang sama Girang, Bunda pasti seneng bila Girang seneng, Demi Girang, ayo lah
Kak Fahmi.”
“Girang janji akan melupakan semua ini jika
kakak beri tau,?” Kegusaran kak fahmi berkata - kata membuatku semakin
penasaran. Ia meletakkan kedua tangannya pada pundakku seolah aku gadis usia TK
yang minta dibelikan petasan. “Ayah Girang adalah, Pak Broto.”
“Apa……..!!!!” Seperti ada sebuah batu jatuh
tepat di kepalaku, aku benar – benar tak menyangka kak fahmi akan menyebut nama
itu. Nama yang begitu kubenci. Nama yang kini tertulis dalam catatan kejahatan
sebagai bandit sodomi. Jantungku serasa lemah untuk berdetak.
Subrata adalah rentenir kaya yang mempunyai
segudang istri. Sekitar tuju tahun lalu masih terlihat jelas ia menampar pipi
bunda hingga bunda tersungkur saat kami telat membayar utang.. dan yang semakin
membuatku benci padanya, Ia melakukan hal senonoh pada Abid, sahabat masa
kecilku.Aku benar – benar tak menyangka, Iblis itu
adalah ayahku.Tidak!!!
Sore ini aku duduk di tepi sungai, bayang –
bayang berkelebatan pada pikiranku, bunda, Abid yang hingga kini mengalami
gangguan jiwa, dan si bandit yang tengah merengkuh di penjara. Tuhan begitu tak
adil memilihkan Ia untuk ayahku. Seburuk itukah darah yang telah mengalir dalam
tubuhku.
******************************
Siang ini, aku berjalan lunglai meninggalkan
kampus, hari ini aku akan ke sebuah tempat yang hingga umurku sembilan belas tahun ini belum pernah menginjakkan kakiku di
lantainya. Ya…rumah tahanan. Aku benci sebenarnya datang kesini, tapi hati
kecilku memaksakan langkah kakiku. Begitu sampai, aku berbicara sedikit pada
polisi tua dan mengatakan ingin mengunjungi Subrata, merinding rasanya
mendengar nama itu. Aku masih belum mengakui jika dia adalah ayahku. Polisi itu
mengantarkanku menuju ruang kotak – kotak tempat para residivis terkurung dalam
sangkar besi. Subrata menatapku tajam, aku yakin ia tak mengenaliku. Aku
memantapkan mataku seolah tak gentar meski jantungku berdetak berantakan. Aku harap Kak
Fahmi berbohong jika pria gendut berkumis tebal dan penuh tato diseluruh
tubuhnya ini adalah ayahku. Aku sedikit bergidik.
“Anak kecil, ada ursuan
apa kau mencariku.” Gayanya masih angkuh, matanya jelalatan memandangiku dari
ujung rok panjang hingga jilbab putihku.
“Maaf , mengganggumu
tuan Subrata terhormat, aku hanya menanyakan padamu perihal Santi. Gadis yang
pernah kau beli dari ayahnya karena tak bisa membayar utang padamu.” Aku menatapnya penuh kebencian.
“Santi....ha,,,,ha,,.haa....ada urusan apa
kau dengan santi, tubuhnya sudah lama membusuk digerogoti cacing tanah. Ha….”
Ia tertawa menggelegar, ingin rasanya menyobek mulutnya yang bau itu.
“jaga mulutmu bandit sodomi, jangan pernah
menghina ibuku.”
“Ibumu?” Ia terkejut mengucapkan itu lalu
kembali terbahak – bahak membuat polisi penjaga memerhatikan kami. “Bararti kau
anakku, cantik juga kau, meski tubuhmu terbungkus seperti pisang rebus tapi
wajahmu terlihat manis.” Ia nyaris menyentuh pipiku dari celah – celah besi. Aku
mundur dan menghindar. Ia tertawa melihat ketakutanku dan berteriak memanggilku
“Santi kecil kemana kau, di sini dulu aku merindukanmu.” Ia kembali tertawa
membahana.
Dalam perjalanan pulang,
sampai rumah, mandi, hingga makan siang aku tetap merasakan takut yang sangat.
Sup cakar ayam di depanku hanya ku aduk tanpa sekalipun kucicipi. Suasana
hatiku belum netral.Entah karena apa aku teringat Abid, sahabat kecilku, sekarang
bagaimana kabarnya. Dulu kami selalu bersama, membakar singkong di tepi sungai,
bermain layang – layang, bahkan mencuri mangga di rumah Subrata. Namun itu dulu
sebelum kejadian pahit itu menimpanya, dan dia pergi meninggalkan kota ini, aku
menjadi ikut merasa bersalah.
“Mbak...udah to, dimakan supnya, lha wong
udah nggak panas.” Mbok rodi berkata namun pandangannya pada arah TV di ruang
tengah.
“Eh iya mbok….Mbok, Girang mau tanya. Mbok
tau kabarnya Abid nggak.” Aku berkata hati – hati. Mbok rodi menatapku aneh.
“Mbak Girang nggak tau kalau mas abid sudah
pulang, sudah jadi ustad di TPA di ujung gan itu lo, sekarang jadi cakep lo
Mbak…makin putih setelah pulang dari pesantren.
“Masa sih…(bukannya dia di RSJ?)” aku sedikit
terkejut mendengar itu, mbok Rodi terus bercerita, Abid kembali, tapi mengapa
tak mencariku, bukan kah dia sahabatku. Apa karena dia sudah tau aku adalah
anak Subrata. Ahh….
****
Sore itu aku duduk menyendiri di atas kayu di
tepi sungai. Begitu banyak kenangan yang terukir dari tempat ini. Dalam sunyi hanya riak
sungai yang terdengar mengicir. Samar ku dengar suara dari jalan setapak di
belakangku. Suara anak - anak kecil berceloteh riang, bersepeda menuju sungai. Salah satunya berkata “Kak ustad bolehkan
kita main di tepi sungai.” “Iya tapi hati – hati ya...” Kubalikkan badanku. “Abid?” Aku kikuk
melihatnya. “Girang, apa kabar.?” Suaranya lembut bijaksana, memang benar semua
yang diceritakan Mbok rodi, ia terlihat tampan. “Baik.” Kuulurkan tanganku untuk
berselaman. Ia hanya mengangguk tak membalas tanganku. Aku berbengong. “Kita
belum muhrim girang.” Ia berkata mantap tanpa memandangku sedikit pun. “adek –
adek yo cepat kembali, Girang duluan ya..” Abid, sosok kecil yang dulu begit
akrab, sekarang berbeda. Ia menghilang dalam sekejap, dan kembali menemuiku
dalam sekejap pula.
Mentari perlahan
bergeser turun, sinar keemasannya mengiringi langkahku menyusuri gang sempit
menuju jalan pulang. Tiba di tikungan pertama, aku menjadi was – was, dua rumah
lagi akan kulewati rumah mewah milik Subrata, hatiku getir menyebutnya ayahku.
Hari ini rumah mewah itu tampak ramai, beberapa mobil bermerek berpararel di
halaman. “Heh...anakku, kemarilah kau, ayahmu pulang.” DEG, teriakan Brata
menghentikan langkahku, bagaiman bisa dia lolos secepat ini dari penjara. Dia
tampak berpesta entah alkohol atau hanya minuman biasa bersama beberapa lelaki
yang mungkin anak buahnya. Aku merinding mendengar tawa mereka. Kugerakkan
kakiku segera berlari, tapi celaka, aku mendengar gerap kaki mengikuti lariku,
anak buah Brata mengejarku, nyaliku semakin ciut, tenagaku kukerahkan habis –
habisan. “Kena kau....ha,,ha...” Salah satu dari mereka mencengkram lenganku,
aku mencoba memberontak tapi sia – sia. Mereka menyeretku ke rumah Brata, aku
berusaha merintih meminta tolong tapi orang – orang disekitarku mengacuhkan. Akhirnya
aku hanya menangis.
Mereka melemparkanku
hingga tersungkur di bawah kaki Brata. Rasanya ingin kuludahi kaki gajahnya
itu. Tawanya menggelak melihatku, tercium aroma alkohol yang memualkan. Brata
mengulurkan tangannya menawarkan bantuan dengan senyum mengejek. Kutepis dengan tatapan tajamku. Ia terlihat
tersinggung. “Heh anak haram, apakah Santi tak pernah mengajarkanmu sopan
santun.” Kalimatnya
geram sambil mengangkat kedua pipiku dengan tangan kanannya, Aku meringis
menahan sakit. “Bawa dia ke kamarku, gadis ini perlu mendapat pelajaran.”Teriaknya seraya mendorongku ke arah seorang
anak buah hitam. Aku dikunci di sebuah kamar mewah, persis mewahnya dengan
kamar pada sinetron yang pernah kulihat. Aku muak, rasanya aku ingin mengobrak
– abrik tempat ini. Aku tak bisa membayangkkan apa yang akan terjadi padaku
setelah ini. Mbok rodi pasti mencemaskanku. Aku harus mencari cara keluar.
Kudekati jendela kaca bertirai. Tak mungkin, dua orang perjaga di bawah sana,
satu – satunya caraku adalah bersembunyi di kamar mandi dan menguncinya.
Brakkk....dobrakan pintu
itu membangunkanku. Aku tersadar, aku tertidur di lantai kamr mandi. Brata
memandangku murka, matanya seolah menyala, gerahamnya gemeletuk. Keringat dingin
membasahi kaus dan jilbabku. Tangan kuat Brata menarik ujung jilbabku hingga
lepas, hanya jilbab kecil penutup kepala yang kini kukenakan. Rasanya aku ingin
menangis, tapi kutahan. Kubalas tatapan sadisnya. “Aku tak takut padamu, sama
sekali tidak.” Bibirku berucap tegas meski jantungku porak poranda, kakiku
lemas, tapi aku masih bertahan. Brata tertawa lepas mendengungkan telinga.
Sesaat ia menyeretku dan melemparkanku ke ranjang, aku bangkit. “Jangan pernah
menyentuhku Brata” suaraku gemetar, Brata mendekat hingga beberapa senti saja
wajahnya dari wajahku. Aku tetap menatapnya tajam. Brata mendorongku lagi keranjang,
sekilas kutangkap bayangan datang. Jeprakk....suara kayu menghantam kepala
Brata hingga ia tersungkur. Dan tangan Abid diujung kayu itu, napasnya
tersenggal,memar di pipi dan dahinya,
matanya memerah, darah mengalir dari sudut bibirnya. Mungkin dia telah menghabisi anak buah Brata
di bawah.
“Girang cepat telepon polisi.” Abid
melemparkan handphone, tanganku respek menangkapnya. Sesaat kemudian
perhatiannya beralih pada Brata. Aku menelpon polisi. Suaraku terbata. Ada rasa
kasihan hinggap ketika Abid melemparkan tendangan di perut Brata yang sudah tak
berdaya. Melihat kakinya akan terjun kembali perut brata, aku menjerit.
“Hentikan abid, jangan bunuh ayahku.” Isakku menolehkan tatapan tajam Abid,
Entah ia terheran atau marah kutak tau. Abid terdiam sejenak kemudian pergi.
Aku hanya terisak.
*************************
Peristiwa di rumah brata itu benar - benar
menyiksaku. Sejak itu tak sesuap nasi pun melewati kerongkonganku. Tubuhku
memanas. Mbok rodi kebingungan, lagi – lagi hal ini mengundang kak Fahmi untuk
pulang. Aku dibawa ke rumah sakit. Sepertinya kondisiku tak membaik. Aku pikir
inilah yang disebut somaform, hasil diagnostic dokter negative. Aku tak
merasakan sakit di tubuhku yang melemah, namun ngilu meradang di ulu hatiku. Malam
ini dokter merujukku ke rumah sakit pusat. Kondisiku semakin labil, berkali –
kali memuntahkan cairan kuning yang pahit.
Aku terduduk lemas di
atas kursi roda yang berjalan pelan menuju ambulan. Tatapanku hampa, mbok rodi berulang
kali mengelus jilbabku. Aku tak berdaya. Nyaris kak fahmi dan seorang perawat
mengangkatku ke atas ambulan, terdengar suara, nadanya seperti memburu. “Tunggu,” suaranya lantang membuat kepala
lunglaiku menoleh. Semua ikut menoleh. Abid di sana, dengan kemeja putih,
celana hitam dan tas ranselnya. Ia tersenyum membuatku ikut tersenyum. Kak fahmi dan mbok Rodi terheran
melihat ekspresiku. “Kak fahmi izinkan aku bicara padamu sejenak.” Kenapa kak
Fahmi. Kenapa Abid tidak mencariku. Kemudian sejenak mereka brbisik lalu
tertawa. Aku semakin bingung dengan mereka, di saat yang sama kurasakan lapar
yang beberapa hari ini tak pernah muncul meski aku tak makan. Dan radang di ulu
hatiku perlahan menghilang. Kak Fahmi mendekatiku, Abid mengikutinya dari
belakang. “Girang ada yang menahanmu sebelum ke rumah sakit pusat.” Kak fahmi
membuatku tak mengerti, aku bingung kutatap matanya, lalu adik ibuku ini
tersenyum, Abid meunduk seperti malu. “maksudnya.”suaraku masih lemah. “Abid melamarmu.”TESS, hatiku seperti dihujani bunga – bunga
salju. Aku melirik Abid yang semakin menunduk. Lalu kukembangkan senyumku dan
semua tertawa.#