Kamis, 15 November 2012

Tentara Kavaleri : Khaleed Ibn Waleed


Wajahnya tersingkap sorban putih, debu dan kilau matahari semakin menghalangi pandanganku.
Aku melihat dari jauh, pimpinan pasukan berkuda, Khalid putra Al-Walid. Seperti biasa, ia memegang tali kekang kuda dengan kuat, berdiri pada garda depan, tanpa sedikit pun sirat gentar. Sekali – sekali ia kumandangkan, “Allahu Akbar. Berhembuslah angin surga !”.
Khalid, ada bekas luka pada punggung tangan dan wajahnya, yang entah kenapa semakin membuatku terpesona. Ia tak tak setampan Mush’ab Ibn Umair, tapi entah apa yang salah pada mataku. Aku lebih suka memperhatikannya. Khalid, ia jarang bahkan hampir tidak pernah terlihat tanpa debu. Wajah dan pakaiannya, selalu seolah mengabarkan bahwa ia sepulang dari perang. Tapi bagiku, debu itu membuatnya terlihat lebih jantan. *plakk. Ku pukul kepalaku yang bodoh, aku segera beralih pikiran.
Khalid, ia cerdas. meski tak secerdas Ali Ibn Khatab. Tapi ia sangat ahli menyusun siasat perang. Hampir semua perang yang dipimpinnya menuai kemenangan. Yang kemudian, hal inilah yang membuatku jatuh hati *plaakk kedua.
Suatu saat, aku menemukan tubuh kokohnya terduduk ringkih. Entah apa yang dipikirnya. Seperti biasa -dan memaag harus seperti biasa- aku hanya diam melaluinya (maklum, kami tak saling kenal). Hanya saja, aku menangkap siluet berpantul yang tak begitu jelas, ia menangis. Dalam diam. Khalid, apa yang merisaukan hatimu? apa gerangan masalah yang membuat panglima perang yang gagah berani itu, terduduk ringkih dan menangis dalam diam. Ini sisi berbeda yang akhirnya bisa kulihat darinya. Di satu sisi, ia mampu berdiri dengan suara bergempita di medan perang, dengan wajah melegam yang memancar aura, di sisi lain, ia lembut seperti awan. Terduduk ringkih seolah tak berdaya. Duhai Khalid, izinkan aku meminjamkan pundakku untukmu bersandar, ceritakan padaku gumpalan yang menyesak dalam dadamu.
Hari kedua, aku masih mehatnya dari kejauhan. Dengan ekspresi tak berbeda, hanya saja ia tampak lebih tenang, tanpa getaran menahan tangis. “Assalamualaykum ya Khalid.” *Hah, aku berani menyapanya? “Waalaykumussalam.” Sesaat ia memandangku, lalu ia memalingkan pandangannya kea rah mata kakinya. Hanya itu, apakah itu patut aku sebut perkembangan. Aku mampu mengucapkan salam di depannya. Meski setelah itu, aku hanya berlalu. Apakah aku pantas untuk bangga, sementara orang lain telah terbiasa melakukan hal itu pada sang panglima perang. Ini kacau (batinku).

*Kisah ini hanya rekaan seorang bocah yang jaringan otaknya sedikit kusut, tidak diambil dari siroh sahabat (ya iyalah jelas *plaaakkk).

Tidak ada komentar: