Wajahnya
tersingkap sorban putih, debu dan kilau matahari semakin menghalangi
pandanganku.
Aku melihat
dari jauh, pimpinan pasukan berkuda, Khalid putra Al-Walid. Seperti biasa, ia
memegang tali kekang kuda dengan kuat, berdiri pada garda depan, tanpa sedikit
pun sirat gentar. Sekali – sekali ia kumandangkan, “Allahu Akbar. Berhembuslah angin surga !”.
Khalid, ada
bekas luka pada punggung tangan dan wajahnya, yang entah kenapa semakin
membuatku terpesona. Ia tak tak setampan Mush’ab Ibn Umair, tapi entah apa yang
salah pada mataku. Aku lebih suka memperhatikannya. Khalid, ia jarang bahkan
hampir tidak pernah terlihat tanpa debu. Wajah dan pakaiannya, selalu seolah
mengabarkan bahwa ia sepulang dari perang. Tapi bagiku, debu itu membuatnya
terlihat lebih jantan. *plakk. Ku pukul kepalaku yang bodoh, aku segera beralih
pikiran.
Khalid, ia
cerdas. meski tak secerdas Ali Ibn Khatab. Tapi ia sangat ahli menyusun siasat
perang. Hampir semua perang yang dipimpinnya menuai kemenangan. Yang kemudian,
hal inilah yang membuatku jatuh hati *plaakk kedua.
Suatu saat,
aku menemukan tubuh kokohnya terduduk ringkih. Entah apa yang dipikirnya.
Seperti biasa -dan memaag harus seperti biasa- aku hanya diam melaluinya (maklum,
kami tak saling kenal). Hanya saja, aku menangkap siluet berpantul yang tak
begitu jelas, ia menangis. Dalam diam. Khalid, apa yang merisaukan hatimu? apa
gerangan masalah yang membuat panglima perang yang gagah berani itu, terduduk
ringkih dan menangis dalam diam. Ini sisi berbeda yang akhirnya bisa kulihat
darinya. Di satu sisi, ia mampu berdiri dengan suara bergempita di medan
perang, dengan wajah melegam yang memancar aura, di sisi lain, ia lembut
seperti awan. Terduduk ringkih seolah tak berdaya. Duhai Khalid, izinkan aku
meminjamkan pundakku untukmu bersandar, ceritakan padaku gumpalan yang menyesak
dalam dadamu.
Hari kedua,
aku masih mehatnya dari kejauhan. Dengan ekspresi tak berbeda, hanya saja ia
tampak lebih tenang, tanpa getaran menahan tangis. “Assalamualaykum ya Khalid.”
*Hah, aku berani menyapanya? “Waalaykumussalam.” Sesaat ia memandangku, lalu ia
memalingkan pandangannya kea rah mata kakinya. Hanya itu, apakah itu patut aku
sebut perkembangan. Aku mampu mengucapkan salam di depannya. Meski setelah itu,
aku hanya berlalu. Apakah aku pantas untuk bangga, sementara orang lain telah
terbiasa melakukan hal itu pada sang panglima perang. Ini kacau (batinku).
*Kisah ini
hanya rekaan seorang bocah yang jaringan otaknya sedikit kusut, tidak diambil
dari siroh sahabat (ya iyalah jelas *plaaakkk).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar