*terbaik 1 dalam Pekan
Islami dan Achievement Motivation Training Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri
Surabaya
GIRANG
Andai Malaikat lalai tak menulis dosaku……
Andai
perbuatanku kan terhapus, seperti karet melenyapkan goresan pensil…
Dan jika waktu dapat berputar ulang…..
Pasti aku tak kan memilih jalan itu….
Harga diri terlalu mahal tuk diperjual belikan….
Betapa bodohnya
aku…
Aku tak kan membiarkan hal itu menimpa GIRANG sedikit
pun…
Tak akan kubiarkan….
Maafkan Bunda sayang atas kebohongan ini..
Kucerna hati – hati barisan kata pada kertas
usang itu.Apa maksud dari semua ini? Kebohongan? kebohongan apa?. Hatiku menyimpulkan,
ini sebuah rahasia yang besar. Ya, aku pikir tulisan ini tentang ayahku. Bunda
tidak pernah menceritakan apa – apa perihal ayah. “Ayah Girang itu pahlawan, dia
tentara Indonesia, tapi sayang, Allah begitu cepat memanggil Ayah Girang” Hanya
kata – kata itu yang berulang kali kudengar ketika berpuluh – pulah kali
kutanyakan tentang ayahku. Rasa penasaranku mencapai titik beku. Harus
kutanyakan pada siapa tentang hal ini. Apa harus menunggu Kak Fahmi
pulang.Hatiku tak tahan menunggu Kak Fahmi hingga setahun lagi.Karena baru dua
hari yang lalu Adik Bunda itu berangkat ke Yogyakarta mengurus proyek barunya.
Senja
itu hatiku tergerak membaca Al-Qur’an Bunda yang mungkin hampir lima tahun tak
tersentuh. Sejak Bunda meninggal, benda kesayangan Bunda ini hanya menjadi
pajangan dalam almari kaca. Dan hanya akan keluar ketika Mbok Rodi membersihkan
almari. Kak Fahmi pun tak pernah membaca Al-Qur’an Bunda, sulit katanya. Mungkin
karena warna kertasnya coklat kekuningan.Tapi seolah digerakkan kekuatan Malaikat, senja itu
kuambil dan kubuka halaman perhalaman sebelum memulai membacanya. Tanganku
terhenti ketika menemukan selembar kertas warna merah yang membatasi lembaran
dalam Al-Qur’an. Setelah kubaca.Aku menjadi bingung.Apa sebenarnya maksud semua
ini.
“Mbak
Girang sedang apa kok ngelamun,nanti kesambet lho..”Suara Mbok Rodi
mengagetkanku.Seolah terbangun dari tidur panjang segera kuedarkan pandanganku
seisi ruangan.Mbok Rodi tampak duduk di depanku.Wanita paruh baya itu tersenyum
menatapku.
“Eh
Mbok…enggak kok cuma kangen aja sama bunda.” Kututup Al-Qur’an dan kuletakakan kertas itu di tempat
semula.Semoga saja Mbok Rodi tidak melihat kertas ini.
“Kalau
kangen itu ya didoain Mbak.. biar Bunda bangga punya anak kayak Mbak
Girang.”Tangan Mbok Rodi menyentuh kemudian mengelus pundakku.
“Iya Mbok,lama sekali
Girang gak doa buat Bunda,pasti Bunda kangen sama Girang.”
“Agih..sekarang sudah magrib sholat dulu..”Mbok Rodi
mengembangkan pipi keriputnya,tersenyum padaku.
**********************************
“Girang mau kemana..?” Bunda berkata halus sambil terus
mengikutiku ke arah sungai.
“Mau jalan - jalan Bun…ke tepi sungai melihat matahari…” tariakku
sambil berlari kecil.Tapi sesampainya di tepi kakiku terperosok ke dalam lumpur
di tepi sungai.Dan semakin terperosok. “Bunda…..Bunda..tolong Girang Bunda…”
“Girang…..Hati – hati sayang,Bunda akan ke situ.”Bunda
berlari ke arahku.
“Bunda Girang takut..Bunda.” Aku mulai menangis disaat
lumpur itu menjerat lututku.
“Sini sayang pegangan tangan Bunda…”Bunda mengulurkan
tangan kanannya, dan tangan kirinya berpegangan pada ranting pohon.
“Bunda, Girang takut…”Tangisku semakin menjadi dan
membuat Bunda semakin panik.
“Pegangan yang kuat sayang..Bunda akan menarikmu..”Bunda
menarik tanganku hingga tubuh terangkat keatas hingga ke tanah.Tapi apa yang
terjadi,pohon tempat Bunda berpegangan pada rantingnya tumbang ke arah sungai
dan Bunda terhanyut bersama onggokan pohon itu.Perasaanku kacau.Aku bingung tak
tahu apa yang harus kulakukan. Dan aku menangis sekeras – kerasnya.
“Bunda….Bunda…” Tangisku sejadinya membuatku terduduk di
tepi sungi itu.
“Bunda..Bunda..”
“Mbak Girang..bangun Mbak sudah subuh..ayo sholat….”Suara
Mbok Rodi samar di sela tangisku.
“Bunda..”
“Mbak…Mbak Girang Cuma mimpi.” Mbok Rodi berkata sedikit
berteriak hingga membuatku tersadar.
“Mbok..Bunda,Mbok…Bunda..Girang takut kehilangan
Bunda.”Kupeluk erat Mbok Rodi yang duduk di tepi ranjangku.
“Sabar..Mbak.Bunda sudah enggak ada.Mbak Girang tenang
saja di sini ada Mbok…” Mbok Rodi mencoba melepas pelukanku,tapi aku tak mau
aku tetap memeluk erat tubuh Mbok Rodi.
“Mbok…Girang kangen sama Bunda. Girang pengin ketemu
Bunda…Girang pengin nyusul Bunda.”
“Huss…Mbak enggak boleh bilang begitu..”Mbok Rodi melepas
pelukanku dan menghapus air mataku.”Sekarang Mbak Girang sholat ya…ayo Mbok
antar ambil air wudlu.
Mbok Rodi menuntunku menuju kamar mandi,saat ini
pikiranku kosong,hati serasa disayat.Aku benar- benar merindukan Bunda.rasanya
ingin mati demi bertemu Bunda.
*************************
Sejak peristiwa itu,Mbok Rodi semakin perhatian padaku. Membangunkanku
tepat waktu,menyiapkan sarapan bahkan mencarikan Taksi untuk ke kampus. Sedikit
pun Mbok Rodi tak membiarkanku sendirian, Beliau takut jika aku mencoba bunuh
diri. Mungkin karena mendengar kata - kata ‘Girang pengin nyusul Bunda’. Ahh...itu
hanya keinginanku sesaat, karena masih ada iman yang meyangga batinku. Tapi
yang membuatku benar – benar bingung, Kak Fahmi pulang padahal baru beberapa
hari di Jogja.
“Girang….bukan begini caranya kalau Girang kangen sama
Bunda. Kasihan Mbok Rodi. Cemas mikirin Girang.” Teryata Mbok Rodi mengadu pada Kak Fahmi. Aku teringat ucapan
Kak Fahmi waktu itu. Dia tak akan memaafkan dirinya sendiri. Aduh..aku jadi
merepotkan semua orang.
“Girang…lha
wong ditanya kok malah nglamun.Udah dong Girang…”Tangan Kak Fahmi menari- nari
di depan mataku.
“Maafkan Girang Kak, Girang
nggak bermaksud bikin khawatir Kak Fahmi. Perasaan Girang menjadi tak karuan
begini sejak membaca selembar kertas yang terselip dalam Al-Qur’an
Bunda.Tulisan di kertas itu seolah terus menghantui Girang. Girang sendiri juga
gak ngerti kenapa.”
“Selembar kertas apa?” kak Fahmi terlihat bingung
mendengar jawabanku. Ku ambil kertas itu dan kuserahkan kepada Kak Fahmi.
“Kakak tau apa maksudnya?” Kak Fahmi hanya terdiam
setelah membaca surat itu, dan ketika Seperti sibuk dengan pikirannya. “Kak
Fahmi jujur dong sama Girang, apa maksud tulisan itu, Girang yakin Kak Fahmi
tau semuanya.”
“ Girang janji nggak akan marah sama Bunda jika Kak Fahmi
cerita sama Girang?”
“Girang sayang sama Bunda, seperti apa pun Bunda, Girang
akan tetap sayang sama Bunda.” Aku meyakinkan Kak Fahmi.
“Girang sebenarnya, Ayah Girang belum meninggal. Ayah
Girang masih ada, dan Girang kenal siapa ayah Girang. Tapi Sayang…sudah lah
lupakan semua.” Kata – kata Kak Fami benar membuat jantungku berdetak kencang.
Siapa yang di maksud Ayah Girang yang masih hidup, dan Girang
mengenalinya.Siapa…
“Siapa Ayah Girang Kak Fahmi?” Suaraku tergetar lemah
hampir tak keluar.
“Bunda Girang pernah bilang kepada Kak Fahmi kalau Girang
tidak boleh tau semua ini, maafkan Kakak sayang…” Kak Fahmi masih menunduk,
seperti menekan rasa bersalah.
“Bunda
sayang sama Girang, Bunda pasti seneng bila Girang seneng, Demi Girang, ayo lah
Kak Fahmi.”
“Girang janji akan melupakan semua ini jika
kakak beri tau,?” Kegusaran kak fahmi berkata - kata membuatku semakin
penasaran. Ia meletakkan kedua tangannya pada pundakku seolah aku gadis usia TK
yang minta dibelikan petasan. “Ayah Girang adalah, Pak Broto.”
“Apa……..!!!!” Seperti ada sebuah batu jatuh
tepat di kepalaku, aku benar – benar tak menyangka kak fahmi akan menyebut nama
itu. Nama yang begitu kubenci. Nama yang kini tertulis dalam catatan kejahatan
sebagai bandit sodomi. Jantungku serasa lemah untuk berdetak.
Subrata adalah rentenir kaya yang mempunyai
segudang istri. Sekitar tuju tahun lalu masih terlihat jelas ia menampar pipi
bunda hingga bunda tersungkur saat kami telat membayar utang.. dan yang semakin
membuatku benci padanya, Ia melakukan hal senonoh pada Abid, sahabat masa
kecilku. Aku benar – benar tak menyangka, Iblis itu
adalah ayahku.Tidak!!!
Sore ini aku duduk di tepi sungai, bayang –
bayang berkelebatan pada pikiranku, bunda, Abid yang hingga kini mengalami
gangguan jiwa, dan si bandit yang tengah merengkuh di penjara. Tuhan begitu tak
adil memilihkan Ia untuk ayahku. Seburuk itukah darah yang telah mengalir dalam
tubuhku.
******************************
Siang ini, aku berjalan lunglai meninggalkan
kampus, hari ini aku akan ke sebuah tempat yang hingga umurku sembilan belas tahun ini belum pernah menginjakkan kakiku di
lantainya. Ya…rumah tahanan. Aku benci sebenarnya datang kesini, tapi hati
kecilku memaksakan langkah kakiku. Begitu sampai, aku berbicara sedikit pada
polisi tua dan mengatakan ingin mengunjungi Subrata, merinding rasanya
mendengar nama itu. Aku masih belum mengakui jika dia adalah ayahku. Polisi itu
mengantarkanku menuju ruang kotak – kotak tempat para residivis terkurung dalam
sangkar besi. Subrata menatapku tajam, aku yakin ia tak mengenaliku. Aku
memantapkan mataku seolah tak gentar meski jantungku berdetak berantakan. Aku harap Kak
Fahmi berbohong jika pria gendut berkumis tebal dan penuh tato diseluruh
tubuhnya ini adalah ayahku. Aku sedikit bergidik.
“Anak kecil, ada ursuan
apa kau mencariku.” Gayanya masih angkuh, matanya jelalatan memandangiku dari
ujung rok panjang hingga jilbab putihku.
“Maaf , mengganggumu
tuan Subrata terhormat, aku hanya menanyakan padamu perihal Santi. Gadis yang
pernah kau beli dari ayahnya karena tak bisa membayar utang padamu.” Aku menatapnya penuh kebencian.
“Santi....ha,,,,ha,,.haa....ada urusan apa
kau dengan santi, tubuhnya sudah lama membusuk digerogoti cacing tanah. Ha….”
Ia tertawa menggelegar, ingin rasanya menyobek mulutnya yang bau itu.
“jaga mulutmu bandit sodomi, jangan pernah
menghina ibuku.”
“Ibumu?” Ia terkejut mengucapkan itu lalu
kembali terbahak – bahak membuat polisi penjaga memerhatikan kami. “Bararti kau
anakku, cantik juga kau, meski tubuhmu terbungkus seperti pisang rebus tapi
wajahmu terlihat manis.” Ia nyaris menyentuh pipiku dari celah – celah besi. Aku
mundur dan menghindar. Ia tertawa melihat ketakutanku dan berteriak memanggilku
“Santi kecil kemana kau, di sini dulu aku merindukanmu.” Ia kembali tertawa
membahana.
Dalam perjalanan pulang,
sampai rumah, mandi, hingga makan siang aku tetap merasakan takut yang sangat.
Sup cakar ayam di depanku hanya ku aduk tanpa sekalipun kucicipi. Suasana
hatiku belum netral.Entah karena apa aku teringat Abid, sahabat kecilku, sekarang
bagaimana kabarnya. Dulu kami selalu bersama, membakar singkong di tepi sungai,
bermain layang – layang, bahkan mencuri mangga di rumah Subrata. Namun itu dulu
sebelum kejadian pahit itu menimpanya, dan dia pergi meninggalkan kota ini, aku
menjadi ikut merasa bersalah.
“Mbak...udah to, dimakan supnya, lha wong
udah nggak panas.” Mbok rodi berkata namun pandangannya pada arah TV di ruang
tengah.
“Eh iya mbok….Mbok, Girang mau tanya. Mbok
tau kabarnya Abid nggak.” Aku berkata hati – hati. Mbok rodi menatapku aneh.
“Mbak Girang nggak tau kalau mas abid sudah
pulang, sudah jadi ustad di TPA di ujung gan itu lo, sekarang jadi cakep lo
Mbak…makin putih setelah pulang dari pesantren.
“Masa sih…(bukannya dia di RSJ?)” aku sedikit
terkejut mendengar itu, mbok Rodi terus bercerita, Abid kembali, tapi mengapa
tak mencariku, bukan kah dia sahabatku. Apa karena dia sudah tau aku adalah
anak Subrata. Ahh….
****
Sore itu aku duduk menyendiri di atas kayu di
tepi sungai. Begitu banyak kenangan yang terukir dari tempat ini. Dalam sunyi hanya riak
sungai yang terdengar mengicir. Samar ku dengar suara dari jalan setapak di
belakangku. Suara anak - anak kecil berceloteh riang, bersepeda menuju sungai. Salah satunya berkata “Kak ustad bolehkan
kita main di tepi sungai.” “Iya tapi hati – hati ya...” Kubalikkan badanku. “Abid?” Aku kikuk
melihatnya. “Girang, apa kabar.?” Suaranya lembut bijaksana, memang benar semua
yang diceritakan Mbok rodi, ia terlihat tampan. “Baik.” Kuulurkan tanganku untuk
berselaman. Ia hanya mengangguk tak membalas tanganku. Aku berbengong. “Kita
belum muhrim girang.” Ia berkata mantap tanpa memandangku sedikit pun. “adek –
adek yo cepat kembali, Girang duluan ya..” Abid, sosok kecil yang dulu begit
akrab, sekarang berbeda. Ia menghilang dalam sekejap, dan kembali menemuiku
dalam sekejap pula.
Mentari perlahan
bergeser turun, sinar keemasannya mengiringi langkahku menyusuri gang sempit
menuju jalan pulang. Tiba di tikungan pertama, aku menjadi was – was, dua rumah
lagi akan kulewati rumah mewah milik Subrata, hatiku getir menyebutnya ayahku.
Hari ini rumah mewah itu tampak ramai, beberapa mobil bermerek berpararel di
halaman. “Heh...anakku, kemarilah kau, ayahmu pulang.” DEG, teriakan Brata
menghentikan langkahku, bagaiman bisa dia lolos secepat ini dari penjara. Dia
tampak berpesta entah alkohol atau hanya minuman biasa bersama beberapa lelaki
yang mungkin anak buahnya. Aku merinding mendengar tawa mereka. Kugerakkan
kakiku segera berlari, tapi celaka, aku mendengar gerap kaki mengikuti lariku,
anak buah Brata mengejarku, nyaliku semakin ciut, tenagaku kukerahkan habis –
habisan. “Kena kau....ha,,ha...” Salah satu dari mereka mencengkram lenganku,
aku mencoba memberontak tapi sia – sia. Mereka menyeretku ke rumah Brata, aku
berusaha merintih meminta tolong tapi orang – orang disekitarku mengacuhkan. Akhirnya
aku hanya menangis.
Mereka melemparkanku
hingga tersungkur di bawah kaki Brata. Rasanya ingin kuludahi kaki gajahnya
itu. Tawanya menggelak melihatku, tercium aroma alkohol yang memualkan. Brata
mengulurkan tangannya menawarkan bantuan dengan senyum mengejek. Kutepis dengan tatapan tajamku. Ia terlihat
tersinggung. “Heh anak haram, apakah Santi tak pernah mengajarkanmu sopan
santun.” Kalimatnya
geram sambil mengangkat kedua pipiku dengan tangan kanannya, Aku meringis
menahan sakit. “Bawa dia ke kamarku, gadis ini perlu mendapat pelajaran.” Teriaknya seraya mendorongku ke arah seorang
anak buah hitam. Aku dikunci di sebuah kamar mewah, persis mewahnya dengan
kamar pada sinetron yang pernah kulihat. Aku muak, rasanya aku ingin mengobrak
– abrik tempat ini. Aku tak bisa membayangkkan apa yang akan terjadi padaku
setelah ini. Mbok rodi pasti mencemaskanku. Aku harus mencari cara keluar.
Kudekati jendela kaca bertirai. Tak mungkin, dua orang perjaga di bawah sana,
satu – satunya caraku adalah bersembunyi di kamar mandi dan menguncinya.
Brakkk....dobrakan pintu
itu membangunkanku. Aku tersadar, aku tertidur di lantai kamr mandi. Brata
memandangku murka, matanya seolah menyala, gerahamnya gemeletuk. Keringat dingin
membasahi kaus dan jilbabku. Tangan kuat Brata menarik ujung jilbabku hingga
lepas, hanya jilbab kecil penutup kepala yang kini kukenakan. Rasanya aku ingin
menangis, tapi kutahan. Kubalas tatapan sadisnya. “Aku tak takut padamu, sama
sekali tidak.” Bibirku berucap tegas meski jantungku porak poranda, kakiku
lemas, tapi aku masih bertahan. Brata tertawa lepas mendengungkan telinga.
Sesaat ia menyeretku dan melemparkanku ke ranjang, aku bangkit. “Jangan pernah
menyentuhku Brata” suaraku gemetar, Brata mendekat hingga beberapa senti saja
wajahnya dari wajahku. Aku tetap menatapnya tajam. Brata mendorongku lagi keranjang,
sekilas kutangkap bayangan datang. Jeprakk....suara kayu menghantam kepala
Brata hingga ia tersungkur. Dan tangan Abid diujung kayu itu, napasnya
tersenggal, memar di pipi dan dahinya,
matanya memerah, darah mengalir dari sudut bibirnya. Mungkin dia telah menghabisi anak buah Brata
di bawah.
“Girang cepat telepon polisi.” Abid
melemparkan handphone, tanganku respek menangkapnya. Sesaat kemudian
perhatiannya beralih pada Brata. Aku menelpon polisi. Suaraku terbata. Ada rasa
kasihan hinggap ketika Abid melemparkan tendangan di perut Brata yang sudah tak
berdaya. Melihat kakinya akan terjun kembali perut brata, aku menjerit.
“Hentikan abid, jangan bunuh ayahku.” Isakku menolehkan tatapan tajam Abid,
Entah ia terheran atau marah kutak tau. Abid terdiam sejenak kemudian pergi.
Aku hanya terisak.
*************************
Peristiwa di rumah brata itu benar - benar
menyiksaku. Sejak itu tak sesuap nasi pun melewati kerongkonganku. Tubuhku
memanas. Mbok rodi kebingungan, lagi – lagi hal ini mengundang kak Fahmi untuk
pulang. Aku dibawa ke rumah sakit. Sepertinya kondisiku tak membaik. Aku pikir
inilah yang disebut somaform, hasil diagnostic dokter negative. Aku tak
merasakan sakit di tubuhku yang melemah, namun ngilu meradang di ulu hatiku. Malam
ini dokter merujukku ke rumah sakit pusat. Kondisiku semakin labil, berkali –
kali memuntahkan cairan kuning yang pahit.
Aku terduduk lemas di
atas kursi roda yang berjalan pelan menuju ambulan. Tatapanku hampa, mbok rodi berulang
kali mengelus jilbabku. Aku tak berdaya. Nyaris kak fahmi dan seorang perawat
mengangkatku ke atas ambulan, terdengar suara, nadanya seperti memburu. “Tunggu,” suaranya lantang membuat kepala
lunglaiku menoleh. Semua ikut menoleh. Abid di sana, dengan kemeja putih,
celana hitam dan tas ranselnya. Ia tersenyum membuatku ikut tersenyum. Kak fahmi dan mbok Rodi terheran
melihat ekspresiku. “Kak fahmi izinkan aku bicara padamu sejenak.” Kenapa kak
Fahmi. Kenapa Abid tidak mencariku. Kemudian sejenak mereka brbisik lalu
tertawa. Aku semakin bingung dengan mereka, di saat yang sama kurasakan lapar
yang beberapa hari ini tak pernah muncul meski aku tak makan. Dan radang di ulu
hatiku perlahan menghilang. Kak Fahmi mendekatiku, Abid mengikutinya dari
belakang. “Girang ada yang menahanmu sebelum ke rumah sakit pusat.” Kak fahmi
membuatku tak mengerti, aku bingung kutatap matanya, lalu adik ibuku ini
tersenyum, Abid meunduk seperti malu. “maksudnya.” suaraku masih lemah. “Abid melamarmu.” TESS, hatiku seperti dihujani bunga – bunga
salju. Aku melirik Abid yang semakin menunduk. Lalu kukembangkan senyumku dan
semua tertawa.#
By.
Futri Zakiyah Darojat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar