Entah,
ada sesuatu yang menyentuh sisi hatiku saat Abi mengatakan kalimat “Mbak,……………..”
atau “……………………………,Mbak.” Disana seperti ada berkas tersirat yang hendak beliau
sampaikan. Yang urung karena menatap wajahku yang lebih sering tampak memelas
manja. Ah…aku selalu sulit mendewasa.
…………….
Masih
ingat saat gaji terbanyak pertama kuserahkan pada beliau, “Buat abi.” Beliau menatapku dua jenak lalu tertawa.
Bukan, aku yakin maksud abi bukan menghina uang dalam amplop putih itu yang tak
seberapa. Entah, seperti pias – pias haru melihat putrid sulungnya yang manja
menghabiskan masa liburan di kota orang.. “Ditabung saja mbak, katanya mau
kuliah di Sydney.” Abi, rasanya ingin memeluk abi saat itu.
…………..
Aku
selalu ingat percakapan sore itu di ruang tamu,
“Mbak
Rois, Mbak upik sudah menikah. Nggak ingin menikah juga mbak.” Aku tahu, Abi
hanya memancing reaksiku.
“Menikah?
sekarang? boleh Bi?.” jawabku pura – pura bersemangat.
“Boleh.”
“Calonnya?
aku nyari sendiri?.”
“Boleh.”
“Boleh?”
“Boleh.
asal ngaji.”
Aku
tahu ada satu harap yang disampaikan abi disini, bukan sekedar ngaji (mengaji
al-qur’an). Ada harap yang selalu beliau titipan lewat kata – kata sederhana
beliau.
……………..
“Kalau
aku kuliah di Sydney, boleh nggak Bi.?” Di depan TV 14 inci milik kami, kucoba
alihkan perhatian ayah tercintaku ini.
“Boleh,
asal Abi ikut kesana.”
-Sulit
sekali mencerna bagian yang ini-
………..
“Dua
bulan abi ndak kirim uang, kenapa Bi. Padahal katanya tokonya lancar. Gitu kok
anaknya ndak kecipratan.”
“Sempat
kelaparan ndak dua bulan kemarin.”
Kujawab
dengan gelengan.
“Yah….kelaparan
aja ndak sampe, minta cipratan.”
Begitulah
abi, caranya unik mendidikku. Untuk tak manja lagi, untuk belajar mencari bukan
hanya meminta. Meski pun pada akhirnya beliau mengganti uang jatahku dengan
membelikanku cincin. Tapi begitulah, (Mungkin beliau tahu, kalau aku banyak
uang. Aku juga semakin banyak belanja sesuatu yang tak penting)
Pernah
suatu kali.
“Apa
itu Mbak?”
“Baju
baru. Bagus tapi murah lo Bi, lagi diskon soalnya”
“Baju
yang kemarin di kasihkan Lia saja.” Lia itu anak tetangga.
“Loh
kenapa?”
“Kan
sudah punya baju baru. Buat apa yang lama.”
Ahh
abi…..
……………………………..
“Bi,
banyak mbak – mbak asrama yang jadi guru di SDIT.”
“jangan
jadi guru mbak.”
“Loh
knapa?”
“Banyak
orang baik yang jadi guru, jadi orang baik di tempat lain saja.”
Abi
selalu menginginkanku berbeda dari orang lain. Lebih baik tentunya, seperti
saat beliau menetahku, gadis 14 tahun waktu itu, menghadap kepada sekolah
sembari mengatakan “Ibu kepala sekolah, saya akan menerima akibat apa pun asal
saya diizinkan menggunakan jilbab pada saat foto ijazah.” “Kalau ijazahnya di
tahan sekolah Bi.” “InshaAllah ndak.” Cuma itu. Tapi itu membuatku cukup
berani, membuatku kuat meski dari 391 siswa, hanya aku, satu yang berbeda.
……………
“Bi,
kenapa sih kita harus repot – repot ke rumah budhe ini, budhe itu, pak puh ini
itu, mbah sana sini. Aku juga ingin bersilaturrahmi dengan teman teman Bi.”
“Biar
cepat kaya. Mau cepat kaya ndak.” Huff selalu sesimpel itu, selalu sedalam itu.
Abi selalu menemukan cara bagaimana membuatku diam. Bagaimana membuatku sadar
tanpa harus mengatakan kalimat larangan atau perintah. Ahh Abi selalu tampil
memesona, meski dengan celana kain dan kemeja yang kadang tidak matching. Abi
pria tertampan yang aku tahu, meski rona hitam jejak matahari melekat pada
kulit wajah dan tangan beliau, Abi selalu terlihat tegas dengan kelembutan.
Abi, dialah pria sejuta pesona. Yang membayar hafalan surat – surat pendekku
dengan es krim. Yang menatapku tajam karena aku pulang larut dari bermain.
…………..
Ayah,
terima kasih…
ananda
haturkan kepadamu…
yang
telah mendidik dan membesarkanku
bersama
ibu..
ayah
engkaulah guruku…
yang
terbaik sepanjang usiaku…
yang
telah membimbing masa kecilku
menuju
jalan Tuhanku… -Suara persaudaraan_Kenangan bersama ayah-
the most romantic couple in the world :D suit suit
sayang kalian :*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar