Kamis, 08 November 2012

Pria Sejuta Pesona

-->


Entah, ada sesuatu yang menyentuh sisi hatiku saat Abi mengatakan kalimat “Mbak,……………..” atau “……………………………,Mbak.” Disana seperti ada berkas tersirat yang hendak beliau sampaikan. Yang urung karena menatap wajahku yang lebih sering tampak memelas manja. Ah…aku selalu sulit mendewasa.
…………….
Masih ingat saat gaji terbanyak pertama kuserahkan pada beliau, “Buat abi.”  Beliau menatapku dua jenak lalu tertawa. Bukan, aku yakin maksud abi bukan menghina uang dalam amplop putih itu yang tak seberapa. Entah, seperti pias – pias haru melihat putrid sulungnya yang manja menghabiskan masa liburan di kota orang.. “Ditabung saja mbak, katanya mau kuliah di Sydney.” Abi, rasanya ingin memeluk abi saat itu.
…………..
Aku selalu ingat percakapan sore itu di ruang tamu,
“Mbak Rois, Mbak upik sudah menikah. Nggak ingin menikah juga mbak.” Aku tahu, Abi hanya memancing reaksiku.
“Menikah? sekarang? boleh Bi?.” jawabku pura – pura bersemangat.
“Boleh.”
“Calonnya? aku nyari sendiri?.”
“Boleh.”
“Boleh?”
“Boleh. asal ngaji.”
Aku tahu ada satu harap yang disampaikan abi disini, bukan sekedar ngaji (mengaji al-qur’an). Ada harap yang selalu beliau titipan lewat kata – kata sederhana beliau.
……………..
“Kalau aku kuliah di Sydney, boleh nggak Bi.?” Di depan TV 14 inci milik kami, kucoba alihkan perhatian ayah tercintaku ini.
“Boleh, asal Abi ikut kesana.”
-Sulit sekali mencerna bagian yang ini-
………..
“Dua bulan abi ndak kirim uang, kenapa Bi. Padahal katanya tokonya lancar. Gitu kok anaknya ndak kecipratan.”
“Sempat kelaparan ndak dua bulan kemarin.”
Kujawab dengan gelengan.
“Yah….kelaparan aja ndak sampe, minta cipratan.”
Begitulah abi, caranya unik mendidikku. Untuk tak manja lagi, untuk belajar mencari bukan hanya meminta. Meski pun pada akhirnya beliau mengganti uang jatahku dengan membelikanku cincin. Tapi begitulah, (Mungkin beliau tahu, kalau aku banyak uang. Aku juga semakin banyak belanja sesuatu yang tak penting)
Pernah suatu kali.
“Apa itu Mbak?”
“Baju baru. Bagus tapi murah lo Bi, lagi diskon soalnya”
“Baju yang kemarin di kasihkan Lia saja.” Lia itu anak tetangga.
“Loh kenapa?”
“Kan sudah punya baju baru. Buat apa yang lama.”
Ahh abi…..
……………………………..
“Bi, banyak mbak – mbak asrama yang jadi guru di SDIT.”
“jangan jadi guru mbak.”
“Loh knapa?”
“Banyak orang baik yang jadi guru, jadi orang baik di tempat lain saja.”
Abi selalu menginginkanku berbeda dari orang lain. Lebih baik tentunya, seperti saat beliau menetahku, gadis 14 tahun waktu itu, menghadap kepada sekolah sembari mengatakan “Ibu kepala sekolah, saya akan menerima akibat apa pun asal saya diizinkan menggunakan jilbab pada saat foto ijazah.” “Kalau ijazahnya di tahan sekolah Bi.” “InshaAllah ndak.” Cuma itu. Tapi itu membuatku cukup berani, membuatku kuat meski dari 391 siswa, hanya aku, satu yang berbeda.
……………
“Bi, kenapa sih kita harus repot – repot ke rumah budhe ini, budhe itu, pak puh ini itu, mbah sana sini. Aku juga ingin bersilaturrahmi dengan teman teman Bi.”
“Biar cepat kaya. Mau cepat kaya ndak.” Huff selalu sesimpel itu, selalu sedalam itu. Abi selalu menemukan cara bagaimana membuatku diam. Bagaimana membuatku sadar tanpa harus mengatakan kalimat larangan atau perintah. Ahh Abi selalu tampil memesona, meski dengan celana kain dan kemeja yang kadang tidak matching. Abi pria tertampan yang aku tahu, meski rona hitam jejak matahari melekat pada kulit wajah dan tangan beliau, Abi selalu terlihat tegas dengan kelembutan. Abi, dialah pria sejuta pesona. Yang membayar hafalan surat – surat pendekku dengan es krim. Yang menatapku tajam karena aku pulang larut dari bermain.
…………..
Ayah, terima kasih…
ananda haturkan kepadamu…
yang telah mendidik dan membesarkanku
bersama ibu..
ayah engkaulah guruku…
yang terbaik sepanjang usiaku…
yang telah membimbing masa kecilku
menuju jalan Tuhanku… -Suara persaudaraan_Kenangan bersama ayah-

ini Abi ketika Mukhoyam Pandu Keadilan di Nganjuk, Jawa Timur


the most romantic couple in the world :D suit suit


sayang kalian :*

Tidak ada komentar: